Puasa Wanita
Hamil dan Menyusui[1].
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Kami membaca di
beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan
Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’
puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
n?tãur
úïÏ%©!$#
¼çmtRqà)ÏÜã
×ptôÏù
ãP$yèsÛ
&ûüÅ3ó¡ÏB
(
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada dua pendapat
ulama tentang tafsir ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa pada awalnya
puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk melaksanakan puasa maka
dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang tidak berpuasa maka
sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang miskin. Dengan pilihan ini,
berpuasa lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa
bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada
orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:
4
`yJsù
yÍky
ãNä3YÏB
tök¤¶9$#
çmôJÝÁuù=sù
(
“Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh
hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali Imam
Ahmad. Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah:
183) turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan
membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan bahwa
puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak
berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya.
Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan berat melaksanakan puasa,
yaitu orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir
diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan
membayar fidyah saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’,
karena semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga
orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu
melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib
membayar fidyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar
Ibnu Abbas membaca ayat:
n?tãur
úïÏ%©!$#
¼çmtRqà)ÏÜã
×ptôÏù
ãP$yèsÛ
&ûüÅ3ó¡ÏB
(
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat
ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia
yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang
miskin untuk satu hari tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen seperti
Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan
mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan
batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua
renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus. Demikian juga
dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat
secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak
wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun mereka memiliki
harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan ibu
menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena mengkhawatirkan diri mereka, atau
karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh tidak
berpuasa dan wajib membayar fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’,
mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
n?tãur
úïÏ%©!$#
¼çmtRqà)ÏÜã
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang yang telah
lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu berpuasa, mereka
boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah memberi makan satu orang
miskin untuk satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan
anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”.
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas
berkata kepada seorang ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu
berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha’
bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni. Imam Malik dan
al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil
jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib
membayar fidyah satu orang miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd
gandum”. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ
الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya
Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah
kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi
wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan
para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas maka
wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka
boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan
membayar fidyah?
Menurut
Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut
Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang
dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau
yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui
wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail
al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab
dinyatakan:
Menurut
Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika
melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang
dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja.
Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak wajib membayar
fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib membayar
fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau
mudharat yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu
menyusui wajib tidak berpuasa.
Menurut
Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui
mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut
terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’
ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka,
jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam
kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa membayar fidyah.
Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib melaksanakan puasa qadha’
dan membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika
mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak,
atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib
melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan
anaknya saja, maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i sama
seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’ dan fidyah, hanya saja
Mazhab Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan
Mazhab Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu pendapatnya Imam Syafi’i
mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil,
seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang
diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada
lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang shahabat ini, Abu
Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah
Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam sanadnya perlu
diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang dari Kufah,
meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan lainnya. Imam
asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang disebutkan
Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan al-Ka’bi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar