Rabu, 29 Februari 2012

MENGGERAKKAN TELUNJUK KETIKA TASYAHUD.

وننبهك إلى أن الفقهاء اتفقوا على أن العمل الكثير يبطل الصلاة، واختلفوا في تحديد الكثرة، ولم يصح حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم بأن ثلاث حركات تبطل الصلاة، وإنما هو تحديد من بعض الفقهاء.
وعليه فلا يصح الإنكار على من حرك أصبعه في الصلاة،
Kami ingatkan kepada Anda bahwa para ahli Fiqh sepakat bahwa perbuatan banyak membatalkan shalat. Mereka berbeda pendapat tentang batasan banyak. Tidak shahih hadits dari Rasulullah Saw bahwa tiga gerakan membatalkan shalat. Batasan itu dari sebagian ahli fiqh. Oleh sebab itu tidak dibenarkan mengingkari orang yang menggerakkan jarinya dalam shalat.
فقد ذهب إلى ذلك أئمة ومنهم المالكية رحمهم الله فإنهم يرون تحريك الأصبع في التشهد كله ويكون تحريكها يمينا وشمالا لا فوق وتحت،
والحنابلة يرون الإشارة بها عند ذكر لفظ الجلالة (الله) والحنفية يرون أنه يشار بها عند قول (لا إله) وضمها عند قول (إلا الله)
والشافعية يرون الإشارة بها عند قول (إلا الله) إلى بقية التشهد دون تحريك
Menurut Mazhab Maliki: menggerakkan jari telunjuk dari awal hingga akhir tasyahhud. Digerakkan ke kanan dan ke kiri, bukan ke atas dan ke bawah.
Menurut Mazhab Hanbali: mengangkat telunjuk ketika pada lafaz Allah (إلا الله).
Menurut Mazhab Hanafi: mengangkat telunjuk pada lafaz: La Ilaha (لا إله). Kemudian kembali menurunkan telunjuk pada lafaz: Illa Allah (إلا الله).
Menurut Mazhab Syafi’I: mengangkat telunjuk pada lafaz: Illallah (إلا الله), hingga akhir Tasyahhud berakhir, tanpa menggerakkan telunjuk.
لما رواه أحمد والنسائي وأبو داود وغيرهم عن وائل بن حجر رضي الله عنه، أنه قال في صفة صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم: ثم قعد فافترش رجله اليسرى ووضع كفه اليسرى على فخذه وركبته اليسرى، وجعل حد مرفقه الأيمن على فخذه اليمنى، ثم قبض ثنتين من أصابعه وحلق حلقة ثم رفع إصبعه فرأيته يحركها يدعو بها.
Berdasarkan riwayat Imam Ahmad, an-Nasa’i, Abu Daud dan lainnya, dari Wa’il bin Hajar, ia berkata tentang sifat shalat nabi: “Kemudian Rasulullah Saw duduk iftirasy; menduduki kaki kiri, meletakkan telapak tangan kiri diatas paha dan lutut kiri. Meletakkan siku kanan diatas paha kanan. Kemudian menggenggam kedua jari tangannya dan membuat lingkaran, kemudian mengangkat salah satu jemarinya, saya melihatnya menggerakkannya sambil berdoa.
قال الإمام البيهقي رحمه الله: يحتمل أن يكون مراده بالتحريك الإشارة بها لا تكرار تحريكها، حتى لا يعارض حديث ابن الزبير عند أحمد وأبي داود والنسائي وابن حبان في صحيحه بلفظ: "كان يشير بالسبابة ولا يحركها، ولا يجاوز بصره إشارته". قال الحافظ في التلخيص الحبير: وهذا الحديث أصله في مسلم دون قوله: ولا يجاوز بصره إشارته.
Imam al-Baihaqi berkata: “Ada kemungkinan mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan kalimat ‘menggerakkan’, maksudnya adalah menunjuk, bukan menggerakkannya berkali-kali, agar tidak bertentangan dengan hadits riwayat Ibnu az-Zubair dalam riwayat ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Hibban dengan lafaz: “Rasulullah Saw menunjuk dengan jari telunjuk, tidak menggerakkannya. Pandangan matanya tidak melewati telunjuknya”.
Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhish al-Habir: “Asal hadits ini dalam Shahih Muslim, tanpa kalimat: “Pandangan matanya tidak melewati telunjuknya”.
والحاصل أن المسألة من مسائل الخلاف بين أهل العلم، ولكل رأيه، ولا ينبغي للمسلم أن يضيق صدره ذرعا بالخلاف فيها، فإن اتفاق العلماء حجة قاطعة واختلافهم رحمة واسعة.
والله أعلم.
Kesimpulannya, masalah ini adalah masalah khilafiyah diantara para ulama, setiap ulama punya pendapat masing-masing, tidak selayaknya seorang muslim merasa bersempit dada terhadap ikhtilaf dalam masalah ini. Karena kesepakatan ulama itu hujjah yang kuat, sedangkan ikhtilaf ulama itu rahmat yang luas. Wallahu a’lam.
diterjemahkan dari islamweb.com

Jumat, 10 Februari 2012

Surat Adh-Dhuha.

Firman Allah Swt:
وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2)
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)”.
(Qs. Adh-Dhuha [93]: 2).
Surat adh-Dhuha ini termasuk kategori surat-surat Makkiyyah, surat-surat yang turun sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah.
Dalam ayat pertama ini Allah Swt tidak hanya sekedar menyebut tentang waktu, namun lebih kuat daripada itu, Allah Swt bersumpah demi waktu, menunjukkan betapa pentingnya waktu bagi seorang muslim. Ayat ini satu diantara enam waktu yang dijadikan Allah Swt sebagai objek sumpah dalam al-Qur’an menurut urutan waktunya:
Allah bersumpah demi waktu fajar:
وَالْفَجْرِ (1)
“”. (Qs. Al-Fajr [89]: 1).
Allah bersumpah demi waktu shubuh:
وَالصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ
“Dan subuh apabila mulai terang”. (Qs. Al-Muddatstsir [74]: 34).
Allah bersumpah demi waktu Dhuha:
وَالضُّحَى (1)
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik”. (Qs. Adh-Dhuha [93]: 2).
Allah bersumpah demi waktu siang:
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى (2)
“Dan siang apabila terang benderang”. (Qs. Al-Lail [92]: 2).
Allah bersumpah demi waktu petang:
وَالْعَصْرِ (1)
“Demi waktu ‘Ashr (petang)”. (Qs. Al-‘Ashr: 1).
Allah bersumpah demi waktu malam:
“Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)”. (Qs. Adh-Dhuha [93]: 2).
Bahkan dari sekian banyak nikmat yang diberikan Allah Swt, maka waktu adalah nikmat pertama yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt, sesuai hadits riwayat Ibnu Mas’ud:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ
Dari Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Kaki anak Adam akan tetap tegak berdiri di sisi Tuhannya pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang lima pertanyaan; tentang umurnya, kemana ia habiskan?”. (HR. At-Tirmidzi).
Umur adalah waktu yang diamanahkan Allah Swt kepada seorang hamba. Akan tetapi banyak manusia yang tertipu oleh waktu, oleh sebab itu Rasulullah Saw nyatakan:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat, banyak manusia tertipu dalam dua nikmat itu; nikmat sehat dan nikmat waktu luang”. (HR. Al-Bukhari).

Firman Allah Swt:
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3)
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”. (Qs. Adh-Dhuha : 3).
Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyebutkan, “Ketika wahyu terlambat turun selama 15 hari, maka orang-orang kafir mengejek Rasulullah Saw:
إن ربه ودَّعه وقلاه
“Sesungguhnya Tuhannya telah meninggalkannya dan benci kepadanya”. Maka Allah Swt menurunkan ayat ini untuk membantah pernyataan orang-orang kafir Quraisy Mekah. Nyatalah bahwa al-Qur’an itu datang dari sisi Allah, bukan seperti yang dituduhkan orang-orang kafir bahwa al-Qur’an itu ciptaan Rasulullah Saw.

Firman Allah Swt:
وَلَلْآَخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى (4)
“Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”. (Qs. Adh-Dhuha : 4).
Manusia berada diantara dua pilihan; dunia dan akhirat. Banyak manusia yang tertipu, maka ayat ini menegaskan pilihan terbaik diantara dua pilihan. Akan tetapi orang beriman tidak diperintahkan untuk meninggalkan dunia untuk mencari akhirat, karena Allah Swt menyatakan:
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. (Qs. Al-Qashash [28]: 77). Mu’min yang baik bukanlah yang meninggalkan dunia untuk akhirat, bukan pula sebaliknya. Akan tetapi yang menjadikan dunia sebagai jalan menuju kebahagiaan akhirat.
Firman Allah Swt:
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (5)
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas”. (Qs. Adh-Dhuha: 5). Begitulah janji Allah Swt kepada Rasul-Nya. Allah Swt berikan karunia duniawi dengan berhasilnya menguasai jazirah Arab dan Allah berikan karunia akhirat dengan diangkatnya Rasulullah Saw sebagai pemberi syafaat. Akan tetapi puncak kepuasan Rasulullah Saw adalah:
إذن لا أرضى وواحد من أمتي في النار
“Aku tidak puas jika ada satu orang dari umatku yang masuk ke dalam neraka”. Begitulah cinta dan sayangnya Rasulullah Saw kepada umatnya. Karunia dunia dan akhirat tidak membuatnya merasa puas, sebelumnya umatnya selamat dari azab neraka.


Firman Allah Swt:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآَوَى (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى (8) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung[1583], lalu Dia memberikan petunjuk.
8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
9. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
10. Dan terhadap orang yang, janganlah kamu menghardiknya.
11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.
[1582] Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.
[1583] Yang dimaksud dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad s.a.w. sebagai jalan untuk memimpin ummat menuju keselamatan dunia dan akhirat.
(Qs. Adh-Dhuha [93]: 2).
Enam ayat diatas saling terkait antara satu sama lain. Ayat 6 terkait dengan ayat 9. Ayat 7 terkait dengan ayat 10. Dan Ayat 8 terkait dengan ayat 11.
Ayat 6 terkait dengan ayat 9: “Bukankah engkau dahulu seorang yatim, lalu Allah melindungimu? Maka kepada anak yatim, jangan sewenang-wenang!”.
Ayat 7 terkait dengan ayat 10: “Bukankah engkau dahulu bingung karena keterbatasan akal? Lalu Allah memberikan wahyu kepadamu. Maka orang yang bertanya kepadamu tentang hidayah, jangan engkau menghardiknya!”.
Ayat 8 terkait dengan ayat 11: “Bukankah engkau dahulu dalam keadaan kekurangan, lalu Allah memberikan kecukupan? Maka nikmat Tuhanmu itu mesti engkau siarkan”.
Begitulah cara Allah Swt mendidik manusia, ia disadarkan tentang hakikat dirinya, lalu kemudian diajarkan apa yang mesti ia lakukan. Kepedulian kepada sesama, berbagi materi dan non-materi dalam bentuk nasihat dan jalan menuju hidayah. Semoga kita dapat meneladani Rasulullah Saw, amin ya Robbal’alamin.

Rabu, 01 Februari 2012

Rasulullah Saw : Rahmat Bagi Semesta Alam.

Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.

Pengantar.
Ketika Islam dihujat sebagai agama ekslusif, rasis bahkan fasis, maka respon kaum muslimin pun beraneka ragam. Meskipun didasari rasa yang sama, rasa cinta kepada Islam dan Nabi Muhammad Saw, akan tetapi aksi yang berbeda menimbulkan respon yang juga ikut tidak sama. Sebagian sikap kaum muslimin justru mengaminkan tuduhan yang dilontarkan, sehingga orang-orang yang tidak senang terhadap Islam hanya tinggal mengutip bukti dari sebuah asumsi. Di tengah hiruk pikuk tersebut kaum muslimin mesti berhenti sejenak, kembali membaca Islam dari sumber aslinya. Karena tidak semua perlakukan umat Islam sebagai interpretasi Islam. Betapa banyak tindakan umat Islam justru jauh dari nilai-nilai Islam. Tulisan singkat ini ingin mengungkap kedatangan Rasulullah Saw yang digambarkan Allah Swt sebagai ramatan li al-‘alamin sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Qs. Al-Anbiya’ [21]: 107).

Menjadi Rahmat Bagi Semesta Alam.
Allah Swt tidak menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi orang-orang beriman saja, bukan pula menjadi rahmat bagi umat manusia saja. Akan tetapi kedatangannya menjadi rahmat bagi semesta alam. Semesta alam merasakan kedatangannya sebagai rahmat. Ungkapan “rahmat bagi semesta alam” bukanlah hanya tetesan tinta diatas kertas, ungkapan tanpa makna dan bukti. Sejarah mencatat bahwa kedatangan nabi Muhammad Saw dirasakan semesta alam sebagai rahmat, bukan hanya orang-orang beriman yang merasakannya, akan tetapi semua umat manusia, bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan pun dapat merasakan rahmat yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw.

Menjadi Rahmat Bagi Hewan.
Tidak hanya makhluk berakal yang merasakan kehadiran nabi Muhammad Saw sebagai rahmat, bahkan hewan sekalipun merasakan kehadirannya sebagai rahmat. Ini dapat dilihat dari keseharian Rasulullah Saw. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas dikisahkan:
وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل واضع رجله على صفحة شاة وهو يحد شفرته وهي تلحظ إليه ببصرها قال : أفلا قبل هذا ؟ أو تريد أن تميتها موتات ؟ رواه الطبراني في الكبير والأوسط ورجاله رجال الصحيح
ورواه الحاكم إلا أنه قال: أ تريد أن تميتها موتات ؟ هلا أحددت شفرتك قبل أن تضجعها
Dari Ibnu abbas, ia berkata: “Rasulullah Saw melewati seorang laki-laki yang meletakkan kakinya diatas tubuh kambing sementara itu ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu mengamati dengan matanya. Rasulullah Saw berkata: “Mengapa tidak engkau lakukan sebelum ini?! Apakah engkau mau agar ia mati berulang kali?!
Dalam riwayat al-Hakim, Rasulullah Saw bersabda: “Apakah engkau mau membuatnya mati berkali-kali?! Mengapa engkau tidak menajamkan pisaumu sebelum engkau membaringkannya” .
Dari hadits diatas terihat bagaimana Rasulullah Saw menjadi rahmat bagi seekor kambing. Di tengah masyarakat Arab jahiliah yang keras dan kasar bahkan kepada sesama manusia. Tapi Rasulullah Saw memperhatikan akhlak kepada binatang.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah Swt mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka bunuhlah dengan baik. Dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Hendaklah salah seorang kamu menajamkan pisaunya dan membuat hewan sembelihannya tenang”. (HR. Muslim). Dari teks hadits diatas tersirat sebuah ajaran bersikap lembut dan santun, meskipun itu terhadap seekor binatang yang tidak berakal. Berdasarkan ini Islam melarang menyembelih hewan dengan kuku, tulang dan benda tumpul, karena menyebabkan hewan mati tersiksa. Dalam kondisi tertentum, Islam memperbolehkan membunuh binatang berbisa jika keberadaannya membahayakan dan mengancam manusia, bahkan dalam shalat sekalipun:
اقْتُلُوا الأَسْوَدَيْنِ فِى الصَّلاَةِ الْحَيَّةَ وَالْعَقْرَبَ
“Bunuhlah dua yang hitam dalam shalat; ular dan kalajengking”. (HR. Abu Daud). Akan tetapi pembunuhan tersebut dilakukan dengan baik, tidak boleh menyiksa hewan, mesti mati dalam satu pukulan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan:
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِى جُحْرٍ
“Janganlah salah seorang kamu buang air kecil di lobang tanah”. (HR. al-Nasa’i). Dalam kitab Syarh Sunan al-Nasâ’i disebutkan dua alasan mengapa tidak boleh buang air kecil di lobang tanah. Pertama, karena lobang tanah adalah tempat serangga dan binatang berbisa. Kedua, lobang tanah sebagai tempat tinggal jin. Demikian rahmat yang dibawa Rasulullah Saw mencakup semua makhluk, yang nyata maupun yang tidak nyata, sekalipun itu serangga kecil yang mungkin tidak terlihat oleh mata. Bahkan sosok jin yang tidak terlihat di alam nyata.

Menjadi Rahmat Bagi Tumbuh-Tumbuhan.
Bukan hanya hewan yang mendapat rahmat dengan kedatangan Nabi Muhammad Saw, makhluk lain bernama tumbuh-tumbuhan juga mendapat rahmat dengan kedatangan Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:
إن قامت الساعة وفي يد أحدكم فسيلة فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها
“Jika terjadi hari kiamat, di tangan salah seorang kamu ada bibit kurma. Jika ia mampu kiamat tidak terjadi hingga ia menanamkannya, maka hendaklah ia menanamkannya”. (HR. Ahmad) . Dapat dibayangkan, seseorang yang akan meninggal dunia, namun di tangannya ada bibit kurma, Rasulullah Saw menganjurkannya agar menanam bibit kurma tersebut. Untuk apa ia menanam bibit kurma tersebut, ia tidak mungkin dapat bernaung di bawah rindang pohonnya dan ia juga tidak mungkin dapat menikmati buahnya karena ia akan meninggal dunia. Islam mengajarkan bahwa seorang muslim tidak berbuat untuk dirinya sendiri, akan tetapi berbuat untuk orang lain, untuk generasi yang akan datang, untuk kelestarian alam. Andai sabda ini dinyatakan seseorang yang tinggal di iklim tropis, buminya subur, gemah ripah loh jenawi, tongkat dan batu jadi tanaman, tentu sabda ini tidak mengherankan. Akan tetapi, sabda ini dinyatakan seorang nabi yang tinggal di gurun pasir yang panas dan kering kerontang. Di tengah suasana yang tidak lazim, di tengah iklim yang tidak mendukung, Rasulullah Saw masih sempat menyampaikan pesan moral memperhatikan kelestarian alam dengan menanam tanaman. Sebaliknya, bagi orang-orang yang merusak tanaman, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِى النَّارِ
“Siapa yang memotong pohon Sidr, maka Allah Swt sungkurkan kepalanya dalam api neraka”. (HR. Abu Daud). Jika memotong sebatang pohon saja demikian kerasnya azab yang akan diterima pada hari pembalasan kelak, lantas bagaimanakah hukuman bagi orang-orang yang melakukan praktik illegal loging, membabat habis hutan belantara yang hijau, menyebabkan kerusakan alam berkepanjangan dan menyusahkan banyak orang.
Slogan reboisasi, penghijauan, gerakan menanam, one man one tree, semua ini muncul sebagai reaksi terhadap pembantaian tanpa henti terhadap paru-paru alam. Akan tetapi agama Islam dengan ajarannya yang universal sejak empat belas abad silam telah mencanangkan penghijauan sebagai sebuah ajaran berbasis agama, sehingga penanaman tersebut tidak hanya sebagai wujud kepedulian terhadap alam, akan tetapi juga sebagai sarana ibadah karena melaksanakan seruan Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw mengajarkan sisi lain sedekah yang berkaitan dengan penjagaan alam, ini tersirat dalam sabdanya:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا ، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا ، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Setiap muslim yang menanam tanaman atau tumbuh-tumbuhan, lalu dimakan burung atau manusia atau hewan, maka itu menjadi sedekah baginya”. (HR. Al-Bukhari).

Menjadi Rahmat Bagi Lingkungan.
Pencemaran alam yang telah sampai pada tingkat kritis membuat para ahli lingkungan hidup nyaris berputus asa, akhirnya mereka menyerah pada agama. Maka muncullah para ulama umat Islam yang mengkaji pesan-pesan moral Islam terhadap lingkungan yang terangkum dalam Fiqh al-Bî’ah. Islam tidak hanya terbatas pada pembahasan klasik, berkutat pada pembahasan Thahârah (bersuci), Fiqh Ibadah dan lain sebagainya. Akan tetapi mulai mengkonsentrasikan diri pada pesan-pesan Islam terhadap pemeliharaan lingkungan. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ
“Janganlah salah seorang kamu buang air kecil di air tergenang yang tidak mengalir”. (HR. Muslim). Jika membuang limbah pribadi saja dilarang, maka bagaimana dengan limbah pabrik, kotoran kolektif yang merusak alam semesta.
Dalam Islam diajarkan bahwa ibadah shalat tidak sah jika tidak dalam keadaan suci, dan kesucian yang sempurna itu dilakukan dengan air. Bersuci tidak sempurna jika tidak dilakukan dengan air yang juga suci. Oleh sebab itu menjaga kesucian air merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena kesucian air terkait erat dengan ibadah yang dilakukan kaum muslimin setiap waktu. Dengan demikian maka menjaga semua sarana yang dapat mewujudkan air yang suci merupakan kewajiban setiap muslim, sama seperti kewajiban ibadah shalat itu sendiri. Karena shalat menjadi tidak sempurna tanpa air yang suci. Seirama dengan kaedah:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Yang wajib menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka ia pun ikut menjadi wajib”.

Menjadi Rahmat Bagi Musuh.
Tiga belas tahun lamanya Rasulullah Saw hidup dalam penindasan kaum musyrik Mekah. Siksaan fisik dan mental beliau rasakan dalam kurun waktu yang panjang tersebut. Tak hanya Rasulullah Saw, para pengikutnya ikut merasakan sakitnya penderitaan. Rasulullah Saw tidak mampu menolong mereka, suatu ketika Rasulullah Saw melewati rumah keluarga Yasir, beliau mendengar rintihan Yasir, ‘Ammar putranya dan Sumayyah istrinya akibat siksaan yang mereka alami. Saat itulah keluar ucapan Rasulullah Saw:
صبرا يا آل ياسر ، فإن موعدكم الجنة
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya kamu dijanjikan surga”. (HR. al-Hakim). Bilal bin Rabah dijemur di panas terik, ditimpa dengan batu besar, diikut dengan tali dan berbagai macam siksaan lainnya.
Akhirnya kemenangan itu datang, pada tahun ke delapan Hijrah, Rasulullah Saw bersama sepuluh ribu pasukan memasuki kota Mekah yang dikenal dengan peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekah). Terbayang di benak Sa’ad bin ‘Ubadah bahwa hari itu adalah hari pembalasan, maka ia katakan, “Ini adalah hari pembalasan”. Akan tetapi, apakah kiranya jawaban Rasulullah Saw mendengar ucapan itu, beliau berkata:
يا أبا سفيان اليوم يوم المرحمة اليوم أعز الله فيه قريشاً
“Wahai Abu Sufyan, ini adalah hari kasih sayang. Hari ini Allah Swt memuliakan orang-orang Quraisy” . Padahal kita tahu bagaimana perlakuan Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah Saw.
Katika Rasulullah Saw telah selesai menghancurkan patung-patung di sekeliling Ka’bah, beliau berpidato di hadapan penduduk Mekah. Di akhir khutbahnya Rasulullah Saw bertanya kepada penduduk Mekah:
« مَا تَرَوْنَ أَنِّى صَانِعٌ بِكُمْ؟ ».
قَالُوا : خَيْرًا أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ. قَالَ :« اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ ».
“Menurut kamu, apa yang akan saya lakukan terhadap kamu?”.
Mereka menjawab: “Perlakuan baik. (Engkau) saudara yang mulia dan anak dari seorang saudara yang mulia”.
Rasulullah Saw berkata: “Pergilah kamu, maka kamu adalah orang-orang yang bebas”. (HR. Al-Baihaqi).
Terlihat rahmat yang dibawa Rasulullah Saw, meskipun itu terhadap para musuh yang amat sangat menyakiti beliau.
Demikian Rasulullah Saw memperlakukan musuh-musuhnya. Berikut ini petikan khutbah Rasulullah Saw ketika melepas pasukan menuju Mu’tah:
اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فَقَاتِلُوا عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ بِالشَّامِ وَسَتَجِدُونَ فِيهِمْ رِجَالاً فِى الصَّوَامِعِ مُعْتَزِلِينَ مِنَ النَّاسِ فَلاَ تَعْرِضُوا لَهُمْ وَسَتَجِدُونَ آخَرِينَ لِلشَّيْطَانِ فِى رُءُوسِهِمْ مَفَاحِصُ فَافْلُقُوهَا بِالسُّيُوفِ وَلاَ تَقْتُلُوا امْرَأَةً وَلاَ صَغِيرًا ضَرَعًا وَلاَ كَبِيرًا فَانِيًا وَلاَ تَقْطَعُنَّ شَجَرَةً وَلاَ تَعْقِرُنَّ نَخْلاً وَلاَ تَهْدِمُوا بَيْتًا
“Berperanglah kamu dengan nama Allah. Perangilah musuh Allah dan musuh kamu di negeri Syam. Kamu akan mendapati diantara mereka orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ibadah, mereka mengasingkan diri orang banyak. Maka janganlah kamu mengganggu mereka. Dan kamu akan mendapati orang-orang lain yang di kepala mereka ada sarang setan. Maka pecahkanlah dengan pedang-pedang. Janganlah kamu membunuh perempuan, jangan bunuh anak kecil menyusui, jangan bunuh orang tua renta, jangan potong pohon kayu, jangan tebang pohon kurma dan jangan hancurkan rumah”. (HR. Al-Baihaqi).
Jika etika perang seperti ini muncul di tengah masyarakat modern, tentulah itu tidak mengherankan, akan tetapi pesan-pesan Rasulullah Saw ini lahir di tengah masyarakat primitif yang membumihanguskan setiap negeri yang mereka kuasai tanpa menyisakan apa pun, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyata.

Penutup.
Jika pesan-pesan ini lahir dari seorang filusuf yang lahir dan besar di Yunani atau pemikir dari Romawi, tentulah itu tidak mengherankan, karena ia lahir sebagai produk dari lingkungan peradabannya. Akan tetapi pesan-pesan ini lahir dari mulut seorang Muhammad yang lahir di tengah masyarakat Arab Jahiliah yang tidak mengenal peradaban. Tidaka ada yang istimewa bagi sekuntum bunga mawar yang tumbuh di taman yang subur. Namun ketika padang sahara yang tandus mampu mengeluarkan setangakai mawar yang indah dan harum semerbak, disanalah baru terjadi mukjizat. Demikianlah halnya sosok Muhammad Saw, ia bukan produk lingkungannya, akan tetapi datang dari wahyu yang dikirimkan Allah Swt. Pesan-pesan moral Rasulullah Saw yang universal ini mesti dapat dinikmati alam semesta di zaman moderen ini. Warisan Rasulullah Saw tidak hanya dibaca dalam buku-buku sejarah dan buku ilmiah, akan tetapi dapat dilihat dalam sikap dan prilaku setiap muslim sebagai aktualisasi Islam dalam keseharian, hingga muncul sosok-sosok al-Qur’an berjalan seperti yang pernah dilakukan Rasulullah Saw beberapa abad silam.