Kamis, 04 Desember 2014

Mencium Hajar Aswad

Assalamu'alaikum Wr Wb
Ada seseorang ikut kajian ma'rifat namanya ustadz, katanya, mencium hajar aswad itu karena bentuk hajar aswad itu seperti bentuk kemaluan ibu kita. Apa benar demikian ustadz?

wa'alaikumussalam.
Bentuk hajar aswad itu seperti ini:

jadi, hajar aswad adalah batu kecil-kecil itu. yang ada tanda panah.
apa bentuk kemaluan ibu dia seperti itu, wallahu a'lam.
supaya batu-batu itu tidak copot, maka diikat dengan batu dan pin besi,
bentuknya seperti ini:
setelah diberi pin besi, maka jadilah bentuk hajar aswad itu sekarang seperti ini:

kebetulan kawan kamu yang ikut kajian ma'rifat itu ngeres otaknya, tapi sok tau, sok ngerti ma'rifat, akibat masa kecil tidak mau belajar agama. akhirnya dia mikir, jadilah kesimpulan dia yang aneh bin ajaib itu, mencium hajar aswad karena bentuknya seperti kemaluan perempuan. suruh dia taubat nasuha dan belajar islam yang benar.
kita mencium hajar aswad karena mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
shahabat nabi setingkat Umar bin Khatthab pun hanya mampu berkata,
"Wahai batu, aku tahu engkau tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat, kalaulah bukan karena Nabi Muhammad Saw menciummu, aku pun tidak mau menicummu".
wassalam

d

Rabu, 03 Desember 2014

Komentar Terhadap Risalah Hj.Shaari Hj.Mohd. Yusof




Pada hari Sabtu 29 November 2014, salah seorang jamaah  memberikan satu risalah kepada saya berjudul Ilmu Ma’rifat Tok Kenali Kelantan, kumpulan tulisan Hj. Shaari Hj. Mohd Yusof. Saya diminta memberikan komentar atas risalah ini berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Komentar Saya:
Pertama, Tok Kenali adalah salah seorang ulama besar dari Kelantan (Malaysia), belajar agama Islam sampai ke Makkah al-Mukarramah. Semasa di Makkah, beliau satu angkatan dengan mufti kerajaan Indragiri (Riau) bernama Syekh Abdurrahman Shiddiq. Seorang peneliti dari Malaysia bernama Wan Mohd. Shaghir Abdullah ketika menulis biografi Syekh Abdurrahman Shiddiq ada menyebutkan, “Sahabatnya yang lain ialah Haji Abdullah Fahim (lahir 1286H/1869M, Tok Kenali (lahir 1287H/1871M)”. (Wan Modh. Shaghir Abdullah, Ulama Nusantara). Mereka adalah para ulama yang benar dalam menyampaikan risalah Islam ke negeri Melayu. Adapun ajaran yang diklaim sebagai Ma’rifat Tok Kenali ini tidak mungkin diajarkan seorang ulama besar seperti Tok Kenali, apalagi silsilah Hj.Shaari tidak jelas, pada halaman 20 dia sebutkan, “Datuk saya almarhum al-‘arif billah al-waliyullah Tok Awang sewaktu beliau menerima ilmu ini dari salah seorang anak murid Tok Kenali yang datang ke Penang dekat masjid Indai (kalau saya tidak salah). Tapi nama anak murid Tok Kenali ini kami anak cucu Tok Awang tak ingat namanya”. Dalam silsilah keilmuan Islam, amat sangat penting validitas data, dari mana ilmu itu diperoleh. Bahkan para ulama tarekat amat sangat menjaga silsilah guru-guru mereka, karena dalam dunia Tasauf dinyatakan,
من لا شيخ له فالشيطان شيخه
“Siapa yang tidak memiliki Syaikh (tidak berguru), maka setan lah gurunya”. (Ibnu ‘Ajibah, Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, hal.57). Banyak orang memanfaatkan nama besar ulama untuk mengklaim kebenaran ajarannya. Ini terjadi pada Imam al-Ghazali, seseorang menulis kitab berjudul al-Aufaq, isinya mantra dan sihir, lalu ia nisbatkan kepada Imam al-Ghazali, ternyata itu palsu. Itu juga terjadi pada Imam as-Suyuthi, ada kitab berjudul al-Kibrit al-Ahmar, kitab mantra dan sihir sesat, dinisbatkan kepada Imam as-Suyuthi, untuk mempengaruhi masyarakat awam yang haus ilmu tapi jahil, mudah terpedaya. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan memberikan mereka hidayah ke jalan yang benar. Amin.

 Kedua, Hj. Shaari Hj.Mohd Yusof banyak sekali menulis hadits palsu,
Pada halaman 28, Shaari menulis: “Dalam hadis “ana araftu Rabbi Birabbi” (aku mengenal tuhan dengan tuhanku”.
Padahal ini bukan hadits, ini adalah ucapan Dzun Nun al-Mishri.
Demikian disebutkan  Imam al-Qusyairi dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah halaman: 142.
Demikian juga disebutkan Imam Ibnu ‘Ajibah dalam Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, halaman: 180.
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, juz.IV halaman: 257 menyebut ini ucapan ulama Tasawuf.
Dalam Syarh al-Hikam al-‘Atha’iyyah halaman 115 ini disebut hanya pendapat ulama Tasawuf.
Kalau memang Hj.Shaari seperti pernyataannya telah mendapat Ma’rifat, mengapa “Allah” Hj.Shaari itu diam sahaja ketika Hj.Shaari berbuat salah?!
Bukankah diam terhadap kebenaran itu perbuatan setan?!
من سكت عن الحق فهو شيطان اخرس
“Diam terhadap kebenaran adalah setan bisu”. (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz.2, halaman: 20).
Jelaslah bahwa yang dirasakan Hj.Shaari dalam Makrifatnya itu adalah setan bisu. Kerana, jika benar dia Allah, pastilah dia akan beritahu Hj.Shaari:
أخطأت يا ساري، الذي ذكرته ليس بحديث
Kalau Hj.Shaari tidak boleh bahasa Arab, tentu Allah boleh bagi ilham bahasa melayu, “Korang salah tau, tu bukan hadis! Tu cakap Dzun Nun al-Mishri. Belaja lah sikit, baru jadi tuk guru. Awak ni menengade lah”.
Bukan itu saja,
Hj.Shaari menulis lagi di halaman: 29, berpandukan sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits, “Barang siapa mengenal diri, maka akan kenallah ia akan Allah”.
Tuan Hj.Shaari, itu bukan hadits, cuba tengok cakap Imam as-Suyuthi,
إن هذا الحديث ليس بصحيح وقد سئل عنه النووي في فتاويه فقال أنه ليس بثابت وقال ابن تيمية وقال الزركشي  في الأحاديث المشتهرة ذكر ابن السمعاني أنه من كلام يحيى بن معاذ الرازي.
Riwayat ini tidak shahih. Imam an-Nawawi pernah ditanya tentang hadits ini dalam fatwanya, beliau menjawab, “Tidak kuat”. Ibnu Taimiah dan az-Zarkasyi berkata dalam kumpulan hadits populer, “Ibnu as-Sam’ani menyebutkan bahwa ini ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi” (Imam as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, juz.III, hal.355).
Hj. Shaari menulis lagi di halaman: 30, “Berpandukan sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadis, “Matilah diri kau sebelum kamu mati”.
Ini bukan hadits, demikian dinyatakan para ulama ahli hadits dalam:
·         Asna’ al-Mathalib fi Ahadits Mukhtalif al-Maratib, Muhammad bin Darwisy bin Muhammad al-Hut, halaman: 295.
·         Al-Asrar al-Marfu’ah fi Ahadits al-Maudhu’ah, Imam Mulla ‘Ali al-Qari, halaman: 363.
·         Al-Jadd al-Hatsits fi Bayan Ma Laisa bi Hadits, Imam al-‘Amiri, halaman: 240.
·         Al-Fawa’id al-Maudhu’ah fi Ahadits al-Maudhu’ah, al-Karami, halaman: 140.
·         Al-Lu’lu’ al-Marshu’, Muhammad bin Khalil bin Ibrahim al-Masyisyi at-Tharablusi, halaman: 204.
·         Al-Mashnu’ fi Ma’rifati al-Hadits al-Maudhu’, al-Qari, halaman: 198.
·         Al-Maqashid al-Hasanah, as-Sakhawi, halaman: 682.
·         An-Nukhbah al-Bahiyyah fi al-Ahadits al-Makhdzubah ‘ala Khair al-Bariyyah, al-‘Allamah Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki, halaman: 20.
·         Kasyf al-Khafa’, al-‘Ajluni, Juz.2, halaman: 291.
Hj.Shaari ulang lagi di halaman: 32.
Hj.Shaari ulang lagi di halaman: 37.
Hj.Shaari ulang lagi di halaman: 48.
Ingat Tuan Hj.Shaari !!!
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Siapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka siapkanlah tempat duduk dari api neraka”. (Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga, menafikan al-Qur’an, Sunnah dan ulama.
Pada halaman: 20 Hj.Shaari menulis: “Mengenal Allah itu tidak sekali-kali melalui bimbingan guru, malaikat atau bimbingan al-Qur’an”.
Kalimat ini jelas-jelas batil. Karena hanya al-Qur’an, Sunnah dan Ulama sajalah jalan mengenal Allah Swt. Itulah sumber yang terpercaya. Lain daripada itu adalah batil, jika tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah Saw bersabda,
" تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما : كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا على الحوض " 
[ رواه مالك بلاغا والحاكم موصلا بإسناد حسن ]
“Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnahku. Tidak akan terpisah hingga datang ke telaga (Muhammad Saw)”. (HR. Malik dan al-Hakim).
Keempat, Hj.Shaari menjelaskan Ma’rifat dengan rasa.
Kita lihat penjelasan ulama tentang ma’rifat (pengenalan/pengetahuan tentang sesuatu. Ma’rifatullah berarti pengetahuan tentang Allah). Berikut kutipan dari kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah:
أخبرنا محمد بن يحيى الصوفي، قال: أخبرنا عبد الله بن علي التميمي الوصفي، يحكى عن الحسين بن علي الدامغاني، قال: سئل أبو بكر الزاهر اباذي عن المعرفة، فقال: المعرفة: اسم، ومعناه وجود تعظيم في القلب يمنعك عن التعطيل والتشبيه.
Muhammad bin Yahya as-Shufi memberitakan kepada kami, Abdullah bin Ali at-Tamimi al-Washfi memberitakan kepada kami, ia ceritakan dari al-Husain bin Ali ad-Damighani, ia berkaa, “Abu Bakar az-Zahir Abazi ditanya tentang Ma’rifat, ia menjawab, “Ma’rifat adalah nama. Maknanya: adanya pengagungan (terhadap Allah) di dalam hati, sehingga dapat mencegah ta’thil (menafikan Allah) dan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal.2).
Hj.Shaari menjelaskan dalam risalahnya bahwa Ma’rifat itu cukup dengan rasa.
Lihat apa kata ahli Ma’rifat, Imam al-Ghazali:
وإنما الوصول إليه بالمجاهدة التي جعلها الله سبحانه مقدمة للهداية حيث قال تعالى والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين
Mencapai Ma’rifah itu dengan al-Mujahadah (kesungguhan amal) yang dijadikan Allah sebagai jalan menuju hidayah dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan  Kami Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. al-‘Ankabut: 69). (Ihya’ ‘Ulumiddin, al-Ghazali: juz.I, hal. 23).

Kelima, di banyak halaman Hj.Shaari mengejek Feqah (ilmu fiqh/ilmu ritual ibadah).
Saya khawatir, inilah kelompok yang dikhawatirkan Imam al-Ghazali, kelompok yang mengaku telah sampai kepada Ma’rifat, lalu menyepelekan Fiqh. Termauk satu diantara tujuh puluh sekian kelompok sesat. Lihat pernyataan al-Ghazali:
وظن طائفة أن المقصود من العبادات المجاهدة حتى يصل العبد بها إلى معرفة الله تعالى فإذا حصلت المعرفة فقد وصل وبعد الوصول يستغني عن الوسيلة والحيلة فتركوا السعي والعبادة وزعموا أنه ارتفع محلهم في معرفة الله سبحانه عن أن يمتهنوا بالتكاليف وإنما التكليف على عوام الخلق ووراء هذا مذاهب باطلة وضلالات هائلة يطول إحصاؤها إلى ما يبلغ نيفا وسبعين فرقة وإنما الناجي منها فرقة واحدة وهي السالكة ما كان عليه رسول الله صلى الله عليه و سلم وأصحابه وهو أن لا يترك الدنيا بالكلية ولا يقمع الشهوات بالكلية
Ada satu kelompok menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah mujahadah hingga sampai kepada Ma’rifat. Jika telah sampai kepada Ma’rifat, maka ia pun telah sampai (pada tujuan). Setelah sampai, maka tidak perlu lagi wasilah (jalan) dan usaha. Mereka pun meninggalkan usaha dan ibadah. Mereka menyatakan bahwa kedudukan mereka telah tinggi dalam Ma’rifat sehingga mereka merasa tidak perlu lagi dibebani ibadah, karena ibadah itu hanya bagi orang awam saja. Di balik kelompok ini adalah aliran batil dan sesat, terlalu banyak untuk dihitung, hingga sampai tujuh puluh sekian kelompok banyaknya. Yang selamat hanya satu kelompok saja, yaitu jalan yang dilalui Rasulullah Saw dan para shahabat, yaitu jalan tidak meninggalkan dunia secara keseluruhan dan tidak pula membuang nafsu secara keseluruhan. (Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, juz.III, hal.230).

Keenam, Hj.Shaari menakwilkan yang tidak perlu ditakwilkan. Memang ada metode takwil yang biasa dipakai ahli takwil, tapi yang ditakwilkan itu memang yang perlu penakwilan. Adapun ayat-ayat yang sudah qath’i ad-Dilalah seperti anjing dan babi tidak perlu ditakwilkan. Tapi Hj.Shaari mentakwilkan anjing dan babi. Di halaman 63 Hj.Shaari menyebutkan, “Dalam pengajian ilmu ma’rifat itu kita tidak boleh menzalimi anjing mahupun babi… anjing dan babi itu adalah kiasan atau tamsil”.
Mentakwil anjing dan babi ini berbahaya, karena ayat itu Qath’i ad-Dilalah, tidak perlu penakwilan. Ini bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Karena yang dimaksud anjing dan babi dalam al-Qur’an itu adalah babi, bukan anjing dan babi versi Hj.Shaari.
Imam ibnu Katsir menyebutkan,
فلما كلمه الحَبْران قال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أسْلِمَا" قالا قد أسلمنا. قال: "إنَّكُمَا لَمْ تُسْلِمَا فأسْلِما" قالا بلى، قد أسلمنا قبلك. قال: "كَذَبْتُمَا، يمْنَعُكُمَا مِنَ الإسْلامِ دُعَاؤكُما لله ولدا، وَعِبَادَتُكُمَا الصَّلِيبَ وأكْلُكُمَا الخِنزيرَ".
Ketika kedua pendeta berbicara kepada Rasulullah Saw, Rasulullah Saw berkata kepada kedua pendeta itu, “Masuk Islam lah kalian berdua”. Mereka menjawab, “Kami sudah masuk Islam”. Rasulullah Saw berkata, “Kalian belum masuk Islam, maka masuk Islam lah kamu”. Mereka berdua menjawab, “Kami sudah masuk Islam. Kami sudah masuk Islam sebelum engkau wahai Muhammad”. Rasulullah Saw menjawab, “Kalian berdua sudah berdusta. Yang mencegah kalian masuk Islam adalah karena kalian mengatakan Allah punya anak, kalian menyembah salib dan memakan babi”. (Tafsir Ibnu Katsir, juz.II, hal.51). benar-benar makan babi, sampai sekarang. Tidak perlu penakwilan. Oleh sebab itu Rasulullah Saw menyatakan bahwa Nabi Isa akan datang membunuh babi. Rasulullah Saw bersabda,
وَاللَّهِ لَيَنْزِلَنَّ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَادِلًا فَلَيَكْسِرَنَّ الصَّلِيبَ وَلَيَقْتُلَنَّ الْخِنْزِيرَ
“Demi Allah, akan turun Isa putra Maryam sebagai pemimpin yang adil. Ia akan menghancurkan salib dan akan membunuh babi”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Tentang anjing, tidak perlu ditakwilkan, karena hadits sudah jelas, Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Siapa yang memelihara anjing, bukan anjing untuk berburu dan bukan pula untuk menjaga ternak, maka balasan pahala amalnya berkurang setiap hari dua Qirath (dua bukit yang besar)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
            Bukan hanya sekedar memelihara, hasil penjualannya juga haram berdasarkan hadits,
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud al-Anshari, sesungguhnya Rasulullah Saw melarang: hasil penjualan anjing, upah wanita tunasusila dan upah dukun. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
            Pendapat Imam an-Nawawi,
وأما اقتناء الكلاب فمذهبنا أنه يحرم اقتناء الكلب بغير حاجة ويجوز اقتناؤه للصيد وللزرع وللماشية
Adapun memelihara anjing, maka menurut mazhab kami (Mazhab Syafi’i): haram hukumnya memelihara anjing tanpa ada kebutuhan. Boleh memelihara anjing untuk berburu, menjaga tanaman dan menjaga ternak. [Imam an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, juz.X (Dar Ihya’ at-Turats, Beirut), hal.236].

Ketujuh, dalam debat, yang pertama dilihat adalah kapasitas keilmuan lawan. Para ulama di al-Azhar tidak akan melayani Hj.Shaari karena kejahilannya dalam dasar-dasar agama Islam. Berkali-kali sampai tidak terhitung dia menulis Zuk, Zuk, Zuk, sampai lelah mata melihatnya. Padahal itu dari bahasa Arab ( ذوق ) Dzauq, artinya rasa. Nampak Hj.Shaari tidak belajar. Sedangkan Tok Kenali belajar sampai ke Makkah al-Mukarramah. Kasihan Tok Kenali dipercaya orang macam Hj.Shaari. yang lebih kasihan lagi adalah orang-orang yang ikut Hj.Shaari.
Pada halaman 20 dia sebutkan, “Datuk saya almarhum al-‘arif billah al-waliyullah Tok Awang”. Kalimat al-Waliyullah (الولي الله ) adalah kesalahan fatal yang termaafkan. Tapi orang-orang yang sudah tertelan celoteh Hj.Shaari susah menolak itu, karena Rasulullah Saw pernah bersabda,
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ
“Kekagumanmu terhadap sesuatu membuatmu buta dan bisu”. (HR. Abu Daud). saya berharap Allah membukakan mata dan hati orang-orang yang mencari kebenaran tidak terkecoh dengan permainan kata Hj.Shaari. Wallahu a’lam bisshawab.



Selasa, 25 November 2014

ABI = PAMAN SAYA



Pengantar.
Abdul Somad menulis dalam bukunya berjudul: 37 Masalah Populer:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas, sesungguhnya seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah bapakku?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Di neraka”.
Ketika laki-laki itu pergi, Rasulullah Saw memanggilnya, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka”. (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan bapak dalam hadits ini adalah paman Rasulullah Saw, yaitu Abu Thalib. Bukan Abdullah. Karena orang Arab biasa menyebut paman dengan sebutan (أَبِي).
           
AZ mengomentari ini di salah satu radio di Pekanbaru pada hari Senin 25 November 2014. “Mana ada orang Arab memanggil Abi kepada pamannya. Bahasa Arab mana itu???!!!”. Sambil tertawa melecehkan. Seakan-akan Abdul Somad ngawur, tidak faham bahasa Arab.
Lalu dikomentari oleh murid AZ: “Ternyata lain ya bahasa Arab Mesir dengan bahasa Arab Madinah?!”. Membumbui pelecehan gurunya.
Inilah yang melatarbelakangi Abdul Somad membuat tulisan ini sebagai:

Jawaban:
Allah Swt mengajarkan kepada kita, jika bersilang pendapat dalam suatu masalah, hendaklah kembali kepada al-Qur’an, Sunnah dan fatwa ulama yang benar. Bukan kepada hawa nafsu. Sekarang, mari kita lihat apa kata Allah Swt dalam al-Qur’an tentang penggunaana kata Abu/Abi untuk paman.

DALIL AL-QUR’AN DAN PENDAPAT KALANGAN SALAF.
وقد وجه من حيث اللغة بأن العرب تطلق لفظ الأب على العم إطلاقا شائعا وإن كان مجازا، وفي التنزيل ( أم كنتم شهداء إذ حضر يعقوب الموت إذ قال لبنيه ما تعبدون من بعدي قالوا نعبد آلهك وإله آبائك إبراهيم وإسماعيل وإسحاق) فأطلق على إسماعيل لفظ الأب وهو عم يعقوب كما أطلق على إبراهيم وهو جده.
Menurut bahasa, orang Arab menggunakan kata Abu/Abi untuk paman, penggunaan ini berlaku umum, meskipun maknanya majaz (kiasan). Dalam al-Qur’an disebutkan: “Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu), Ibrahim, Ismail dan Ishaq”. (Qs. al-Baqarah [2]: 133). Digunakan kata Abu (Bapak/Ayah)) terhadap Isma’il, padahal Isma’il itu paman nabi Ya’qub. Ibrahim juga disebut Abu (Bapak/Ayah), padahal Ibrahim itu kakek”. (al-Hawy li al-Fatawa karya Imam as-Suyuthi: 3/318).
Selanjutnya Imam as-Suyuthi menyebutkan beberapa riwayat tentang penggunaan Kata Abu (Bapak/Ayah) untuk paman:

Riwayat Pertama:
أخرج ابن أبي حاتم عن ابن عباس أنه كان يقول الجد أب ويتلو (قالوا نعبد آلهك وإله آبائك الآية)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Kakek pun disebut Abu (Bapak/Ayah)”. Kemudian beliau membacakan ayat: “Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu)”. (Qs. al-Baqarah [2]: 133).

Riwayat Kedua:
وأخرج عن أبي العالية في قوله وإله آبائك إبراهيم وإسماعيل قال سمي العم أبا.
Diriwayatkan dari Abu al-‘Aliyah tentang ayat: “dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu) Ibrahim, Ismail dan Ishaq”. Paman disebut Abu (Bapak/Ayah). (Qs. al-Baqarah [2]: 133).
وأخرج عن محمد بن كعب القرظي قال الخال والد والعم والد وتلا هذه الآية.

Riwayat Ketiga:
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ia berkata, “Paman dari pihak ibu disebut bapak/ayah, paman dari pihak bapak pun disebut bapak/ayah”. Kemudian beliau membacakan ayat di atas.
Imam as-Suyuthi menutup dengan:
فهذه أقوال السلف من الصحابة والتابعين في ذلك.
Ini adalah pendapat kalangan Salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in dalam masalah ini.

PENDAPAT AHLI BAHASA ARAB.
Berikut kita lihat pendapat Imam Muhammad bin Muhammad bin Abdirrazzaq al-Husaini Abu al-Faidh Murtadha az-Zabidi dalam kitabnya Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus:
قيل : هو اسْمُ عَمِّ إبراهِيمَ عليه وعلى محمّدٍ أفضلُ الصّلاة والسّلام في الآيةِ المذكورة وإنّمَا سُمِّيَ العَمُّ أباً وجَرى عليه القرآنُ العَظيم على عادةِ العربِ في ذلك لأنهم كثيراً ما يُطلِقُون الأبَ على العَمّ وأمّا أبُوه فإنه تارَخُ
 Ada pendapat yang mengatakan bahwa Azar adalah nama paman Nabi Ibrahim as yang terdapat dalam ayat. Paman disebut Abu (Bapak/Ayah), demikian menurut al-Qur’an dan tradisi kebiasaan orang-orang Arab tentang penyebutan itu, karena orang-orang Arab sering menggunakan kata Abu/Abi kepada paman. Sedangkan ayah kandungnya adalah Tarakh. (Taj al-‘Arus, hal.2454).

Fatwa Saudi Arabia:
أما إطلاق اسم الأب على العم على سبيل الاحترام والتكريم فجائز، وهو الذي جاء في القرآن، لكنه ليس أبا في النسب
Adapun penggunaan kata Abi untuk paman sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan, maka hukumnya boleh. Demikian terdapat dalam al-Qur’an. Tapi bukan bapak/ayah secara nasab. (al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’: 11/460).

Pendapat Syekh Ibnu Utsaimin Ulama Besar Saudi Arabia.
أنه يجوز إطلاق اسم الأب على العم تغليباً؛ لقوله تعالى: { وإسماعيل }.
Boleh menggunakan kata Abu/Abi untuk paman, karena kebiasaan/umum. Berdasarkan firman Allah: “dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu) Ibrahim, Ismail dan Ishaq”. Paman disebut Abu (Bapak/Ayah). (Qs. al-Baqarah [2]: 133).
(Tafsir al-‘Allamah Ibn ‘Utsaimin).
وأما إسماعيل فهو عمه لكن أطلق عليه لفظ الآباء من باب التغليب لأن العم صنو الأب كما قال النبي صلى الله عليه وسلم لعمر أما شعرت أن عم الرجل صنو أبيه يعني شريكه في الأصل والجذر والصنو هو عبارة عن النخلتين يكون أصلهما واحدا
Adapun Isma’il, maka dia adalah paman Ya’qub, tapi digunakan kata Abu/Abi (Bapak/Ayah) karena lafaz itu biasa digunakan. Karena paman itu bagian dari bapak/ayah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada Umar, “Apakah engkau tidak merasa bahwa paman seseorang itu bagian dari bapaknya”. Maksudnya adalah bagian dalam asal dan akar. Makna kata as-shanu adalah ungkapan tentang dua pohon kurma yang asalnya satu. (Syarh Riyad as-Shalihin, hal.784).

Pendapat Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri Pengajar Fiqh dan Tafsir di Masjid Nabawi:
يطلق لفظ الأب على العم تغليباً وتعظيماً .
Kata Abu/Abi digunakan untuk paman, menurut kebiasaan dan secara umum biasa digunakan. (Aisar at-Tafasir: 1/57).

CATATAN:
Pertama, dari dalil-dalil diatas, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan pendapat para ulama dari berbagai cabang keilmuan, jelaslah bahwa kata Abu/Abi biasa digunakan untuk paman.  Bukan bahasa Arab aneh buatan Abdul Somad.

Kedua, bagi penceramah agar menyampaikan sesuatu dengan amanah, jangan melakukan pembohongan publik.  Karena tidak semua pendengar itu jahil bin bahlul.  Dan yang paling penting, kita semua akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt  tentang apa yang pernah kita sampaikan.

Ketiga, jangan sampai fanatik kepada orang tertentu membutakan mata kita untuk melihat kebenaran.

Keempat, Abdul Somad memang tidak se’alim Sibawaih dalam bahasa Arab. Tapi dia bisa juga menyelesaikan S1 di al-Azhar dalam waktu 3 tahun 10 bulan. Dari 20 mahasiswa seangkatannya di Darul Hadits-Maroko tahun 2004, dia mahasiswa pertama menyelesaikan S2, dengan tesis dalam bahasa Arab 300 halaman, selesai dalam waktu 1 tahun 11 bulan (Institut Darul Hadits hanya menerima 20 siswa jurusan hadits dalam satu tahun). Sedikit banyak dia bisa dan faham juga bahasa Arab, rupanya.

Kelima, kata Imam Syafi’i:
تَكَبَّرْ عَلَى الْمُتَكَبِّرِ مَرَّتَيْنِ
“Sombonglah engkau kepada orang yang sombong itu dua kali sombong”.
(Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyyah wa Syari’ah Nabawiyyah: 3/176).