Melafalkan
Niyat[1].
Fatwa
Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Sebagian orang
mengatakan bahwa melafalkan niat shalat itu bid’ah, karena tempat niat
di dalam hati. Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal
atau pahalanya sia-sia?
Jawaban:
Makna niat
adalah sengaja melakukan sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib
melafalkan niat shalat, demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat
tidak terikat dengan lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
Mazhab Syafi’I berpendapat:
boleh melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah
membantu hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya
Allah jika memenuhi syarat, diantaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
Dalam Fiqh al-Madzahib
al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki berpendapat: melafalkan niat itu
bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka
dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was (keraguan).
Menurut
Mazhab Hanafi: melafalkan niat itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari
Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Akan tetapi dianggup baik untuk menolak
was-was.
Kesimpulannya
bahwa tempat niat itu di hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan
menurut Mazhab Hanafi: bid’ah. Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang
lebih utama. Akan tetapi bagi orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu
dianjurkan dan dianggap baik. Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu
al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan niat,
beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I dalam masalah ini. Imam Ibnu
al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan melaksanakan shalat, beliau
mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya.
Beliau tidak melafalkan niat sama sekali. Beliau tidak mengucapkan, “Aku
melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat rakaat, menjadi imam atau
makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’ atau qadha’, atau shalat
fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan muta’akhirin tergoda dengan
pendapat Imam Syafi’i tentang shalat, bahwa shalat itu tidak sama seperti
puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir. Lalu mereka menyangka
bahwa zikir yang dimaksud adalah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i
dengan zikir itu adalah Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin
Imam Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam
satu shalat, demikian juga dengan para khalifah setelahnya dan para
shahabatnya.
Ini
pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para imam yang lain memiliki pendapat
masing-masing. Hukum yang menyatakan bahwa melafalkan niat itu adalah bid’ah,
pendapat ini tidak dapat diterima, apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah
dhalalah. Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya
sunnat, atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu,
seperti dalam keadaan was-was. Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan
niat itu tidak mendatangkan mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar