Selasa, 24 Juli 2012

Melafalkan Niyat

Melafalkan Niyat[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan bahwa melafalkan niat shalat itu bid’ah, karena tempat niat di dalam hati. Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya sia-sia?

Jawaban:
Makna niat adalah sengaja melakukan sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib melafalkan niat shalat, demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat tidak terikat dengan lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
                Mazhab Syafi’I berpendapat: boleh melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah membantu hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya Allah jika memenuhi syarat, diantaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
                Dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki berpendapat: melafalkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was (keraguan).
Menurut Mazhab Hanafi: melafalkan niat itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Akan tetapi dianggup baik untuk menolak was-was.
Kesimpulannya bahwa tempat niat itu di hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan menurut Mazhab Hanafi: bid’ah. Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama. Akan tetapi bagi orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan dianggap baik. Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan niat, beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I dalam masalah ini. Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan melaksanakan shalat, beliau mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Beliau tidak melafalkan niat sama sekali. Beliau tidak mengucapkan, “Aku melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat rakaat, menjadi imam atau makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’ atau qadha’, atau shalat fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan muta’akhirin tergoda dengan pendapat Imam Syafi’i tentang shalat, bahwa shalat itu tidak sama seperti puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir. Lalu mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu adalah Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam satu shalat, demikian juga dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.
Ini pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para imam yang lain memiliki pendapat masing-masing. Hukum yang menyatakan bahwa melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat diterima, apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah dhalalah. Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat, atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was. Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.



[1]  Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 66 [Maktabah Syamilah],

Tidak ada komentar:

Posting Komentar