Kami awali dengan menyebutkan
beberapa dalil firman Allah SWT secara mutlak menyebutkan Nabi Yahya AS dengan
lafaz Sayyid dalam firman-Nya,
فَنَادَتْهُ
الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ
بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا
وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (39)
“Sesungguhnya Allah
menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan
kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa
nafsu)”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 39). Apakah layak menggunakan kata Sayyid
kepada Nabi Yahya AS, sementara kepada Nabi Muhammad SAW tidak menggunakan kata
tersebut, sedangkan jelas bahwa Nabi Muhammad SAW itu lebih utama dari Nabi
Yahya AS dan para nabi lainnya serta seluruh makhluk, itu sudah merupakan
perkara agama Islam yang telah diketahui secara pasti.
Jika kita perhatikan ayat-ayat ini secara umum, maka kita akan
menemukan suatu dorongan agar menghormati dan memuliakan Nabi Muhammad SAW,
diantaranya adalah ayat, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara
kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)”. (Qs.
An-Nur [24]: 63). Ini adalah perintah dari Allah SWT, meskipun perintah ini
bukan perintah yang mengandung makna wajib, akan tetapi minimal tidak kurang
dari sebuah anjuran, dan mengucapkan Sayyidina Muhammad adalah salah
satu bentuk penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.
Adh-Dhahhak
berkata dari Ibnu Abbas, “Mereka mengatakan, ‘Wahai Muhammad’, dan ‘Wahai Abu
Al Qasim’. Maka
Allah melarang mereka mengatakan itu untuk mengagungkan nabi-Nya”. Demikian
juga yang dikatakan oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Qatadah berkata, “Allah
memerintahkan agar menghormati nabi-Nya, agar memuliakan dan mengagungkannya
serta menggunakan kata Sayyidina”. Muqatil mengucapkan kalimat yang
sama. Imam Malik berkata dari Zaid bin Aslam, “Allah memerintahkan mereka agar
memuliakan Nabi Muhammad SAW”.
Adapun beberapa dalil dari
hadits, dalam hadits berikut ini Rasulullah SAW menyebut dirinya dengan lafaz Sayyid
di dunia, beliau juga mengingatkan akan kepemimpinannya di akhirat kelak dengan
keterangan yang jelas sehingga tidak perlu penakwilan, berikut ini kutipannya:
1. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
أَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku adalah Sayyid (pemimpin) anak cucu (keturunan) Adam pada
hari kiamat”. Dalam riwayat lain dari
Abu Sa’id Al Khudri dengan tambahan, وَلَا فَخْرَ “Bukan keangkukan”.
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah, أَنَا
سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat”.
2. Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Kami melewati aliran air,
kami masuk dan mandi di dalamnya, aku keluar dalam keadaan demam, hal itu
disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau berkata, ‘Perintahkanlah Abu Tsabit
agar memohon perlindungan’. Maka aku katakan, يَا سَيِّدِي وَالرُّقَى
صَالِحَةٌ ‘Wahai tuanku, bukankah ruqyah
lebih baik’. Beliau menjawab, لَا رُقْيَةَ إِلَّا فِي نَفْسٍ أَوْ حُمَةٍ أَوْ لَدْغَةٍ ‘Tidak ada ruqyah kecuali pada
jiwa atau demam panas atau sengatan (binatang berbisa)’.”
Perhatian, dalam
hadits ini Sahl bin Hunaif memanggil Rasulullah SAW dengan sebutan Sayyidi dan
Rasulullah SAW tidak mengingkarinya. Ini adalah dalil pengakuan dari Rasulullah
SAW. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengakui suatu perbuatan shahabat yang
bertentangan dengan syariat Islam.
3. Terdapat banyak riwayat yang shahih yang menyebutkan lafaz
Sayyidi yang diucapkan para shahabat. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan
Aisyah dalam kisah kedatangan Sa’ad bin Mu’adz untuk memimpin di Bani
Quraizhah, Aisyah berkata: قُومُوا إِلَى سَيِّدِكم
فَأَنْزَلُوْهُ
“Berdirilah kamu
untuk (menyambut) pemimpin kamu”, mereka menurunkannya”.
Al Khaththabi berkata dalam penjelasan hadits ini, “Dari hadits ini dapat
diketahui bahwa ucapan seseorang kepada sahabatnya, “Ya sayyidi (wahai
tuanku)” bukanlah larangan, jika ia memang baik dan utama. Tidak boleh
mengucapkan itu kepada seseorang yang jahat”.
Dalam riwayat lain dari
Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, قُومُوا لِسَيِّدِكُمْ “Berdirilah kamu untuk (menyambut) pemimpin kamu”. Tanpa
lafaz, “mereka menurunkannya”.
Berdiri tersebut adalah untuk menghormati Sa’ad RA, bukan karena ia sakit. Jika
mereka berdiri karena ia sakit, maka tentunya ucapan yang dikatakan kepadanya
adalah, “Berdirilah kamu untuk menyambut orang yang sakit”, bukan “Berdirilah
kamu untuk menyambut pemimpin kamu”. Yang diperintahkan untuk berdiri hanya
sebagian mereka saja, bukan semuanya.
4. Diriwayatkan dari Abu
Bakarah, ia berkata,
“Aku melihat Rasulullah SAW, Al Hasan bin Ali berada di sampingnya, saat itu ia
menyambut beberapa orang, beliau berkata,
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ
أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin, semoga
dengannya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin”.
5. Umar bin Al Khaththab RA berkata, أَبُو
بَكْرٍ سَيِّدُنَا وَأَعْتَقَ سَيِّدَنَا يَعْنِي بِلَالًا
“Abu Bakar adalah pemimpin kami, ia telah membebaskan pemimpin
kami”, yang ia maksudkan adalah Bilal.
6. Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Ummu Ad-Darda’
berkata, حَدَّثَنِي
سَيِّدِي أَبُو الدَّرْدَاءِ“Tuanku Abu
Ad-Darda’ memberitahukan kepadaku, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, دُعَاءُ
الأَخِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابٌ “Doa
seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya itu adalah doa yang dikabulkan”.
7. Rasulullah SAW bersabda, الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ“Al Hasan dan Al Husein adalah dua
pemimpin pemuda penghuni surga”.
8. Rasulullah SAW bersabda,
أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا
كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنْ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ مَا خَلَا النَّبِيِّينَ
وَالْمُرْسَلِينَ
“Abu Bakar dan Umar adalah dua pemimpin orang-orang tua
penghuni surga dari sejak manusia generasi awal hingga terakhir, kecuali para
nabi dan rasul”.
9. Rasulullah SAW bersabda,اَلْحَلِيْمُ سَيِّدٌ فِي
الدُّنْيَا وَسَيِّدٌ فِي الآخِرَةِ “Orang
yang sabar itu menjadi pemimpin di dunia dan akhirat”.
10. Rasulullah SAW berkata kepada Fathimah Az-Zahra’ RA,
أَمَا تَرْضِيْنَ أَنْ تَكُوْنِيْ سَيِّدَةَ
نِسَاءِ الْجَنَّةِ
“Apakah engkau tidak mau menjadi pemimpin wanita penduduk surga”.
11. Al
Maqburi berkata, “Kami bersama Abu Hurairah, kemudian datang Al Hasan bin Ali,
ia mengucapkan salam, orang banyak membalasnya, ia pun pergi, Abu Hurairah
bersama kami, ia tidak menyadari bahwa Al Hasan bin Ali datang, lalu dikatakan
kepadanya, “Ini adalah Al Hasan bin Ali mengucapkan salam”, maka Abu Hurairah
menjawab, وَعَلَيْكَ
يَا سَيِّدِي “Keselamatan juga bagimu wahai tuanku”.
Mereka berkata kepada Abu Hurairah, “Engkau katakan ‘Wahai tuanku’?”. Abu
Hurairah menjawab, أَشْهَدُ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ “Aku bersaksi bahwa Rasulullah SAW bersabda, إِنَّهُ سَيِّدٌ“Ia –Al
Hasan bin Ali- adalah seorang pemimpin”.
Kata Sayyid dan Sayyidah digunakan pada
Fathimah, Sa’ad, Al Hasan, Al Husein, Abu Bakar, Umar dan orang-orang yang
sabar secara mutlak, dengan demikian maka kita lebih utama untuk
menggunakannya.
Dari dalil-dalil diatas, maka jumhur ulama
muta’akhkhirin dari kalangan Ahlussunnah waljama’ah berpendapat bahwa boleh
hukumnya menggunakan lafaz Sayyid kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan sebagian
ulama berpendapat hukumnya dianjurkan, karena tidak ada dalil yang
mengkhususkan dalil-dalil dan nash-nash yang bersifat umum ini, oleh
sebab itu maka dalil-dalil ini tetap bersifat umum dan lafaz Sayyid
digunakan di setiap waktu, apakah di dalam shalat maupun di luar shalat.
Imam Ibnu ‘Abidin berkata dalam kitab
Hasyiahnya sesuai dengan pendapat pengarang kitab Ad-Durr, Ibnu Zhahirah,
Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarahnya terhadap kitab Minhaj karya
Imam Nawawi dan para ulama lainnya, menurutnya, “Yang paling afdhal adalah
mengucapkannya dengan lafaz Sayyid”.
Dalam kitab Al Adzkar karya Imam
Nawawi, halaman: 4 disebutkan, “Diriwayatkan kepada kami dari As-Sayyid Al
Jalil Abu Ali Al Fudhail bin ‘Iyadh, ia berkata, ‘Tidak melaksanakan suatu amal
karena orang banyak adalah perbuatan riya’, sedangkan melaksanakan suatu amal
karena orang banyak adalah syirik, keikhlasan akan membuat Allah mengampunimu
dari riya’ dan syirik itu’.” Kitab ini ditahqiq oleh Abdul Qadir Al Arna’uth,
beliau juga melakukan takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam kitab
ini. Pada bagian bawah, halaman: 4, no.2, beliau berkata, “Di dalamnya
terkandung hukum boleh menggunakan kata Sayyid kepada selain Allah SWT. Ada pendapat yang
mengatakan hukumnya makruh jika dengan huruf alif dan lam (اَلسَّيِّدُ). Ini adalah dalil boleh hukumnya
menggunakan kata As-Sayyid kepada selain Allah SWT. Demikian penjelasan
dari Syekh Abdul Qadir Al Arna’uth dalam kitab Al Adzkar, cetakan tahun
1971M, Dar Al Mallah.
Bagi orang yang sedang melaksanakan shalat,
pada saat tasyahhud dan pada saat membaca shalawat Al Ibrahimiah, dianjurkan
agar mengucapkan Sayyidina sebelum menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Maka
dalam shalawat Al Ibrahimiah itu kita ucapan lafaz Sayyidina. Karena
sunnah tidak hanya diambil dari perbuatan Rasulullah SAW, akan tetapi juga
diambil dari ucapan beliau. Penggunaan kata Sayyidina ditemukan dalam
banyak hadits Nabi Muhammad SAW. Ibnu Mas’ud memanggil beliau dalam bentuk
shalawat, ia berkata, “Jika kamu bershalawat kepada Rasulullah SAW, maka
bershawalatlah dengan baik, karena kamu tidak mengetahui mungkin shalawat itu
diperlihatkan kepadanya”. Mereka berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Ajarkanlah kepada
kami”. Ibnu Mas’ud berkata, “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ
وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِينَ
وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ مُحَمَّدٍ
عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ
“Ya
Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu untuk pemimpin para rasul,
imam orang-orang yang bertakwa, penutup para nabi, Nabi Muhammad SAW hamba dan
rasul-Mu …”.
Dalam kitab Ad-Durr Al Mukhtar
disebutkan, ringkasannya, “Dianjurkan mengucapkan lafaz Sayyidina,
karena tambahan terhadap berita yang sebenarnya adalah inti dari adab dan sopan
santun. Dengan demikian maka menggunakannya lebih afdhal daripada tidak
menggunakannya. Disebutkan Imam Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitab Syarhnya
terhadap kitab Al Minhaj karya Imam Nawawi, demikian juga disebutkan
oleh para ulama lainnya.
Memberikan tambahan kata Sayyidina
adalah sopan santun dan tata krama kepada Rasulullah SAW. Allah berfirman, “Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah
orang-orang yang beruntung”. (Qs. Al A’raf [7]: 157). Makna kata At-Ta’zir
adalah memuliakan dan mengagungkan.
Dengan demikian maka penetapannya berdasarkan Sunnah dan sesuai dengan isi
kandungan Al Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa adab dan sopan santun
kepada Rasulullah SAW itu lebih baik daripada melaksanakan suatu amal. Itu
adalah argumentasi yang baik, dalil-dalilnya berdasarkan hadits-hadits shahih
yang terdapat dalam kitab Shahih Al Bukhari dan Muslim, diantaranya adalah
ucapan Rasulullah SAW kepada Imam Ali,
امْحُ رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: لَا وَاللَّهِ
لَا أَمْحُوكَ أَبَدًا
“Hapuslah kalimat, ‘Rasulul (utusan) Allah’.” Imam Ali menjawab, “Tidak,
demi Allah aku tidak akan menghapus engkau untuk selama-lamanya”.
Ucapan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar,
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ
إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ
بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apa
yang mencegahmu untuk menetap ketika aku memerintahkanmu?”. Abu Bakar menjawab,
“Ibnu Abi Quhafah tidak layak melaksanakan shalat di depan Rasulullah SAW”.
Adapun hadits yang sering disebutkan banyak
orang yang berbunyi, لَا تُسَيِّدُوْنِيْ فِي الصَّلاَةِ “Janganlah kamu menggunakan kata Sayyidina pada namaku dalam
shalat”. ini adalah hadits maudhu’ dan dusta, tidak boleh dianggap
sebagai hadits. Al Hafizh As-Sakhawi berkata dalam kitab Al Maqashid Al
Hasanah, “Hadits ini tidak ada asalnya”. Juga terdapat kesalahan bahasa
dalam hadits ini, karena asal kata ini adalah سَادَ
يَسُوْدُ jadi
kalimat yang benar adalah تَسُوْدُوْنِيْ. Cukuplah demikian bagi orang yang mau
menerima dalil, walhamdulillah rabbil ‘alamin.
Sumber: al-Mausu'ah al-Yusufiyyah