البيع بالأجل / البيع المؤجل
Jual Beli Dengan Jangka Waktu.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
تاريخ الفتوى : 18 رجب 1426 الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فلقد أجاز مجمع الفقه الإسلامي البيع بالتقسيط في دورة مؤتمره السادس المنعقد في جدة 17شعبان 1410هـ الموافق 14مارس 1990م، وذلك في قراره رقم (53/2/6) بشأن البيع بالتقسيط وفيه: تجوز الزيادة في الثمن المؤجل عن الثمن الحال.... إلخ. انتهى .
Tanggal Fatwa: 18 Rajab 1426H
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba’du:
Majma’ al-Fiqh al-Islamy (Lembaga Fiqh Islam) membolehkan jual beli dengan tempo (jangka waktu/kredit), pada konferensi yang keenam yang dilaksanakan di Jeddah pada tanggal 17 Sya’ban 1410H bertepatan dengan 14 Maret 1990M. Dalam keputusan no. 53/2/6 tentang jual beli dengan tempo (jangka waktu). Fatwa dalam masalah ini: boleh tambahan pada harga dengan tempo (jangka waktu) terhadap harga kontan … dan seterusnya. Selesai.
Sumber: Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyah, juz: 170, halaman: 250.
س 74: السيارات التي تباع عن طريق التقسيط يزاد في سعرها إذا اشتريتها عن طريق التقسيط بحيث إذا كان سعر السيارة "15 " ألف ريال نقدا تباع على إنسان بأكثر من هذه القيمة عن طريق التقسيط. هل هذا البيع ربا ؟
ج: البيع بالتقسيط لا حرج فيه، إذا كانت الآجال معلومة والأقساط معلومة، ولو كان البيع بالتقسيط أكثر ثمنا من البيع نقدا؛ لأن البائع والمشتري كلاهما ينتفعان بالتقسيط. فالبائع ينتفع بالزيادة والمشتري ينتفع بالمهلة.
وقد ثبت في الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها: "أن بريرة رضي الله عنها باعها أهلها بالتقسيط تسع سنوات، لكل سنة أربعون درهما" ، فدل ذلك على جواز بيع التقسيط، ولأنه بيع لا غرر فيه ولا ربا ولا جهالة، فكان جائزا كسائر البيوع الشرعية إذا كان المبيع في ملك البائع وحوزته حين البيع.
Pertanyaan no. 74. Mobil-mobil yang dijual dengan cara kredit, jika saya beli maka harganya bertambah. Jika harga kontan 15 ribu Riyal, maka dijual dengan harga lebih dari itu ketika dijual dengan cara kredit. Apakah ini riba?
Jawaban:
Jual beli kredit itu tidak ada keberatan di dalamnya (boleh), jika waktu dan tambahannya diketahui, meskipun harga kredit lebih mahal daripada kontan. Karena penjual dan pembeli sama-sama mendapat manfaat. Penjual mendapat manfaat tambahan harga dan pembeli mendapat manfaat tempo (jangka waktu).
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Barirah dijual oleh tuannya dengan cara kredit selama sembilan tahun, satu tahunnya 40 Dirham. Ini menunjukkan bolehnya jual beli kredit. Karena tidak ada unsur gharar (tidak pasti) di dalamnya, juga tidak ada riba dan jahalah (tidak jelas). Maka boleh, sama seperti jual beli lainnya, jika barang yang dijual itu hak milik si penjual dan berada dalam kekuasaannya saat transaksi jual beli berlangsung.
(Sumber: Majmu’ Fatawa Bin Baz, juz: 17, halaman: 196).
Rabu, 25 Agustus 2010
Kajian Hadits Masjid Akramunnas UNRI.
Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Sabtu, 18 Ramadhan 1431H / 28 Agustus 2010
Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُجَاوِرُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ « تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ » .
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau bersabda, “Carilah Lailatulqadar pada sepuluh terakhir Ramadhan”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ .
Dari ‘Aisyah istri Rasulullah Saw, sesungguhnya Rasulullah Saw melaksanakan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau melaksankan I’tikaf setelah itu. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
وقال الزهري: «عجباً من الناس، كيف تركوا الاعتكاف، ورسول الله صلّى الله عليه وسلم كان يفعل الشيء ويتركه، وما ترك الاعتكاف حتى قبض» .
Imam az-Zuhri berkata, “Manusia itu aneh, mengapa mereka tidak melakukan I’tikaf, biasanya Rasulullah Saw melakukan sesuatu kemudian tidak melakukannya. Sedangkan I’tikaf, beliau tidak pernah meninggalkannya hingga beliau wafat”.
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 123).
Tempat I’tikaf:
والخلاصة: إن المالكية والشافعية يجيزون الاعتكاف في أي مسجد، والحنفية والحنابلة يشترطو ن كونه في المسجد الجامع، ولا يجوز عند الجمهور الاعتكاف في مسجد البيوت، ويجوز ذلك للمرأة عند الحنفية.
Kesimpulan: Mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan I’tikaf di setiap masjid.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mensyaratkan I’tikaf di Masjid Jami’.
Menurut jumhur ulama: tidak boleh I’tikaf di masjid bait (rumah).
Menurut Mazhab Hanafi: perempuan boleh I’tikaf di masjid bait (rumah).
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 128).
Lama Waktu I’tikaf:
I’tikaf sunnat tidak memiliki batasan waktu. I’tikaf terwujud dengan menetap di masjid dengan niat I’tikaf, apakah dalam waktu yang lama ataupun sebentar. Orang yang melakukannya tetap mendapatkan pahala selama ia berada di dalam masjid. Jika ia keluar, kemudian ia kembali, maka ia memperbaharui niat jika ia ingin berniat I’tikaf. Diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata, “Saya menetap di masjid sesaat untuk menetap, saya gunakan untuk I’tikaf”. ‘Atha’ berkata, “Seseorang itu beri’tikaf selama ia berada di masjid, jika ia duduk di masjid untuk mendapatkan kebaikan, maka berarti ia orang yang sedang beri’tikaf. Jika tidak untuk mendapatkan kebaikan, berarti tidak beri’tikaf.
(Sumber: Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabib, juz: 1, halaman: 475.
Keluar Masjid Karena Perlu:
الخروج للحاجة التي لا بد منها، قالت عائشة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله، وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة الانسان. رواه البخاري ومسلم وغيرهما.
وقال ابن المنذر: أجمع العلماء على أن للمعتكف أن يخرج من معتكفه للغائط والبول، لان هذا مما لا بد منه.
ولا يمكن فعله في المسجد، وفي معناه الحاجة إلى المأكول والمشروب إذا لم يكن له من يأتيه به فله الخروج إليه، وإن بغته القئ فله أن يخرج ليقئ خارج المسجد، وكل ما لا بد منه ولا يمكن فعله في المسجد فله خروجه إليه، ولا يفسد اعتكافه ما لم يطل. انتهى.
ومثل هذا الخروج للغسل من الجنابة وتطهير البدن والثوب من النجاسة.
Keluar masjid karena suatu kebutuhan. Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah Saw I’tikaf, tangan saya ke kepala beliau, saya menyisirnya. Beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan imam lain.
Ibnu al-Mundzir berkata, “Para ulama telah Ijma’ bahwa orang yang I’tikaf boleh keluar dari tempat I’tikafnya untuk buang air besar dan kecil, karena ini suatu kebutuhan, tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Semakna dengan itu juga adalah makan dan minum, jika tidak ada orang lain yang mengantarkannya, maka orang yang I’tikaf boleh keluar dari masjid. Jika ia ingin muntah, maka ia juga boleh keluar untuk muntah di luar masjid. Semua perkara yang mesti dilakukan dan tidak mungkin dilakukan di dalam masjid, maka orang yang I’tikaf boleh keluar dari dalam masjid, I’tikafnya tidak batal, selama tidak terlalu lama, selesai.
Sama juga seperti ini, keluar dari dalam masjid ntuk mandi wajib, membersihkan badan dan pakaian dari najis.
(Sumber: Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, juz: 1, halaman: 481-482).
Tujuan I’tikaf:
Kesucian hati dengan terus menerus merasakan pengawasan Allah Swt dan menyambut kemuliaan-Nya. Mengkonsentrasikan diri hanya untuk beribadah kepada Allah Swt dan melepaskan dari semua aktifitas, hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Melepaskan diri dari kesibukan dan aktifitas duniawi. Menyerahkan diri kepada Allah Swt dengan menyerahkan semua perkara kepada-Nya, bersandar hanya pada kemuliaan-Nya dan berhenti di depan pintu keagungan-Nya. Terus beribadah kepada-Nya di rumah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya agar lebih dekat kepada rahmat-Nya. Menjaga diri dengan pemeliharaan-Nya. I’tikaf adalah amal yang paling mulia dan paling dicintai Allah Swt jika didasari keikhlasan hanya kepada-Nya. Karena orang yang melaksanakan I’tikaf itu menantikan waktu-waktu pelaksanaan shalat, maka seakan-akan ia seperti orang yang sedang melaksanakan shalat secara terus menerus. Ia dalam keondisi spritual yang sangat dekat dengan Allah Swt.
Jika ia dalam keadaan berpuasa, maka itu semakin membuatnya merasa semakin dekat dengan Allah Swt, karena limpahan kesucian hati dan ketulusan jiwa yang dirasakan orang-orang yang berpuasa. I’tikaf lebih utama (afdhal) dilakukan pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan untuk mencari Lailatulqadar yang lebih baik daripada seribu bulan.
(Disunting dari: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 124).
Sabtu, 18 Ramadhan 1431H / 28 Agustus 2010
Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُجَاوِرُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ « تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ » .
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau bersabda, “Carilah Lailatulqadar pada sepuluh terakhir Ramadhan”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ .
Dari ‘Aisyah istri Rasulullah Saw, sesungguhnya Rasulullah Saw melaksanakan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau melaksankan I’tikaf setelah itu. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
وقال الزهري: «عجباً من الناس، كيف تركوا الاعتكاف، ورسول الله صلّى الله عليه وسلم كان يفعل الشيء ويتركه، وما ترك الاعتكاف حتى قبض» .
Imam az-Zuhri berkata, “Manusia itu aneh, mengapa mereka tidak melakukan I’tikaf, biasanya Rasulullah Saw melakukan sesuatu kemudian tidak melakukannya. Sedangkan I’tikaf, beliau tidak pernah meninggalkannya hingga beliau wafat”.
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 123).
Tempat I’tikaf:
والخلاصة: إن المالكية والشافعية يجيزون الاعتكاف في أي مسجد، والحنفية والحنابلة يشترطو ن كونه في المسجد الجامع، ولا يجوز عند الجمهور الاعتكاف في مسجد البيوت، ويجوز ذلك للمرأة عند الحنفية.
Kesimpulan: Mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan I’tikaf di setiap masjid.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mensyaratkan I’tikaf di Masjid Jami’.
Menurut jumhur ulama: tidak boleh I’tikaf di masjid bait (rumah).
Menurut Mazhab Hanafi: perempuan boleh I’tikaf di masjid bait (rumah).
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 128).
Lama Waktu I’tikaf:
I’tikaf sunnat tidak memiliki batasan waktu. I’tikaf terwujud dengan menetap di masjid dengan niat I’tikaf, apakah dalam waktu yang lama ataupun sebentar. Orang yang melakukannya tetap mendapatkan pahala selama ia berada di dalam masjid. Jika ia keluar, kemudian ia kembali, maka ia memperbaharui niat jika ia ingin berniat I’tikaf. Diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata, “Saya menetap di masjid sesaat untuk menetap, saya gunakan untuk I’tikaf”. ‘Atha’ berkata, “Seseorang itu beri’tikaf selama ia berada di masjid, jika ia duduk di masjid untuk mendapatkan kebaikan, maka berarti ia orang yang sedang beri’tikaf. Jika tidak untuk mendapatkan kebaikan, berarti tidak beri’tikaf.
(Sumber: Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabib, juz: 1, halaman: 475.
Keluar Masjid Karena Perlu:
الخروج للحاجة التي لا بد منها، قالت عائشة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله، وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة الانسان. رواه البخاري ومسلم وغيرهما.
وقال ابن المنذر: أجمع العلماء على أن للمعتكف أن يخرج من معتكفه للغائط والبول، لان هذا مما لا بد منه.
ولا يمكن فعله في المسجد، وفي معناه الحاجة إلى المأكول والمشروب إذا لم يكن له من يأتيه به فله الخروج إليه، وإن بغته القئ فله أن يخرج ليقئ خارج المسجد، وكل ما لا بد منه ولا يمكن فعله في المسجد فله خروجه إليه، ولا يفسد اعتكافه ما لم يطل. انتهى.
ومثل هذا الخروج للغسل من الجنابة وتطهير البدن والثوب من النجاسة.
Keluar masjid karena suatu kebutuhan. Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah Saw I’tikaf, tangan saya ke kepala beliau, saya menyisirnya. Beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan imam lain.
Ibnu al-Mundzir berkata, “Para ulama telah Ijma’ bahwa orang yang I’tikaf boleh keluar dari tempat I’tikafnya untuk buang air besar dan kecil, karena ini suatu kebutuhan, tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Semakna dengan itu juga adalah makan dan minum, jika tidak ada orang lain yang mengantarkannya, maka orang yang I’tikaf boleh keluar dari masjid. Jika ia ingin muntah, maka ia juga boleh keluar untuk muntah di luar masjid. Semua perkara yang mesti dilakukan dan tidak mungkin dilakukan di dalam masjid, maka orang yang I’tikaf boleh keluar dari dalam masjid, I’tikafnya tidak batal, selama tidak terlalu lama, selesai.
Sama juga seperti ini, keluar dari dalam masjid ntuk mandi wajib, membersihkan badan dan pakaian dari najis.
(Sumber: Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, juz: 1, halaman: 481-482).
Tujuan I’tikaf:
Kesucian hati dengan terus menerus merasakan pengawasan Allah Swt dan menyambut kemuliaan-Nya. Mengkonsentrasikan diri hanya untuk beribadah kepada Allah Swt dan melepaskan dari semua aktifitas, hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Melepaskan diri dari kesibukan dan aktifitas duniawi. Menyerahkan diri kepada Allah Swt dengan menyerahkan semua perkara kepada-Nya, bersandar hanya pada kemuliaan-Nya dan berhenti di depan pintu keagungan-Nya. Terus beribadah kepada-Nya di rumah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya agar lebih dekat kepada rahmat-Nya. Menjaga diri dengan pemeliharaan-Nya. I’tikaf adalah amal yang paling mulia dan paling dicintai Allah Swt jika didasari keikhlasan hanya kepada-Nya. Karena orang yang melaksanakan I’tikaf itu menantikan waktu-waktu pelaksanaan shalat, maka seakan-akan ia seperti orang yang sedang melaksanakan shalat secara terus menerus. Ia dalam keondisi spritual yang sangat dekat dengan Allah Swt.
Jika ia dalam keadaan berpuasa, maka itu semakin membuatnya merasa semakin dekat dengan Allah Swt, karena limpahan kesucian hati dan ketulusan jiwa yang dirasakan orang-orang yang berpuasa. I’tikaf lebih utama (afdhal) dilakukan pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan untuk mencari Lailatulqadar yang lebih baik daripada seribu bulan.
(Disunting dari: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 124).
Hari Raya Pada Hari Jum’at?
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, juz: 1, halaman: 316.
اجتماع الجمعة والعيد في يوم واحد
إذا اجتمع الجمعة والعيد في يوم واحد سقطت الجمعة عمن صلى العيد، فعن زيد بن أرقم قال: صلى النبي صلى الله عليه وسلم ثم رخص في الجمعة فقال: (من شاء أن يصلي فليصل) رواه الخمسة وصححه ابن خزيمة والحاكم.
وعن أبي هريرة أنه صلى الله عليه وسلم قال: (قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون) رواه أبو داود.
ويستحب للامام أن يقيم الجمعة ليشهدها من شاء شهودها، ومن لم يشهد العيد لقوله صلى الله عليه وسلم: (وإنا مجمعون).
وتجب صلاة الظهر على من تخلف عن الجمعة لحضوره العيد عند الحنابلة.
والظاهر عدم الوجوب، لما رواه أبو داود عن ابن الزبير أنه قال: عيدان اجتمعا في يوم واحد، فجمعهما فصلاهما ركعتين بكرة، لم يزد عليهما حتى صلى العصر.
Hari raya bertepatan jatuh pada hari Jum’at
Jika hari Jum’at dan hari raya bertepatan jatuh pada hari yang sama, maka kewajiban melaksanakan shalat Jum’at gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Ied. Dari Zaid bin Arqam, ia berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat (‘Ied), kemudian beliau memberikan keringanan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Beliau berkata, “Siapa yang mau melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah ia melaksanakannya”. Diriwayatkan oleh imam yang lima, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Dua hari raya ini telah berkumpul pada hari kamu. Siapa yang mau, maka shalat Jum’at sudah mencukupi baginya dan kita telah menggabungkannya”. (HR. Abu Daud).
Imam dianjurkan untuk melaksanakan shalat Jum’at agar mereka yang ingin melaksanakan shalat Jum’at dapat melaksanakannya dan bagi mereka yang tidak melaksanakan shalat ‘Ied. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Dan kami telah berkumpul (pada shalat ‘Ied)”.
Wajib melaksanakan shalat Zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jum’at karena ia telah melaksanakan shalat ‘Ied, demikian menurut Mazhab Hanbali.
Menurut pendapat yang kuat: tidak wajib, berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu az-Zubair, ia berkata: “Dua hari raya (‘Ied dan hari Jum’at) bergabung dalam satu hari. Menggabungkannya, beliau melaksanakan shalat dua rakaat pada waktu pagi (shalat ‘Ied), beliau tidak menambah shalat lagi hingga beliau melaksanakan shalat ‘Ashar.
Dikutip Dari Silsilah Liqa’at al-Bab al-Maftuh, Syekh ‘Utsaimin.
حكم صلاة الجمعة إذا وافقت يوم عيد:
___________________________________
السؤال: إذا وافق يوم الجمعة يوم عيد هل يصلى العيد بنية الجمعة؛ ليسقط عنه الظهر والجمعة؟
___________________________________
الجواب: الصحيح أن من يدرك العيد مع الإمام فإنه يرخص له في الجمعة إن شاء حضر وإن شاء لم يحضر، ولكن إذا لم يحضر يجب أن يصلي ظهراً؛ لأنه إذا سقطت الجمعة فلها بدل وهو الظهر، وهذا بالنسبة للمأمومين، أما الإمام فيلزمه أن يقيم الجمعة، ولا تجزئ صلاة العيد عنها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقيم العيد والجمعة إذا كانا في يوم واحد.
Hukum Shalat Jum’at Jika Bertepatan Dengan Hari Raya.
Pertanyaan:
Jika hari Jum’at bertepatan dengan hari raya, apakah melaksanakan shalat ‘Ied dengan niat shalat Jum’at untuk menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur dan shalat Jum’at?
Jawaban:
Menurut pendapat yang shahih, bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Ied bersama imam, maka ia diberi keringanan, jika ia mau maka ia boleh datang melaksanakan shalat Jum’at dan jika ia tidak mau maka ia boleh tidak shalat Jum’at. Akan tetapi jika ia tidak datang melaksanakan shalat Jum’at, ia tetap wajib melaksanakan shalat Zhuhur. Karena jika kewajiban melaksanakan shalat Jum’at gugur, maka gantinya adalah shalat Zhuhur. Ini bagi ma’mum. Sedangkan imam, ia mesti melaksanakan shalat Jum’at, tidak cukup hanya melaksanakan ‘Ied saja, karena Rasulullah Saw melaksanakan shalat ‘Ied dan shalat Jum’at jika hari raya bertepatan jatuh pada hari Jum’at.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, juz: 1, halaman: 316.
اجتماع الجمعة والعيد في يوم واحد
إذا اجتمع الجمعة والعيد في يوم واحد سقطت الجمعة عمن صلى العيد، فعن زيد بن أرقم قال: صلى النبي صلى الله عليه وسلم ثم رخص في الجمعة فقال: (من شاء أن يصلي فليصل) رواه الخمسة وصححه ابن خزيمة والحاكم.
وعن أبي هريرة أنه صلى الله عليه وسلم قال: (قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون) رواه أبو داود.
ويستحب للامام أن يقيم الجمعة ليشهدها من شاء شهودها، ومن لم يشهد العيد لقوله صلى الله عليه وسلم: (وإنا مجمعون).
وتجب صلاة الظهر على من تخلف عن الجمعة لحضوره العيد عند الحنابلة.
والظاهر عدم الوجوب، لما رواه أبو داود عن ابن الزبير أنه قال: عيدان اجتمعا في يوم واحد، فجمعهما فصلاهما ركعتين بكرة، لم يزد عليهما حتى صلى العصر.
Hari raya bertepatan jatuh pada hari Jum’at
Jika hari Jum’at dan hari raya bertepatan jatuh pada hari yang sama, maka kewajiban melaksanakan shalat Jum’at gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Ied. Dari Zaid bin Arqam, ia berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat (‘Ied), kemudian beliau memberikan keringanan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Beliau berkata, “Siapa yang mau melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah ia melaksanakannya”. Diriwayatkan oleh imam yang lima, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Dua hari raya ini telah berkumpul pada hari kamu. Siapa yang mau, maka shalat Jum’at sudah mencukupi baginya dan kita telah menggabungkannya”. (HR. Abu Daud).
Imam dianjurkan untuk melaksanakan shalat Jum’at agar mereka yang ingin melaksanakan shalat Jum’at dapat melaksanakannya dan bagi mereka yang tidak melaksanakan shalat ‘Ied. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Dan kami telah berkumpul (pada shalat ‘Ied)”.
Wajib melaksanakan shalat Zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jum’at karena ia telah melaksanakan shalat ‘Ied, demikian menurut Mazhab Hanbali.
Menurut pendapat yang kuat: tidak wajib, berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu az-Zubair, ia berkata: “Dua hari raya (‘Ied dan hari Jum’at) bergabung dalam satu hari. Menggabungkannya, beliau melaksanakan shalat dua rakaat pada waktu pagi (shalat ‘Ied), beliau tidak menambah shalat lagi hingga beliau melaksanakan shalat ‘Ashar.
Dikutip Dari Silsilah Liqa’at al-Bab al-Maftuh, Syekh ‘Utsaimin.
حكم صلاة الجمعة إذا وافقت يوم عيد:
___________________________________
السؤال: إذا وافق يوم الجمعة يوم عيد هل يصلى العيد بنية الجمعة؛ ليسقط عنه الظهر والجمعة؟
___________________________________
الجواب: الصحيح أن من يدرك العيد مع الإمام فإنه يرخص له في الجمعة إن شاء حضر وإن شاء لم يحضر، ولكن إذا لم يحضر يجب أن يصلي ظهراً؛ لأنه إذا سقطت الجمعة فلها بدل وهو الظهر، وهذا بالنسبة للمأمومين، أما الإمام فيلزمه أن يقيم الجمعة، ولا تجزئ صلاة العيد عنها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقيم العيد والجمعة إذا كانا في يوم واحد.
Hukum Shalat Jum’at Jika Bertepatan Dengan Hari Raya.
Pertanyaan:
Jika hari Jum’at bertepatan dengan hari raya, apakah melaksanakan shalat ‘Ied dengan niat shalat Jum’at untuk menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur dan shalat Jum’at?
Jawaban:
Menurut pendapat yang shahih, bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Ied bersama imam, maka ia diberi keringanan, jika ia mau maka ia boleh datang melaksanakan shalat Jum’at dan jika ia tidak mau maka ia boleh tidak shalat Jum’at. Akan tetapi jika ia tidak datang melaksanakan shalat Jum’at, ia tetap wajib melaksanakan shalat Zhuhur. Karena jika kewajiban melaksanakan shalat Jum’at gugur, maka gantinya adalah shalat Zhuhur. Ini bagi ma’mum. Sedangkan imam, ia mesti melaksanakan shalat Jum’at, tidak cukup hanya melaksanakan ‘Ied saja, karena Rasulullah Saw melaksanakan shalat ‘Ied dan shalat Jum’at jika hari raya bertepatan jatuh pada hari Jum’at.
Wanita Istihadhah Boleh Puasa?
Dikutip Dari Kitab Fiqh Sunnah, Karya Syekh Sayyid Sabiq,
juz: 1, halaman: 86 – 89.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
(3) أحكامها: للمستحاضة أحكام نلخصها فيما يأتي:
(3) Beberapa hukum bagi wanita yang mengalami istihadhah, kami ringkas sebagai berikut.
ا - أنه لا يجب عليها الغسل لشئ من الصلاة ولا في وقت من الاوقات إلا مرة واحدة، حينما ينقطع حيضها.
وبهذا قال الجمهور من السلف والخلف.
a. Wanita yang mengalami istihadhah tidak wajib mandi ketika akan melaksanakan shalat, tidak wajib mandi pada waktu tertentu, hanya wajib satu kali mandi saja, ketika haidhnya berhenti. Demikian menurut pendapat Jumhur ulama dari kalangan Salaf (terdahulu) dan Khalaf (belakangan).
ب - أنه يجب عليها الوضوء لكل صلاة، لقوله صلى الله عليه وسلم
- في رواية البخاري -: (ثم توضئي لكل صلاة).
b. Wanita yang mengalami istihadhah wajib berwudhu’ setiap kali akan melaksanakan shalat, berdasarkan ucapan Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, Rasulullah Saw berkata kepada seorang perempuan yang mengalami istihahdh: “Kemudian berwudhu’lah engkau untuk setiap kali akan melaksanakan shalat”.
وعند مالك يستحب لها الوضوء لكل صلاة، ولا يجب إلا بحدث آخر.
Menurut Imam Malik: wanita yang mengalami istihadhah dianjurkan agar berwudhu’ setiap kali akan melaksanakan shalat. Ia tidak wajib berwudhu’ kecuali ada hadats lain.
ح - أن تغسل فرجها قبل الوضوء وتحشوه بخرقة أو قطنة دفعا للنجاسة، وتقليلا لها، فإذا لم يندفع الدم بذلك شدت مع ذلك على فرجها وتلجمت واستثفرت، ولا يجب هذا، وإنما هو الاولى.
c. Wanita yang mengalami istihadhah agar membasuh kemaluannya sebelum berwudhu’, menutupinya dengan kain atau kapas untuk menolak najis dan meminimalisir najis. Jika darah istihadhah tetap tidak berhenti dengan itu, maka diperkuat dengan kain yang diisi kapas. Ini tidak wajib. Akan tetapi lebih utama untuk dilakukan.
د - ألا تتوضأ قبل دخول وقت الصلاة عند الجمهور إذ طهارتها ضرورية، فليس لها تقديمها قبل وقت الحاجة.
d. wanita yang mengalami istihadhah tidak boleh berwudhu’ sebelum masuk waktu shalat, demikian menurut jumhur (mayoritas) ulama, karena kesuciannya dalam keadaan darurat, ia tidak boleh mendahulukannya sebelum waktu yang dibutuhkan.
ه - أنه يجوز لزوجها أن يطأها في حال جريان الدم، عند جماهير العلماء لانه لم يرد دليل بتحريم جماعها.
e. Bagi wanita yang mengalami istihadhah, suaminya boleh menggaulinya dalam keadaan darah istihadhah mengalir. Demikian menurut jumhur (mayoritas) ulama. Karena tidak ada dalil yang mengaramkan menggauli wanita yang sedang mengalami istihadhah.
قال ابن عباس: المستحاضة يأتيها زوجها إذا صلت الصلاة، أعظم رواه البخاري ليعني إذا جاز لها أن تصلي ودمها جار، وهي أعظم ما يشترط لها الطهارة، جاز جماعها.
Ibnu Abbas berkata: “Wanita yang mengalami istihadhah tetap melakukan hubungan dengan suaminya dan tetap melaksanakan shalat. Dalil yang paling kuat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang maknanya: jika wanita yang mengalami istihadhah boleh melaksanakan shalat ketika darah istihadhahnya mengalir, padahal shalat itu sangat mensyaratkan kesucian, maka wanita yang mengalami istihadhah boleh melakukan hubungan suami istri.
وعن عكرمة بنت حمنة، أنها كانت مستحاضة وكان زوجها يجامعها. رواه أبو داود والبيهقي، وقال النووي: إسناده حسن.
Dari ‘Ikrimah binti Himnah, ia pernah mengalami istihadhah dan suaminya menggaulinya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Baihaqi. Imam Nawawi berkata, “Sanadnya hasan”.
و - أن لها حكم الطاهرات: تصلي وتصوم وتعتكف وتقرأ القرآن وتمس المصحف وتحمله وتفعل كل العبادات.
وهذا مجمع عليه
f. Wanita yang mengalami istihadhah sama seperti wanita yang berada dalam keadaan suci dari haidh, ia tetap melaksanakan shalat, berpuasa, melakukan I’tikaf, membaca al-Qur’an, memegang mushaf al-Qur’an, membawa al-Qur’an dan melakukan semua ibadah.
juz: 1, halaman: 86 – 89.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
(3) أحكامها: للمستحاضة أحكام نلخصها فيما يأتي:
(3) Beberapa hukum bagi wanita yang mengalami istihadhah, kami ringkas sebagai berikut.
ا - أنه لا يجب عليها الغسل لشئ من الصلاة ولا في وقت من الاوقات إلا مرة واحدة، حينما ينقطع حيضها.
وبهذا قال الجمهور من السلف والخلف.
a. Wanita yang mengalami istihadhah tidak wajib mandi ketika akan melaksanakan shalat, tidak wajib mandi pada waktu tertentu, hanya wajib satu kali mandi saja, ketika haidhnya berhenti. Demikian menurut pendapat Jumhur ulama dari kalangan Salaf (terdahulu) dan Khalaf (belakangan).
ب - أنه يجب عليها الوضوء لكل صلاة، لقوله صلى الله عليه وسلم
- في رواية البخاري -: (ثم توضئي لكل صلاة).
b. Wanita yang mengalami istihadhah wajib berwudhu’ setiap kali akan melaksanakan shalat, berdasarkan ucapan Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, Rasulullah Saw berkata kepada seorang perempuan yang mengalami istihahdh: “Kemudian berwudhu’lah engkau untuk setiap kali akan melaksanakan shalat”.
وعند مالك يستحب لها الوضوء لكل صلاة، ولا يجب إلا بحدث آخر.
Menurut Imam Malik: wanita yang mengalami istihadhah dianjurkan agar berwudhu’ setiap kali akan melaksanakan shalat. Ia tidak wajib berwudhu’ kecuali ada hadats lain.
ح - أن تغسل فرجها قبل الوضوء وتحشوه بخرقة أو قطنة دفعا للنجاسة، وتقليلا لها، فإذا لم يندفع الدم بذلك شدت مع ذلك على فرجها وتلجمت واستثفرت، ولا يجب هذا، وإنما هو الاولى.
c. Wanita yang mengalami istihadhah agar membasuh kemaluannya sebelum berwudhu’, menutupinya dengan kain atau kapas untuk menolak najis dan meminimalisir najis. Jika darah istihadhah tetap tidak berhenti dengan itu, maka diperkuat dengan kain yang diisi kapas. Ini tidak wajib. Akan tetapi lebih utama untuk dilakukan.
د - ألا تتوضأ قبل دخول وقت الصلاة عند الجمهور إذ طهارتها ضرورية، فليس لها تقديمها قبل وقت الحاجة.
d. wanita yang mengalami istihadhah tidak boleh berwudhu’ sebelum masuk waktu shalat, demikian menurut jumhur (mayoritas) ulama, karena kesuciannya dalam keadaan darurat, ia tidak boleh mendahulukannya sebelum waktu yang dibutuhkan.
ه - أنه يجوز لزوجها أن يطأها في حال جريان الدم، عند جماهير العلماء لانه لم يرد دليل بتحريم جماعها.
e. Bagi wanita yang mengalami istihadhah, suaminya boleh menggaulinya dalam keadaan darah istihadhah mengalir. Demikian menurut jumhur (mayoritas) ulama. Karena tidak ada dalil yang mengaramkan menggauli wanita yang sedang mengalami istihadhah.
قال ابن عباس: المستحاضة يأتيها زوجها إذا صلت الصلاة، أعظم رواه البخاري ليعني إذا جاز لها أن تصلي ودمها جار، وهي أعظم ما يشترط لها الطهارة، جاز جماعها.
Ibnu Abbas berkata: “Wanita yang mengalami istihadhah tetap melakukan hubungan dengan suaminya dan tetap melaksanakan shalat. Dalil yang paling kuat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang maknanya: jika wanita yang mengalami istihadhah boleh melaksanakan shalat ketika darah istihadhahnya mengalir, padahal shalat itu sangat mensyaratkan kesucian, maka wanita yang mengalami istihadhah boleh melakukan hubungan suami istri.
وعن عكرمة بنت حمنة، أنها كانت مستحاضة وكان زوجها يجامعها. رواه أبو داود والبيهقي، وقال النووي: إسناده حسن.
Dari ‘Ikrimah binti Himnah, ia pernah mengalami istihadhah dan suaminya menggaulinya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Baihaqi. Imam Nawawi berkata, “Sanadnya hasan”.
و - أن لها حكم الطاهرات: تصلي وتصوم وتعتكف وتقرأ القرآن وتمس المصحف وتحمله وتفعل كل العبادات.
وهذا مجمع عليه
f. Wanita yang mengalami istihadhah sama seperti wanita yang berada dalam keadaan suci dari haidh, ia tetap melaksanakan shalat, berpuasa, melakukan I’tikaf, membaca al-Qur’an, memegang mushaf al-Qur’an, membawa al-Qur’an dan melakukan semua ibadah.
Zakat Fitrah Dibayarkan Dalam Bentuk Uang?
Pertanyaan:
Apakah zakat fitrah mesti dalam bentuk makanan pokok? Atau boleh dalam bentuk uang?
Jawaban:
Menurut jumhur (mayoritas ulama), zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok:
وقال الجمهور : تؤدى زكاة الفطر من الحبوب والثمار المقتاتة وهي صاع
Jumhur ulama berpendapat: zakat fitrah ditunaikan dari biji-bijian dan buah-buahan yang dijadikan sebagai makanan pokok, sebanyak satu sha’.
(sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 384).
Salah satu dalil jumhur ulama adalah:
حديث أبي سعيد الخدري: «كنا نخرج زكاة الفطر، إذ كان فينا النبي صلّى الله عليه وسلم صاعاً من طعام، أو صاعاً من شعير، أو صاعاً من تمر، أوصاعاً من زبيب، أوصاعاً من أقط»
Hadits Abu Sa’id al-Khudri: “Kami mengeluarkan zakat fitrah ketika Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah kami, satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ zabib (anggur yang dikeringkan), atau satu sha’ Aqith (susu yang dikeringkan)”.
(hadits ini dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud).
Menurut Mazhab Hanafi zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang:
دفع القيمة عندهم: يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوساً أو عروضاً أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.
Membayar Zakat fitrah dalam bentuk uang menurut Mazhab Hanafi: boleh hukumnya mengeluarkan zakat fitrah dari semua jenis biji-bijian dan buah-buahan yang telah disebutkan diatas dalam bentuk Dirham, atau Dinar, atau uang, atau barang-barang, atau apa saja. Karena yang wajib sebenarnya adalah memberikan kecukupan kepada orang-orang fakir. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Cukupkanlah mereka dari meminta-meminta pada hari ini (‘Idul Fitri)”. Mencukupkan fakir miskin itu telah terwujud dengan memberikan nilai biji-bijian dan buah-buahan tersebut, bahkan lebih sempurna, lebih memenuhi kebutuhan dan lebih mudah, karena lebih mendekati kepada memenuhi kebutuhan mereka. Maka jelaslah bahwa kandungan nash tersebut adalah mencukupkan kebutuhan para fakir miskin.
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 393).
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Apakah zakat fitrah mesti dalam bentuk makanan pokok? Atau boleh dalam bentuk uang?
Jawaban:
Menurut jumhur (mayoritas ulama), zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok:
وقال الجمهور : تؤدى زكاة الفطر من الحبوب والثمار المقتاتة وهي صاع
Jumhur ulama berpendapat: zakat fitrah ditunaikan dari biji-bijian dan buah-buahan yang dijadikan sebagai makanan pokok, sebanyak satu sha’.
(sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 384).
Salah satu dalil jumhur ulama adalah:
حديث أبي سعيد الخدري: «كنا نخرج زكاة الفطر، إذ كان فينا النبي صلّى الله عليه وسلم صاعاً من طعام، أو صاعاً من شعير، أو صاعاً من تمر، أوصاعاً من زبيب، أوصاعاً من أقط»
Hadits Abu Sa’id al-Khudri: “Kami mengeluarkan zakat fitrah ketika Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah kami, satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ zabib (anggur yang dikeringkan), atau satu sha’ Aqith (susu yang dikeringkan)”.
(hadits ini dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud).
Menurut Mazhab Hanafi zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang:
دفع القيمة عندهم: يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوساً أو عروضاً أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.
Membayar Zakat fitrah dalam bentuk uang menurut Mazhab Hanafi: boleh hukumnya mengeluarkan zakat fitrah dari semua jenis biji-bijian dan buah-buahan yang telah disebutkan diatas dalam bentuk Dirham, atau Dinar, atau uang, atau barang-barang, atau apa saja. Karena yang wajib sebenarnya adalah memberikan kecukupan kepada orang-orang fakir. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Cukupkanlah mereka dari meminta-meminta pada hari ini (‘Idul Fitri)”. Mencukupkan fakir miskin itu telah terwujud dengan memberikan nilai biji-bijian dan buah-buahan tersebut, bahkan lebih sempurna, lebih memenuhi kebutuhan dan lebih mudah, karena lebih mendekati kepada memenuhi kebutuhan mereka. Maka jelaslah bahwa kandungan nash tersebut adalah mencukupkan kebutuhan para fakir miskin.
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 393).
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Zakat Fitrah Untuk Fakir Miskin Saja?
Apakah Zakat Fitrah hanya untuk fakir miskin saja?
Jawaban:
المبحث الخامس ـ مصرفها أو من يأخذها :
اتفق الفقهاء (1) على أن مصرف زكاة الفطر هو مصارف الزكاة المفروضة؛ لأن صدقة الفطر زكاة، فكان مصرفها مصرف سائر الزكوات؛ ولأنها صدقة، فتدخل في عموم قوله تعالى: {إنما الصدقات للفقراء والمساكين} [التوبة:60/9] ولا يجوز دفعها إلى من لا يجوز دفع زكاة المال إليه
Pembahasan Kelima:
Pembagian zakat fitrah atau orang yang berhak mengambilnya.
Para ulama sepakat bahwa pembagian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat wajib (zakat Mal), karena zakat Fitrah itu juga adalah zakat, maka pembagiannya sama seperti zakat-zakat yang lain. Karena zakat fitrah itu adalah zakat, maka masuk dalam ayat (zakat) yang bersifat umum:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. at-Taubah [9]: 60).
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Syekh Wahbah az-Zuhaili, Juz: 3, halaman: 387).
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Jawaban:
المبحث الخامس ـ مصرفها أو من يأخذها :
اتفق الفقهاء (1) على أن مصرف زكاة الفطر هو مصارف الزكاة المفروضة؛ لأن صدقة الفطر زكاة، فكان مصرفها مصرف سائر الزكوات؛ ولأنها صدقة، فتدخل في عموم قوله تعالى: {إنما الصدقات للفقراء والمساكين} [التوبة:60/9] ولا يجوز دفعها إلى من لا يجوز دفع زكاة المال إليه
Pembahasan Kelima:
Pembagian zakat fitrah atau orang yang berhak mengambilnya.
Para ulama sepakat bahwa pembagian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat wajib (zakat Mal), karena zakat Fitrah itu juga adalah zakat, maka pembagiannya sama seperti zakat-zakat yang lain. Karena zakat fitrah itu adalah zakat, maka masuk dalam ayat (zakat) yang bersifat umum:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. at-Taubah [9]: 60).
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Syekh Wahbah az-Zuhaili, Juz: 3, halaman: 387).
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Per Kepala Keluarga Atau Per Person
Pertanyaan:
Salah satu asnaf penerima zakat adalah fakir/miskin.
Apakah yang dimaksud miskin itu satu orang miskin? Atau satu keluarga miskin?
Jawaban:
يعطى الفقير أو المسكين ما يكفيه مؤنة عام أو تكميل مؤنة العام
Terjemah:
Diberikan zakat kepada fakir/miskin untuk memenuhi kebutuhannya selama satu tahun atau menyempurnakan kebutuhannya selama satu tahun.
(Sumber: Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ [Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa – Saudi Arabia. Juz: 10, halaman: 143].)
وأما مقدار ما يعطى الشخص، فعند المالكية والحنابلة يعطى الفقير والمسكين كفايتهما أو تمام الكفاية له ولمن يعول لمدة سنة.
وعند الشافعية يعطيان ما يخرجهما من الحاجة إلى الغنى، وهو ما تحصل به الكفاية على الدوام.
وعند أبي حنيفة وأصحابه: لآ تجوز له الزيادة على مائتي درهم، وإذا كان له من يعول من زوجة وأولاد، جاز أن يأخذ لكل واحد منهم مقدار هذا النصاب.
انظر حاشية الدسوقي 1/464، المجموع 6/193، الإنصاف 3/238.
Terjemah:
Adapun kadar zakat yang diberikan kepada fakir/miskin.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanbali: diberikan zakat kepada fakir/miskin untuk mencukupi kebutuhan mereka atau menyempurnakan kebutuhan mereka dan keluarga yang mereka tanggung selama satu tahun.
Menurut Mazhab Syafi’i: diberikan zakat kepada fakir/miskin sehingga dapat mengeluarkan mereka dari kebutuhan menjadi mampu, yaitu mencukupi kebutuhan mereka untuk selamanya.
Menurut Imam Hanafi dan para ulama Mazhab Hanafi: tidak boleh lebih dari dua ratus Dirham. Jika orang fakir/miskin itu mempunyai istri dan anak-anak, setiap mereka boleh mengambil kadar ini (dibawah dua ratus Dirham).
Lihat kitab Hasyiah ad-Dasuqi (1/464), al-Majmu’ (6/193) dan al-Inshaf (3/238).
(Sumber: Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyyah, juz: 93, halaman: 181).
مقدار ما يعطى الفقير من الزكاة: من مقاصد الزكاة كفاية الفقير وسد حاجته، فيعطى من الصدقة، القدر الذي يخرجه من الفقر إلى الغني، ومن الحاجة إلى الكفاية، على الدوام، وذلك يختلف باختلاف الاحوال والاشخاص.
Terjemah:
Kadar zakat yang diberikan kepada fakir: diantara tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan fakir, maka diberikanlah zakat kepadanya sebanyak kadar yang dapat mengeluarkannya dari kefakiran kepada mampu, dari butuh kepada cukup, untuk selamanya. Dan dalam hal itu terdapat perbedaan diantara beberapa kondisi dan orang-orang (fakir/miskin) tersebut.
(Sumber: Kitab Fiqh as-Sunnah, karya: Syekh Sayyid Sabiq, Penerbit: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Lebanon. Juz: , halaman: 1, halaman: 384).
فإن معنى " القوام من العيش " والسداد من العيش " أن يعطي الفقير ما يسد به حاجته ويخرجه من الحاجة إلى الغنى
الأموال لأبي عبيد ص746 - 750 ، المحلي لابن حزم 6 / 452 ، المجموع للنووي 6 / 203 .
Makna kalimat: القوام من العيش dan kalimat: والسداد من العيش adalah: memberikan zakat kepada fakir/miskin untuk memenuhi kebutuhannya dan dapat mengeluarkannya dari kebutuhan kepada taraf mampu.
Lihat kitab al-Amwal karya Abu ‘Ubaid, halaman: 746 – 750, kitab al-Mahalli karya Imam Ibnu Hazm, juz: 6, halaman: 452 dan kitab al-Majmu’ karya Imam Nawawi, juz: 6, halaman: 203.
(Sumber: Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah, juz: 26, halaman: 143).
يعطى الفقير من الزكاة قدر كفايته لسنة كاملة ، وإذا تبين لدافع الزكاة أن المعطى ليس فقيرا لم يلزمه القضاء إذا كان المعطى ظاهره الفقر .
Terjemah:
Zakat diberikan kepada fakir sekadar untuk mencukupi kebutuhannya selama satu tahun. Jika ternyata orang yang menerima zakat itu tidak fakir, maka si pemberi zakat tidak wajib meng-qadha’
(Sumber: Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah, juz: 37, halaman: 179).
Berdasarkan beberapa jawaban diatas maka yang dilihat bukan per kepala keluarga atau per kepala fakir/miskin, akan tetapi berdasarkan kebutuhan.
Karena keterbatasan zakat yang ada, kita tidak mampu memenuhi kebutuhan fakir/miskin selama satu tahun, maka perlu dimusyawarahkan berapa yang perlu dibagi kepada keluarga fakir/miskin tersebut. Tidak adil jika keluarga fakir/miskin yang punya anak satu orang dan yang punya anak tujuh orang sama-sama mendapat 10 kg beras. Untuk itu perlu dimusyawarahkan, berdasarkan firman Allah:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Sٍedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”. (Qs. asy-Syuura [42]: 38).
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Salah satu asnaf penerima zakat adalah fakir/miskin.
Apakah yang dimaksud miskin itu satu orang miskin? Atau satu keluarga miskin?
Jawaban:
يعطى الفقير أو المسكين ما يكفيه مؤنة عام أو تكميل مؤنة العام
Terjemah:
Diberikan zakat kepada fakir/miskin untuk memenuhi kebutuhannya selama satu tahun atau menyempurnakan kebutuhannya selama satu tahun.
(Sumber: Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ [Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa – Saudi Arabia. Juz: 10, halaman: 143].)
وأما مقدار ما يعطى الشخص، فعند المالكية والحنابلة يعطى الفقير والمسكين كفايتهما أو تمام الكفاية له ولمن يعول لمدة سنة.
وعند الشافعية يعطيان ما يخرجهما من الحاجة إلى الغنى، وهو ما تحصل به الكفاية على الدوام.
وعند أبي حنيفة وأصحابه: لآ تجوز له الزيادة على مائتي درهم، وإذا كان له من يعول من زوجة وأولاد، جاز أن يأخذ لكل واحد منهم مقدار هذا النصاب.
انظر حاشية الدسوقي 1/464، المجموع 6/193، الإنصاف 3/238.
Terjemah:
Adapun kadar zakat yang diberikan kepada fakir/miskin.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanbali: diberikan zakat kepada fakir/miskin untuk mencukupi kebutuhan mereka atau menyempurnakan kebutuhan mereka dan keluarga yang mereka tanggung selama satu tahun.
Menurut Mazhab Syafi’i: diberikan zakat kepada fakir/miskin sehingga dapat mengeluarkan mereka dari kebutuhan menjadi mampu, yaitu mencukupi kebutuhan mereka untuk selamanya.
Menurut Imam Hanafi dan para ulama Mazhab Hanafi: tidak boleh lebih dari dua ratus Dirham. Jika orang fakir/miskin itu mempunyai istri dan anak-anak, setiap mereka boleh mengambil kadar ini (dibawah dua ratus Dirham).
Lihat kitab Hasyiah ad-Dasuqi (1/464), al-Majmu’ (6/193) dan al-Inshaf (3/238).
(Sumber: Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyyah, juz: 93, halaman: 181).
مقدار ما يعطى الفقير من الزكاة: من مقاصد الزكاة كفاية الفقير وسد حاجته، فيعطى من الصدقة، القدر الذي يخرجه من الفقر إلى الغني، ومن الحاجة إلى الكفاية، على الدوام، وذلك يختلف باختلاف الاحوال والاشخاص.
Terjemah:
Kadar zakat yang diberikan kepada fakir: diantara tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan fakir, maka diberikanlah zakat kepadanya sebanyak kadar yang dapat mengeluarkannya dari kefakiran kepada mampu, dari butuh kepada cukup, untuk selamanya. Dan dalam hal itu terdapat perbedaan diantara beberapa kondisi dan orang-orang (fakir/miskin) tersebut.
(Sumber: Kitab Fiqh as-Sunnah, karya: Syekh Sayyid Sabiq, Penerbit: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Lebanon. Juz: , halaman: 1, halaman: 384).
فإن معنى " القوام من العيش " والسداد من العيش " أن يعطي الفقير ما يسد به حاجته ويخرجه من الحاجة إلى الغنى
الأموال لأبي عبيد ص746 - 750 ، المحلي لابن حزم 6 / 452 ، المجموع للنووي 6 / 203 .
Makna kalimat: القوام من العيش dan kalimat: والسداد من العيش adalah: memberikan zakat kepada fakir/miskin untuk memenuhi kebutuhannya dan dapat mengeluarkannya dari kebutuhan kepada taraf mampu.
Lihat kitab al-Amwal karya Abu ‘Ubaid, halaman: 746 – 750, kitab al-Mahalli karya Imam Ibnu Hazm, juz: 6, halaman: 452 dan kitab al-Majmu’ karya Imam Nawawi, juz: 6, halaman: 203.
(Sumber: Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah, juz: 26, halaman: 143).
يعطى الفقير من الزكاة قدر كفايته لسنة كاملة ، وإذا تبين لدافع الزكاة أن المعطى ليس فقيرا لم يلزمه القضاء إذا كان المعطى ظاهره الفقر .
Terjemah:
Zakat diberikan kepada fakir sekadar untuk mencukupi kebutuhannya selama satu tahun. Jika ternyata orang yang menerima zakat itu tidak fakir, maka si pemberi zakat tidak wajib meng-qadha’
(Sumber: Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah, juz: 37, halaman: 179).
Berdasarkan beberapa jawaban diatas maka yang dilihat bukan per kepala keluarga atau per kepala fakir/miskin, akan tetapi berdasarkan kebutuhan.
Karena keterbatasan zakat yang ada, kita tidak mampu memenuhi kebutuhan fakir/miskin selama satu tahun, maka perlu dimusyawarahkan berapa yang perlu dibagi kepada keluarga fakir/miskin tersebut. Tidak adil jika keluarga fakir/miskin yang punya anak satu orang dan yang punya anak tujuh orang sama-sama mendapat 10 kg beras. Untuk itu perlu dimusyawarahkan, berdasarkan firman Allah:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Sٍedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”. (Qs. asy-Syuura [42]: 38).
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Kajian Hadits di Masjid Akramunnas UNRI.
Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Sabtu, 11 Ramadhan 1431H / 21 Agustus 2010
Teks Hadits:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً » . (البخاري)
Terjemah:
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Allah berfirman:
“Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu kelompok, Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu lengan. Jika ia datang kepada-Ku berjalan, maka Aku datang kepadanya berlari”.
(Shahîh al-Bukhâri, Kitab: at-Tauhîd, Bab: Qaul Allâh Ta’âlâ wa Yuhadzdzirukumullâh Nafsah. Juz: 6, halaman: 2694, no: 6970. Penerbit: Dâr Ibni Katsîr. Al-Yamâmah, Beirût. Cetakan: III, tahun: 1407H/1987M).
Syarh / Penjelasan:
Hadits ini merupakan penjelasan ayat:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (Qs. Al-Baqarah [2] : 152).
[98] Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.
Hadits ini adalah hadits Qudsi yang menjelaskan tentang balasan yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya yang senantiasa berzikir mengingat-Nya.
Allah berfirman, “Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku”. Imam Badruddin al-‘Aini dalam kitab ‘Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri menyebutkan tiga pendapat tentang makna kalimat ini:
Pertama, “Jika hamba-Ku itu menyangka bahwa Aku mengampuni dan memaafkannya, maka ia mendapatkan itu. Dan jika ia menyangka akan mendapatkan hukuman, maka ia pun akan mendapatkannya”.
Kedua, bahwa orang yang beriman pastilah berprasangka baik kepada Allah Swt, ia meyakini bahwa ia mempunyai Tuhan yang selalu membalas amal perbuatannya.
Ketiga, “Aku Maha Kuasa untuk melakukan apa yang disangkakan hamba-Ku kepada-Ku”.
Imam al-Kirmâni menjelaskan bahwa hubungan dengan Allah Swt itu dibangun atas dasar dua perasaan; Rajâ’ (harap) dan Khaûf (takut). Disini dijelaskan bahwa perasaan harap lebih dikedepankan daripada rasa takut. Selalu berharap akan ampunan Allah Swt dan selalu mengharapkan keridhaan-Nya, dengan ber-husnuzhzhan kepada-Nya.
“Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku”. Artinya, pengetahuan Allah senantiasa bersama orang yang berzikir mengingat-Nya. Atau, “Aku senantiasa bersamanya sesuai dengan niatnya berzikir mengingat Aku”.
“Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku”. Maknanya, “Jika ia berzikir mengingat Aku dengan mensucikan-Ku dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Ku, maka Aku mengingatnya dengan memberikan balasan dan rahmat kasih sayang kepadanya”. Atau, “Jika ia berzikir mengingat Aku dengan mengagungkank-Ku, maka Aku mengingatnya dengan memberikan banyak karunia kepadanya”.
“Jika ia mengingat-Ku dalam suatu kelompok, Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok mereka”. Maksudnya, jika manusia berzikir mengingat Allah dalam suatu kelompok, maka Allah membalasnya dengan kelompok yang lebih baik, yaitu para malaikat.
“Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu lengan. Jika ia datang kepada-Ku berjalan, maka Aku datang kepadanya berlari”. Kalimat ini tidak dapat difahami secara tekstual, karena semuanya mustahil bagi Allah Swt Yang Maha Suci. Akan tetapi maknanya adalah bahwa Allah melebihi dari perbuatan hamba-Nya; satu jengkal dibalas satu hasta, satu hasta dibalas satu lengan. Dan berjalan dibalas dengan berlari. Ketaatan seorang hamba yang diwujudkan dalam bentuk zikir kepada-Nya, akan dibalas dengan balasan berlipat ganda.
Kesimpulan.
Hadits ini memberikan motifasi kepada orang-orang beriman agar senantiasa berzikir mengingat Allah Swt dalam situasi dan kondisi apa pun, merasakan kehadiran Allah Swt dalam setiap gerak dan diamnya, merasakan kedekatan Allah Swt saat sendiri dan ketika bersama orang banyak, merasakan Ma’iyyatullâh (kebersamaan) dengan Allah Swt ketika senang maupun susah. Sehingga saat senang tidak lupa diri dan kehilangan kontrol, dan ketika susah atau ditimpa musibah tidak merasa putus asa, karena merasakan adanya Dia Yang Maha Kuasa sebagai tempat bersandar dan mengadukan keluh kesah. Hadits ini juga mengajarkan kepada orang-orang yang beriman bahwa Allah Swt selalu membalas lebih dari apa yang dilakukan manusia yang selalu ingin dekat kepada-Nya dan yang merindukan keagungan-Nya. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa berzikir mengingat-Nya, âmîn.
Sabtu, 11 Ramadhan 1431H / 21 Agustus 2010
Teks Hadits:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً » . (البخاري)
Terjemah:
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Allah berfirman:
“Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu kelompok, Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu lengan. Jika ia datang kepada-Ku berjalan, maka Aku datang kepadanya berlari”.
(Shahîh al-Bukhâri, Kitab: at-Tauhîd, Bab: Qaul Allâh Ta’âlâ wa Yuhadzdzirukumullâh Nafsah. Juz: 6, halaman: 2694, no: 6970. Penerbit: Dâr Ibni Katsîr. Al-Yamâmah, Beirût. Cetakan: III, tahun: 1407H/1987M).
Syarh / Penjelasan:
Hadits ini merupakan penjelasan ayat:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (Qs. Al-Baqarah [2] : 152).
[98] Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.
Hadits ini adalah hadits Qudsi yang menjelaskan tentang balasan yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya yang senantiasa berzikir mengingat-Nya.
Allah berfirman, “Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku”. Imam Badruddin al-‘Aini dalam kitab ‘Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri menyebutkan tiga pendapat tentang makna kalimat ini:
Pertama, “Jika hamba-Ku itu menyangka bahwa Aku mengampuni dan memaafkannya, maka ia mendapatkan itu. Dan jika ia menyangka akan mendapatkan hukuman, maka ia pun akan mendapatkannya”.
Kedua, bahwa orang yang beriman pastilah berprasangka baik kepada Allah Swt, ia meyakini bahwa ia mempunyai Tuhan yang selalu membalas amal perbuatannya.
Ketiga, “Aku Maha Kuasa untuk melakukan apa yang disangkakan hamba-Ku kepada-Ku”.
Imam al-Kirmâni menjelaskan bahwa hubungan dengan Allah Swt itu dibangun atas dasar dua perasaan; Rajâ’ (harap) dan Khaûf (takut). Disini dijelaskan bahwa perasaan harap lebih dikedepankan daripada rasa takut. Selalu berharap akan ampunan Allah Swt dan selalu mengharapkan keridhaan-Nya, dengan ber-husnuzhzhan kepada-Nya.
“Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku”. Artinya, pengetahuan Allah senantiasa bersama orang yang berzikir mengingat-Nya. Atau, “Aku senantiasa bersamanya sesuai dengan niatnya berzikir mengingat Aku”.
“Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku”. Maknanya, “Jika ia berzikir mengingat Aku dengan mensucikan-Ku dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Ku, maka Aku mengingatnya dengan memberikan balasan dan rahmat kasih sayang kepadanya”. Atau, “Jika ia berzikir mengingat Aku dengan mengagungkank-Ku, maka Aku mengingatnya dengan memberikan banyak karunia kepadanya”.
“Jika ia mengingat-Ku dalam suatu kelompok, Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok mereka”. Maksudnya, jika manusia berzikir mengingat Allah dalam suatu kelompok, maka Allah membalasnya dengan kelompok yang lebih baik, yaitu para malaikat.
“Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu lengan. Jika ia datang kepada-Ku berjalan, maka Aku datang kepadanya berlari”. Kalimat ini tidak dapat difahami secara tekstual, karena semuanya mustahil bagi Allah Swt Yang Maha Suci. Akan tetapi maknanya adalah bahwa Allah melebihi dari perbuatan hamba-Nya; satu jengkal dibalas satu hasta, satu hasta dibalas satu lengan. Dan berjalan dibalas dengan berlari. Ketaatan seorang hamba yang diwujudkan dalam bentuk zikir kepada-Nya, akan dibalas dengan balasan berlipat ganda.
Kesimpulan.
Hadits ini memberikan motifasi kepada orang-orang beriman agar senantiasa berzikir mengingat Allah Swt dalam situasi dan kondisi apa pun, merasakan kehadiran Allah Swt dalam setiap gerak dan diamnya, merasakan kedekatan Allah Swt saat sendiri dan ketika bersama orang banyak, merasakan Ma’iyyatullâh (kebersamaan) dengan Allah Swt ketika senang maupun susah. Sehingga saat senang tidak lupa diri dan kehilangan kontrol, dan ketika susah atau ditimpa musibah tidak merasa putus asa, karena merasakan adanya Dia Yang Maha Kuasa sebagai tempat bersandar dan mengadukan keluh kesah. Hadits ini juga mengajarkan kepada orang-orang yang beriman bahwa Allah Swt selalu membalas lebih dari apa yang dilakukan manusia yang selalu ingin dekat kepada-Nya dan yang merindukan keagungan-Nya. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa berzikir mengingat-Nya, âmîn.
Rabu, 18 Agustus 2010
Puasa 6 Hari di Bulan Syawwal
Dikutip dari Fatawa al-Azhar, juz : 9, halaman : 261.
Mufti : Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Ketua Lembaga Fatwa Al-Azhar, Mesir.
Tahun Fatwa : 1997.
Diterjemahkan oleh : H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadmorocco.blogspot.com
somadku@yahoo.com
أما الستة الأيام من شهر شوال فإن تسميتها بالبيض تسمية غير صحيحة، وبصرف النظر عن التسمية فإن صيامها مندوب مستحب وليس واجبا ، وقد ورد فى ذلك قول النبى صلى الله عليه وسلم
Adapun puasa enam hari di bulan Syawwal, jika disebut sebagai puasa hari Baidh (hari putih), maka penamaan tersebut tidak benar. Terlepas dari penamaan tersebut, melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal itu dianjurkan, hukumnya sunnat, bukan wajib. Dalilnya berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر رواه مسلم
“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian diiringi enam hari di bulan Syawwal, maka seakan-akan ia melaksanakan puasa satu tahun”. (HR. Muslim).
كما جاء فى فضلها حديث رواه الطبرانى "من صام رمضان وأتبعه ستا من شوال خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه.
Keutamaan puasa enam hari di bulan Syawwal juga disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani:
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal. Maka ia keluar dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan ibunya”.
ومعنى صيام الدهر صيام العام ، وجاء بيان ذلك فى حديث النبى صلى الله عليه وسلم فى عدة روايات لابن ماجه والنسائى وابن خزيمة فى صحيحه ، ومؤداها أن الحسنة بعشر أمثالها ، فشهر رمضان بعشرة أشهر، والأيام الستة من شوال بستين يوما أى شهرين ، وهما تمام السنة اثنا عشر شهرا .
Makna puasa ad-Dahru adalah puasa sepanjang tahun. penjelasan ini disebutkan dalam hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Kesimpulannya, bahwa satu kebaikan itu dibalas sepuluh kebaikan yang sama. Maka puasa satu bulan Ramadhan itu dibalas dengan sepuluh bulan. Puasa enam hari di bulan Syawwal sama dengan enam puluh hari, atau dua bulan. Dengan demikian maka sempurna dua belas bulan.
وهذا الفضل لمن يصومها فى شوال ، سواء أكان الصيام فى أوله أم فى وسطه أم فى آخره ، وسواء أكانت الأيام متصلة أم متفرقة ، وإن كان الأفضل أن تكون من أول الشهر وأن تكون متصلة . وهى تفوت بفوات شوال .
Keutamaan ini diperoleh orang yang melaksanakan puasa di bulan Syawwal, apakah puasa tersebut dilaksanakan pada awal bulan Syawwal, pertengahan atau pun di akhir bulan Syawwal. Apakah dilaksanakan secara berturut-turut, atau terpisah-pisah. Meskipun yang paling afdhal dilaksanakan pada awal bulan Syawwal dan dilaksanakan secara berturut-turut. Keutamaan tersebut lenyap bersama berakhirnya bulan Syawwal.
وكثير من السيدات يحرصن على صيامها، سواء أكان عليهن قضاء من رمضان أم لم يكن عليهن قضاء . وهذا أمر مستحب كما قرره جمهور الفقهاء ونرجو ألا يعتقدن أنه مفروض عليهن ، فهو مندوب لا عقوبة فى تركه .
Banyak perempuan yang sangat ingin melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal, apakah mereka yang masih punya hutang puasa Ramadhan (puasa Qadha’) atau pun tidak. Ini merupakan perkara yang dianjurkan menurut jumhur ulama Fiqh. Kami berharap semoga mereka tidak meyakini amal ini sebagai kewajiban bagi diri mereka. Puasa enam hari di bulan Syawwal itu adalah sunnat, tidak dihukum jika tidak dilaksanakan.
هذا، ويمكن لمن عليه قضاء من رمضان أن يصوم هذه الأيام الستة من شوال بنية القضاء ، فتكفى عن القضاء ويحصل له ثواب الستة البيض فى الوقت نفسه إذا قصد ذلك ، فالأعمال بالنيات ، وإذا جعل القضاء وحده والستة وحدها كان أفضل ،
Dengan demikian, maka orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan (puasa Qadha’), ia dapat melaksanakan puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal ini dengan niat puasa Qadha’, maka berarti ia telah melaksanakan puasa Qadha’ dan mendapatkan balasan puasa enam hari di bulan Syawwal, jika ia memang meniatkan demikian, karena semua amal itu berdasarkan niatnya. Akan tetapi jika ia berniat secara tersendiri; puasa Qadha’ secara tersendiri dan puasa enam hari di bulan Syawwal secara tersendiri, maka itu lebih afdhal.
بل إن علماء الشافعية قالوا :
إن ثواب الستة يحصل بصومها قضاء حتى لو لم ينوها وإن كان الثواب أقل مما لو نواها، جاء فى حاشية الشرقاوى على التحرير للشيخ زكريا الأنصارى "ج 1 ص 427 " ما نصه :
Akan tetapi para ulama Mazhab Syafi’i berpendapat:
Sesungguhnya balasan puasa enam hari di bulan Syawwal diperoleh dengan melaksanakan puasa Qadha’, meskipun orang yang melaksanakan puasa Qadha’ itu tidak meniatkan puasa enam hari di bulan Syawwal. Hanya saja balasannya lebih sedikit dari jika ia meniatkannya. Disebutkan dalam kitab Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala at-Tahrir karya Syekh Zakariya al-Anshari, juz : 7, halaman : 427, teksnya :
ولو صام فيه -أى فى شوال - قضاء عن رمضان أو غيره أو نذرا أو نفلا آخر حصل له ثواب تطوعها ، إذ المدار على وجود الصوم فى ستة أيام من شوال وإن لم يعلم بها أو صامها عن أحد مما مر-أى النذر أو النفل الآخر، لكن لا يحصل له الثواب الكامل المترتب على المطلوب إلا بنية صومها عن خصوص الست من شوال ، ولا سيما من فاته رمضان أو صام عنه شوال ، لأنه لم يصدق عليه أنه صام رمضان وأتبعه ستا من شوال .
Jika seseorang melaksanakan puasa Qadha’ Ramadhan, atau puasa lain, atau puasa nazar, atau puasa sunnat yang lainnya, ia laksanakan pada bulan Syawwal, maka ia mendapatkan balasan pahala puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal. Karena tujuannya adalah adalah adanya puasa enam hari di bulan Syawwal, meskipun ia tidak mengetahuinya atau ia melaksanakannya untuk sesuatu pada masa yang telah lalu –artinya, puasa nazar atau puasa sunnat lain-. Akan tetapi ia tidak mendapatkan balasan pahala yang sempurna seperti jika ia melaksanakannya dengan niat khusus melaksanakan puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal. Terlebih lagi bagi orang yang tertinggal melaksanakan puasa Ramadhan atau ia melaksanakan puasa Qadha’ Ramadhan di bulan Syawwal, karena tidak dapat dikatakan bahwa ia telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal.
ويشبه هذا ما قيل فى تحية المسجد، وهى صلاة ركعتين لمن دخله ، قالوا : إنها تحصل بصلاة الفريضة أو بصلاة أى نفل وإن لم تُنو مع ذلك ، لأن المقصود وجود صلاة قبل الجلوس ، وقد وجدت بما ذكر، ويسقط بذلك طلب التحية ويحصل ثوابها الخاص وإن لم ينوها على المعتمد كما قال صاحب البهجة .
وفضلها بالفرض والنفل حصل ، والمهم ألا ينفى نيتها، فيحصل المقصود إن نواها وإن لم ينوها .
Ini sama seperti pendapat tentang orang yang shalat Tahyatulmasjid, yaitu shalat dua rakaat yang dilaksanakan bagi orang yang memasuki masjid. Para ulama berpendapat: pahala melaksanakan shalat Tahyatulmasjid diperoleh orang yang melaksanakan shalat wajib atau shalat sunnat (lain), meskipun ia tidak berniat shalat Tahyatulmasjid. Karena tujuan dari shalat Tahyatulmasjid adalah adanya shalat sebelum duduk (di masjid), dan itu telah terwujud. Dengan demikian maka gugurlah tuntutan melaksanakan shalat Tahyatulmasjid dan pahalanya diperoleh secara khusus, meskipun orang yang melaksanakannya tidak meniatkannya. Demikian menurut pendapat yang kuat, sebagaimana yang disebutkan pengarang kitab al-Bahjah.
Keutamaannya tetap diperoleh apakah dengan melaksanakan ibadah wajib atau pun sunnat. Yang penting tidak menafikan niatnya, maka tujuannya tercapai, apakah ia meniatkannya atau pun tidak meniatkannya.
وبناء على ما تقدم يجوز لمن يجد تعبا فى قضاء ما فاته من رمضان وحرص على جعل هذا القضاء فى شوال ، ويريد أن يحصل على ثواب الأيام الستة أيضا أن ينوى القضاء وصيام الستة، أو القضاء فقط دون نية الستة، وهنا تندرج السنة مع الفرض ، وهذا تيسير وتخفيف لا يجوز التقيد فيه بمذهب معين ولا الحكم ببطلان المذاهب الأخرى .
Berdasarkan pembahasan diatas, maka bagi orang yang merasa sulit melaksanakan puasa Qadha’ Ramadhan dan sangat ingin melaksanakan puasa Qadha’ tersebut pada bulan Syawwal dan ia juga sangat ingin mendapatkan pahala puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal, maka ia bisa meniatkan puasa Qadha’ Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal sekaligus. Atau puasa Qadha’ saja tanpa niat puasa enam hari di bulan Syawwal. Disini tergabung puasa sunnat dengan puasa wajib. Ini merupakan kemudahan dan keringanan. Dalam masalah ini tidak boleh terikat dengan mazhab tertentu dan tidak pula boleh menghukum mazhab lain sebagai mazhab yang batil.
والحكمة فى صيام ست من شوال بعد الصيام الطويل فى شهر رمضان - والله أعلم - هى عدم انتقال الصائم فجأة من الصيام بما فيه من الإمساك المادى والأدبى إلى الانطلاق والتحرر فى تناول ما لذ وطاب متى شاء ، فالانتقال الفجائى له عواقبه الجسمية والنفسية ، وذلك أمر مقرر فى الحياة
Hikmah dari puasa enam hari di bulan Syawwal setelah puasa panjang di bulan Ramadhan –wallahu a’lam- adalah agar orang yang berpuasa tidak pindah secara mendadak dari puasa yang mengandung makna menahan diri dari yang bersifat materi dan spritual kepada sikap melepaskan diri dari ikatan dan kebebasan untuk menikmati semua yang lezat dan yang baik pada waktu kapan pun. Perpindahan yang tiba-tiba tersebut menyebabkan efek samping terhadap tubuh dan psikologis. Itu merupakan suatu perkara yang ditetapkan dalam kehidupan.
Mufti : Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Ketua Lembaga Fatwa Al-Azhar, Mesir.
Tahun Fatwa : 1997.
Diterjemahkan oleh : H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadmorocco.blogspot.com
somadku@yahoo.com
أما الستة الأيام من شهر شوال فإن تسميتها بالبيض تسمية غير صحيحة، وبصرف النظر عن التسمية فإن صيامها مندوب مستحب وليس واجبا ، وقد ورد فى ذلك قول النبى صلى الله عليه وسلم
Adapun puasa enam hari di bulan Syawwal, jika disebut sebagai puasa hari Baidh (hari putih), maka penamaan tersebut tidak benar. Terlepas dari penamaan tersebut, melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal itu dianjurkan, hukumnya sunnat, bukan wajib. Dalilnya berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر رواه مسلم
“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian diiringi enam hari di bulan Syawwal, maka seakan-akan ia melaksanakan puasa satu tahun”. (HR. Muslim).
كما جاء فى فضلها حديث رواه الطبرانى "من صام رمضان وأتبعه ستا من شوال خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه.
Keutamaan puasa enam hari di bulan Syawwal juga disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani:
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal. Maka ia keluar dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan ibunya”.
ومعنى صيام الدهر صيام العام ، وجاء بيان ذلك فى حديث النبى صلى الله عليه وسلم فى عدة روايات لابن ماجه والنسائى وابن خزيمة فى صحيحه ، ومؤداها أن الحسنة بعشر أمثالها ، فشهر رمضان بعشرة أشهر، والأيام الستة من شوال بستين يوما أى شهرين ، وهما تمام السنة اثنا عشر شهرا .
Makna puasa ad-Dahru adalah puasa sepanjang tahun. penjelasan ini disebutkan dalam hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Kesimpulannya, bahwa satu kebaikan itu dibalas sepuluh kebaikan yang sama. Maka puasa satu bulan Ramadhan itu dibalas dengan sepuluh bulan. Puasa enam hari di bulan Syawwal sama dengan enam puluh hari, atau dua bulan. Dengan demikian maka sempurna dua belas bulan.
وهذا الفضل لمن يصومها فى شوال ، سواء أكان الصيام فى أوله أم فى وسطه أم فى آخره ، وسواء أكانت الأيام متصلة أم متفرقة ، وإن كان الأفضل أن تكون من أول الشهر وأن تكون متصلة . وهى تفوت بفوات شوال .
Keutamaan ini diperoleh orang yang melaksanakan puasa di bulan Syawwal, apakah puasa tersebut dilaksanakan pada awal bulan Syawwal, pertengahan atau pun di akhir bulan Syawwal. Apakah dilaksanakan secara berturut-turut, atau terpisah-pisah. Meskipun yang paling afdhal dilaksanakan pada awal bulan Syawwal dan dilaksanakan secara berturut-turut. Keutamaan tersebut lenyap bersama berakhirnya bulan Syawwal.
وكثير من السيدات يحرصن على صيامها، سواء أكان عليهن قضاء من رمضان أم لم يكن عليهن قضاء . وهذا أمر مستحب كما قرره جمهور الفقهاء ونرجو ألا يعتقدن أنه مفروض عليهن ، فهو مندوب لا عقوبة فى تركه .
Banyak perempuan yang sangat ingin melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal, apakah mereka yang masih punya hutang puasa Ramadhan (puasa Qadha’) atau pun tidak. Ini merupakan perkara yang dianjurkan menurut jumhur ulama Fiqh. Kami berharap semoga mereka tidak meyakini amal ini sebagai kewajiban bagi diri mereka. Puasa enam hari di bulan Syawwal itu adalah sunnat, tidak dihukum jika tidak dilaksanakan.
هذا، ويمكن لمن عليه قضاء من رمضان أن يصوم هذه الأيام الستة من شوال بنية القضاء ، فتكفى عن القضاء ويحصل له ثواب الستة البيض فى الوقت نفسه إذا قصد ذلك ، فالأعمال بالنيات ، وإذا جعل القضاء وحده والستة وحدها كان أفضل ،
Dengan demikian, maka orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan (puasa Qadha’), ia dapat melaksanakan puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal ini dengan niat puasa Qadha’, maka berarti ia telah melaksanakan puasa Qadha’ dan mendapatkan balasan puasa enam hari di bulan Syawwal, jika ia memang meniatkan demikian, karena semua amal itu berdasarkan niatnya. Akan tetapi jika ia berniat secara tersendiri; puasa Qadha’ secara tersendiri dan puasa enam hari di bulan Syawwal secara tersendiri, maka itu lebih afdhal.
بل إن علماء الشافعية قالوا :
إن ثواب الستة يحصل بصومها قضاء حتى لو لم ينوها وإن كان الثواب أقل مما لو نواها، جاء فى حاشية الشرقاوى على التحرير للشيخ زكريا الأنصارى "ج 1 ص 427 " ما نصه :
Akan tetapi para ulama Mazhab Syafi’i berpendapat:
Sesungguhnya balasan puasa enam hari di bulan Syawwal diperoleh dengan melaksanakan puasa Qadha’, meskipun orang yang melaksanakan puasa Qadha’ itu tidak meniatkan puasa enam hari di bulan Syawwal. Hanya saja balasannya lebih sedikit dari jika ia meniatkannya. Disebutkan dalam kitab Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala at-Tahrir karya Syekh Zakariya al-Anshari, juz : 7, halaman : 427, teksnya :
ولو صام فيه -أى فى شوال - قضاء عن رمضان أو غيره أو نذرا أو نفلا آخر حصل له ثواب تطوعها ، إذ المدار على وجود الصوم فى ستة أيام من شوال وإن لم يعلم بها أو صامها عن أحد مما مر-أى النذر أو النفل الآخر، لكن لا يحصل له الثواب الكامل المترتب على المطلوب إلا بنية صومها عن خصوص الست من شوال ، ولا سيما من فاته رمضان أو صام عنه شوال ، لأنه لم يصدق عليه أنه صام رمضان وأتبعه ستا من شوال .
Jika seseorang melaksanakan puasa Qadha’ Ramadhan, atau puasa lain, atau puasa nazar, atau puasa sunnat yang lainnya, ia laksanakan pada bulan Syawwal, maka ia mendapatkan balasan pahala puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal. Karena tujuannya adalah adalah adanya puasa enam hari di bulan Syawwal, meskipun ia tidak mengetahuinya atau ia melaksanakannya untuk sesuatu pada masa yang telah lalu –artinya, puasa nazar atau puasa sunnat lain-. Akan tetapi ia tidak mendapatkan balasan pahala yang sempurna seperti jika ia melaksanakannya dengan niat khusus melaksanakan puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal. Terlebih lagi bagi orang yang tertinggal melaksanakan puasa Ramadhan atau ia melaksanakan puasa Qadha’ Ramadhan di bulan Syawwal, karena tidak dapat dikatakan bahwa ia telah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal.
ويشبه هذا ما قيل فى تحية المسجد، وهى صلاة ركعتين لمن دخله ، قالوا : إنها تحصل بصلاة الفريضة أو بصلاة أى نفل وإن لم تُنو مع ذلك ، لأن المقصود وجود صلاة قبل الجلوس ، وقد وجدت بما ذكر، ويسقط بذلك طلب التحية ويحصل ثوابها الخاص وإن لم ينوها على المعتمد كما قال صاحب البهجة .
وفضلها بالفرض والنفل حصل ، والمهم ألا ينفى نيتها، فيحصل المقصود إن نواها وإن لم ينوها .
Ini sama seperti pendapat tentang orang yang shalat Tahyatulmasjid, yaitu shalat dua rakaat yang dilaksanakan bagi orang yang memasuki masjid. Para ulama berpendapat: pahala melaksanakan shalat Tahyatulmasjid diperoleh orang yang melaksanakan shalat wajib atau shalat sunnat (lain), meskipun ia tidak berniat shalat Tahyatulmasjid. Karena tujuan dari shalat Tahyatulmasjid adalah adanya shalat sebelum duduk (di masjid), dan itu telah terwujud. Dengan demikian maka gugurlah tuntutan melaksanakan shalat Tahyatulmasjid dan pahalanya diperoleh secara khusus, meskipun orang yang melaksanakannya tidak meniatkannya. Demikian menurut pendapat yang kuat, sebagaimana yang disebutkan pengarang kitab al-Bahjah.
Keutamaannya tetap diperoleh apakah dengan melaksanakan ibadah wajib atau pun sunnat. Yang penting tidak menafikan niatnya, maka tujuannya tercapai, apakah ia meniatkannya atau pun tidak meniatkannya.
وبناء على ما تقدم يجوز لمن يجد تعبا فى قضاء ما فاته من رمضان وحرص على جعل هذا القضاء فى شوال ، ويريد أن يحصل على ثواب الأيام الستة أيضا أن ينوى القضاء وصيام الستة، أو القضاء فقط دون نية الستة، وهنا تندرج السنة مع الفرض ، وهذا تيسير وتخفيف لا يجوز التقيد فيه بمذهب معين ولا الحكم ببطلان المذاهب الأخرى .
Berdasarkan pembahasan diatas, maka bagi orang yang merasa sulit melaksanakan puasa Qadha’ Ramadhan dan sangat ingin melaksanakan puasa Qadha’ tersebut pada bulan Syawwal dan ia juga sangat ingin mendapatkan pahala puasa sunnat enam hari di bulan Syawwal, maka ia bisa meniatkan puasa Qadha’ Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal sekaligus. Atau puasa Qadha’ saja tanpa niat puasa enam hari di bulan Syawwal. Disini tergabung puasa sunnat dengan puasa wajib. Ini merupakan kemudahan dan keringanan. Dalam masalah ini tidak boleh terikat dengan mazhab tertentu dan tidak pula boleh menghukum mazhab lain sebagai mazhab yang batil.
والحكمة فى صيام ست من شوال بعد الصيام الطويل فى شهر رمضان - والله أعلم - هى عدم انتقال الصائم فجأة من الصيام بما فيه من الإمساك المادى والأدبى إلى الانطلاق والتحرر فى تناول ما لذ وطاب متى شاء ، فالانتقال الفجائى له عواقبه الجسمية والنفسية ، وذلك أمر مقرر فى الحياة
Hikmah dari puasa enam hari di bulan Syawwal setelah puasa panjang di bulan Ramadhan –wallahu a’lam- adalah agar orang yang berpuasa tidak pindah secara mendadak dari puasa yang mengandung makna menahan diri dari yang bersifat materi dan spritual kepada sikap melepaskan diri dari ikatan dan kebebasan untuk menikmati semua yang lezat dan yang baik pada waktu kapan pun. Perpindahan yang tiba-tiba tersebut menyebabkan efek samping terhadap tubuh dan psikologis. Itu merupakan suatu perkara yang ditetapkan dalam kehidupan.
Jibril Bersayap?
Pertanyaan:
Apa betul malaikat Jibril itu bersayap?
Jawaban:
Dalam surat Fathir ayat 1 disebutkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (1)
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
(Qs. Fathir [35]: 1).
Dalam hadits shahih yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
حدثنا أبو النعمان حدثنا عبد الواحد حدثنا الشيباني قال سمعت زرا عن عبد الله : { فكان قاب قوسين أو أدنى . فأوحى إلى عبده ما أوحى } . قال حدثنا ابن مسعود أنه رأى جبريل له ستمائة جناح
Abu an-Nu’man menceritakan kepada kami; Abdul Wahid menceritakan kepada kami; asy-Syaibani menceritakan kepada kami, ia berkata: Saya mendengar Zirr meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, tentang firman Allah:
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (9) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (10)
“Maka jadilah dia (Jibril) dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia (Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”.(Qs. An-Najm [53]: 9).
Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa Rasulullah Saw melihat malaikat Jibril memiliki enam ratus sayap.
(Shahih al-Bukhari, Penerbit: Dar Ibni Katsir, al-Yamamah, Beirut.
Cetakan: III, Tahun: 1407H/1987M).
Demikianlah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits shahih. Kita hanya dituntut untuk mengimani isi al-Qur’an dan Sunnah, tanpa membayangkan, menggambarkan, apalagi membuat patung seperti yang dibuat-buat oleh orang-orang kafir. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Apa betul malaikat Jibril itu bersayap?
Jawaban:
Dalam surat Fathir ayat 1 disebutkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (1)
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
(Qs. Fathir [35]: 1).
Dalam hadits shahih yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
حدثنا أبو النعمان حدثنا عبد الواحد حدثنا الشيباني قال سمعت زرا عن عبد الله : { فكان قاب قوسين أو أدنى . فأوحى إلى عبده ما أوحى } . قال حدثنا ابن مسعود أنه رأى جبريل له ستمائة جناح
Abu an-Nu’man menceritakan kepada kami; Abdul Wahid menceritakan kepada kami; asy-Syaibani menceritakan kepada kami, ia berkata: Saya mendengar Zirr meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, tentang firman Allah:
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (9) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (10)
“Maka jadilah dia (Jibril) dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia (Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”.(Qs. An-Najm [53]: 9).
Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa Rasulullah Saw melihat malaikat Jibril memiliki enam ratus sayap.
(Shahih al-Bukhari, Penerbit: Dar Ibni Katsir, al-Yamamah, Beirut.
Cetakan: III, Tahun: 1407H/1987M).
Demikianlah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits shahih. Kita hanya dituntut untuk mengimani isi al-Qur’an dan Sunnah, tanpa membayangkan, menggambarkan, apalagi membuat patung seperti yang dibuat-buat oleh orang-orang kafir. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sabtu, 14 Agustus 2010
Hadits Tentang Bersedekah Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia.
Dikutip dari Kitab Sunan Ibni Majah.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
أخبرنا محمد بن عبد الله بن المبارك قال حدثنا وكيع عن هشام عن قتادة عن سعيد بن المسيب عن سعد بن عبادة قال قلت يا رسول الله إن أمي ماتت أفأتصدق عنها قال نعم قلت فأي الصدقة أفضل قال سقي الماء .
Muhammad bin Abdillah bin al-Mubarak memberitakan kepada kami, ia berkata: Waki’ menceritakan kepada kami dari Hisyam, dari Qatadah, dari Sa’id bin al-Musayyib, dari Sa’ad bin ‘Ubadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Rasulullah Saw, sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia, apakah saya (boleh) bersedekah untuknya?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ya”.
Saya katakan kepada Rasulullah Saw, “Sedekah apakah yang lebih afdhal?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Memberi air minum”.
(HR. Ibnu Majah).
Dinyatakan shahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan an-Nasa’i, juz: 8, halaman: 236, no. 3736.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
أخبرنا محمد بن عبد الله بن المبارك قال حدثنا وكيع عن هشام عن قتادة عن سعيد بن المسيب عن سعد بن عبادة قال قلت يا رسول الله إن أمي ماتت أفأتصدق عنها قال نعم قلت فأي الصدقة أفضل قال سقي الماء .
Muhammad bin Abdillah bin al-Mubarak memberitakan kepada kami, ia berkata: Waki’ menceritakan kepada kami dari Hisyam, dari Qatadah, dari Sa’id bin al-Musayyib, dari Sa’ad bin ‘Ubadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Rasulullah Saw, sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia, apakah saya (boleh) bersedekah untuknya?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ya”.
Saya katakan kepada Rasulullah Saw, “Sedekah apakah yang lebih afdhal?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Memberi air minum”.
(HR. Ibnu Majah).
Dinyatakan shahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan an-Nasa’i, juz: 8, halaman: 236, no. 3736.
Qunût Shubuh, Qunût Witir dan Qunût Nawâzil/Nazilah.
(Dikutip Dari Fatâwa al-Azhar. Juz: 9, halaman: 5,
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul somad, Lc., MA.)
somadku@yahoo.com
القنوت
المفتي الشيخ عطية صقر . مايو 1997
المبادئ: القرآن والسنة
Qunut.
Mufti: Syekh ‘Athiyyah Shaqar (Ketua Majlis Fatwa al-Azhar Mesir).
Edisi Mei 1997.
Dasar: al-Qur’an dan Sunnah.
السؤال:
هل القنوت فى الصلاة مشروع ، وإذا كان مشروعا فهل هو فى كل الصلوات ، وهل له صيغة محدودة ؟
Pertanyaan:
Apakah doa Qunut dalam shalat itu disyariatkan? Jika disyariatkan, apakah dalam semua shalat? Adalah lafaz tertentu?
الجواب:
القنوت وهو الدعاء مشروع في الصلوات الخمس عند النوازل ، لحديث ابن عباس رضى اللَّه عنهما : قنت الرسول صلى الله عليه وسلم فى الصلوات الخمس مدة شهر، يدعو على حى من بنى سليم : رعل و ذكوان وعصية ، لأنهم قتلوا بعض الصحابة الذى أرسلهم ليعلموهم .
رواه أبو داود وأحمد ، كما روى البخارى أن النبى صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد أن يدعو على أحد أو يدعو لأحد قنت بعد الركوع . وجاء فيه : قال : يجهر بذلك ويقول فى بعض صلاته وفى صلاة الفجر "اللهم العن فلانا وفلانا " حيبن من أحياء العرب ، حتى أنزل اللّه تعالى {ليس لك من الأمر شيء أو يتوب عليهم أو يعذبهم فإنهم ظالمون } آل عمران : 128 .
Jawaban:
Qunut adalah doa, disyariatkan dalam shalat lima waktu ketika terjadi Nawâzil (musibah). Berdasarkan hadits Ibnu Abbas: “Rasulullah Saw membaca doa Qunut dalam shalat lima waktu selama satu bulan. Beliau mendoakan satu kawasan dari Bani Sulaim: Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah. Karena mereka telah membunuh sebagian shahabat Rasulullah yang diutus untuk mengajarkan Islam. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa jika Rasulullah Saw ingin mendoakan seseorang (doa tidak baik [laknat] atau doa baik), maka beliau membaca qunut setelah ruku’. Dalam riwayat tersebut disebutkan: Rasulullah Saw membacanya dengan suara keras. Rasulullah Saw mengucapkan doa dalam shalatnya dan dalam shalat Shubuh, “Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan”. Dua kawasan di antara beberapa kawasan di tanah Arab. Hingga Allah menurunkan ayat: “128. Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu[227] atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
[227] Menurut riwayat Bukhari mengenai turunnya ayat ini, karena Nabi Muhammad s.a.w. berdoa kepada Allah agar menyelamatkan sebagian pemuka-pemuka musyrikin dan membinasakan sebagian lainnya”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 128).
والقنوت فى الصبح على هذا مشروع عند النوازل كبقية الصلوات ، أما فى غير النوازل فللفقهاء فيه أقوال خلاصتها .
قال الحنفية والحنابلة بعدم مشروعيته ، مستدلين بما رواه ابن حبان وابن خزيمة وصححه عن أنس : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت فى صلاة الصبح إلا إذا دعا لقوم أو دعا عليهم .
(Qunut Shubuh).
Berdasarkan ini maka doa Qunut pada shalat Shubuh disyariatkan ketika ada Nawazil, sama seperti doa Qunut pada shalat-shalat lainnya. Akan tetapi jika tidak ada Nawazil, maka ada beberapa pendapat para ulama Fiqh. Kesimpulannya:
Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali: doa Qunut Shubuh tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah dari Anas: sesungguhnya Rasulullah Saw tidak membaca doa Qunut pada shalat Shubuh, kecuali jika beliau mendoakan suatu kaum (doa kebaikan atau doa tidak baik [laknat]).
وقال المالكية والشافعية بمشروعيته . ودليلهم ما رواه الجماعة إلا الترمذى أن أنس بن مالك سثل هل قنت النبي صلى الله عليه وسلم فى صلاة الصبح ؟ فقال : نعم ، ورواه أحمد والبزار و الدارقطنى والبيهقى والحاكم وصححه عن أنس قال : ما زال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم يقنت فى الفجر حتى فارق الدنيا .
Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i: doa Qunut Shubuh disyariatkan. Dalil mereka adalah riwayat mayoritas ahli hadits kecuali at-Tirmidzi, bahwa Anas bin Malik ditanya: “Apakah Rasulullah membaca doa Qunut pada shalat Shubuh?”. Beliau menjawab, “Ya”. diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, ad-Daraquthni, al-Baihaqi dan al-Hakim. Dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dari Anas bahwa Anas berkata, “Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut pada shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia”.
ومناقشة هذه الأدلة وبيان الأرجح من الأقوال يمكن الرجوع إليه فى كتاب "زاد المعاد لابن القيم " الذى بين فى سرده للروايات أن أهل الحديث توسطوا بين من ينكرون القنوت مطلقا حتى فى النوازل وبين من يستحسنونه مطلقا عند النوازل وغيرها ، فهم لا ينكرون على من داوم عليه ولا يكرهونه فعله ، ولا يرونه بدعة ولا فاعله مخالفا للسنة ،كما لا ينكرون على من أنكره عند النوازل ولا يرون تركه بدعة ولا تاركه مخالفا للسنة، بل من قنت فقد أحسن ، ومن تركه فقد أحسن ، وهذا من الاختلاف المباح الذى لا يعنف فيه من فعله ولا من تركه ، وذلك كرفع اليدين في الصلاة وتركه . وأنا أقول : إن الخلاف بسيط ، وهو فى سنة وليس فى فرض ، والدين يسر .
Pembahasan dan penjelasan dalil-dalil dari pendapat-pendapat ini dapat dilihat dalam kitab Zâd al-Ma’âd karya Ibnu al-Qayyim yang menjelaskan beberapa riwayat bahwa para ulama ahli hadits bersikap moderat diantara kelompok yang mengingkari doa Qunut secara mutlak, meskipun ketika ada Nawazil. Dan kelompok yang menganggap baik doa Qunut secara mutlak, baik ketika ada Nawazil maupun ketika tidak ada Nawazil. Para ulama ahli hadits tidak mengingkari orang-orang yang membaca doa Qunut Shubuh secara terus menerus dan tidak pula membenci perbuatan mereka. Para ulama ahli hadits juga tidak menganggapnya bid’ah dan pelakunya tidak dianggap bertentangan dengan Sunnah. Para ulama ahli hadits juga tidak mengingkari orang-orang yang mengingkari doa Qunut ketika ada Nawazil dan tidak menganggap perbuatan mereka itu bid’ah dan bertentangan dengan Sunnah. Siapa yang membaca doa Qunut, maka ia telah berbuat baik dan siapa yang tidak melakukannya juga tidak mengapa. Ini termasuk kategori ikhtilaf yang mubah (dibolehkan) yang tidak perlu bersikap keras terhadap orang yang melakukannya atau tidak melakukannya. Sama seperti masalah mengangkat tangan atau tidak mengangkat tangan dalam shalat.
Saya (Syekh ‘Athiyyah Shaqar) katakan: “Sesungguhnya ikhtilaf dalam masalah ini adalah sederhana. Ini adalah masalah sunnat, bukan dalam masalah fardhu. Dan agama Islam itu memberikan kemudahan”.
هذا وقد روى أحمد وأصحاب السنن عن أبى مالك الأشجعى أنه قال عن قنوت الفجر إنه بدعة ، لأنه صلى خلف النبي وأبى بكر وعمر وعلى فلم يرهم يقنتون ، كما روى الدارقطنى أن ابن عباس كان يقول : إن القنوت فى صلاة الفجر بدعة . ويمكن الجمع بين روايات الإثبات وروايات النفى بأن هؤلاء المروى عنهم كانوا يقنتون أحيانا ولا يقنتون أحيانا أخرى ، لأنه سنة وليس بفرض ولا واجب ، والمثبت مقدم على النافى كما هو معلوم ، وإذا كان بعض الصحابة لم يقنت لأنه لم يره من النبى صلى الله عليه وسلم فإن عدم الرؤية لا يدل على النفى المطلق ، وقد ذكر ابن حزم أن ابن مسعود الذى كان لا يقنت خفى عليه وضع الأيدى على الركب فى الركوع ، وأن ابن عمر الذى لم يحفظه عن أحد من الأصحاب كما رواه البيهقى خفى عليه المسح على الخفين .
Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i, ia berkata tentang Qunut Shubuh bahwa Qunut Shubuh itu bid’ah, karena ia shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, ia tidak melihat mereka membaca doa Qunut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni bahwa Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Qunut pada shalat Shubuh itu bid’ah”.
Dapat dikombinasikan antara riwayat-riwayat yang menyatakan adanya doa Qunut Shubuh dengan riwayat-riwayat yang menafikan adanya doa Qunut Shubuh. Bahwa mereka yang menjadi sumber riwayat itu, terkadang mereka membaca doa Qunut dan terkadang mereka tidak membaca doa Qunut, karena doa Qunut itu sunnat, bukan fardhu dan wajib. Maka riwayat-riwayat yang menyatakan adanya doa Qunut lebih didahulukan daripada riwayat-riwayat yang menafikannya, sebagaimana diketahui bersama. Jika sebagian shahabat tidak membaca doa Qunut karena tidak melihat Rasulullah Saw membaca doa Qunut. Maka tidak melihat itu tidak berarti menafikan secara mutlak. Ibnu Hazm menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud yang tidak membaca doa Qunut, ia juga tidak mengetahui riwayat tentang meletakkan tangan diatas lutut ketika ruku’. Ibnu Umar yang menyatakan tidak ada doa Qunut dari para shahabat –sebagaimana yang diriwayatkan al-Baihaqi-, ia tidak mengetahui riwayat tentang mengusap sepatu Khuf.
هذا فى قنوت الصبح ، أما فى قنوت الوتر فهو سنة عند الشافعية فى النصف الثانى من شهر رمضان ، أما فى غير ذلك ، فهناك خلاف :
فعند الحنابلة أن القنوت مسنون فى الوتر فى الركعة الواحدة فى جميع السنة، وعند المالكية والشافعية لا يسن ، ووافقهم الحنابلة فى رواية عن أحمد . وعند الحنفية مسنون فى كل أيام السنة،
(Qunut Witir).
Ini tentang Qunut Shubuh. Adapun Qunut Witir, maka menurut Mazhab Syafi’i: sunnah dilakukan pada paruh kedua bulan Ramadhan. Sedangkan pada selain itu, terdapat beberapa perbedaan pendapat:
Menurut Mazhab Hanbali: doa Qunut sunnat Witir dibaca dalam shalat Witir pada rakaat tunggal (terakhir) di sepanjang tahun.
Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i tidak sunnat dibaca sepanjang tahun.
Demikian juga menurut Mazhab Hanbali, satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi: sunnat dibaca dalam shalat Witir sepanjang tahun.
يقول ابن تيمية فى فتاويه "مجلد 22 ص 264 -269 " . . وأما قنوت الوتر فلعلماء فيه ثلاثة أقوال :
1- قيل لا يستحب بحال ، لأنه لم يثبت عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قنت فى الوتر .
2- قيل : بل يستحب فى جميع السنة كما نقل عن ابن مسعود وغيره، ولأن فى السنن أن النبي صلى الله عليه وسلم علَّم الحسن بن على دعاء يدعو به قنوت الوتر .
3- وقيل بل يقنت فى النصف الأخير من رمضان كما كان أُبى بن كعب يفعل .
Ibnu Taimiah berkata dalam Fatwanya, Jilid: 22, halaman: 264-269. Adapun Qunut Witir, ada tiga pendapat ulama:
1. Tidak dianjurkan sama sekali. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw bahwa beliau membaca doa Qunut pada shalat Witir.
2. Dianjurkan sepanjang tahun, sebagaimana dinukil dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa yang dibaca dalam Qunut Witir kepada al-Hasan bin Ali.
3. Doa Qunut Witir dibaca pada paruh kedua bulan Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Ubai bin Ka’ab.
وقنوت النوازل مشروع فى غير صلاة الصبح أيضا قال النووى - وهو شافعى المذهب فيه ثلاثة أقوال ، والصحيح المشهور الذى قطع به الجمهور أنه مشروع فى كل الصلوات ما دامت فيه نازلة ، وإلا فلا، ولم يقل بمشروعيته غيرهم ، ورأى المالكية أنه إن وقع لا تبطل به الصلاة وهو مكروه .
ومحل القنوت بعد الركوع عند الشافعية والحنابلة ، وفى رواية عن أحمد أنه قال : أنا أذهب إلى أنه بعد الركوع ، فإن قنت قبله فلا بأس . والمالكية والحنفية ، يقنتون قبل الركوع .
(Qunut Nazilah/Nawazil).
Qunut Nawazil disyariatkan pada selain shalat Shubuh. Imam Nawawi –Imam dalam Mazhab Syafi’i- berkata: dalam masalah ini ada tiga pendapat. Menurut pendapat yang shahih dan masyhur yang menjadi pegangan Jumhur ulama bahwa doa Qunut Nazilah itu disyariatkan dalam semua shalat, selama terjadi Nazilah. Jika tidak terjadi Nazilah, maka tidak disyariatkan membacanya. Selain mereka tidak menyatakan pensyariatannya. Menurut Mazhab Maliki, jika doa Qunut Nazilah dibaca, shalat tidak batal, akan tetapi hukumnya makruh.
Doa Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Dalam satu riwayat dari Imam Ahmad, ia berkata: “Menurut saya, doa Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, jika dibaca sebelum ruku’, maka tidak mengapa”.
Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi membaca Qunut Nawazil sebelum ruku’.
والقنوت عند الشافعية يحصل بأية صيغة فيها دعاء وثناء مثل (اللهم اغفر لى يا غفور) وأفضله :(اللهم اهدنى فيمن هديت ، وعافنى فيمن عافيت ، وتولنى فيمن توليت ، وبارك لى فيما أعطيت ، وقنى شر ما قضيت ، فانك تقضى ولا يقضى عليك ، وإنه لا يذل من واليت ولا يعز من عاديت ، تباركت وتعاليت ) وقد روى عن الحسن بن على رضى اللَّه عنهما أن الرسول صلى الله عليه وسلم علمه إياه ، كما رواه أبو داود والنسائى والترمذى وغيرهم ، وقال الترمذى : حديث حسن ، ولا يعرف عن النبى صلى الله عليه وسلم شيء أحسن من هذا .
Menurut Mazhab Syafi’i: doa Qunut terwujud dengan kalimat apa pun yang mengandung doa dan pujian, seperti:
اللهم اغفر لى يا غفور
“Ya Allah, ampunilah aku wahai Maha Pengampun”.
Doa Qunut yang paling afdhal adalah:
:(اللهم اهدنى فيمن هديت ، وعافنى فيمن عافيت ، وتولنى فيمن توليت ، وبارك لى فيما أعطيت ، وقنى شر ما قضيت ، فانك تقضى ولا يقضى عليك ، وإنه لا يذل من واليت ولا يعز من عاديت ، تباركت وتعاليت )
(Ya Allah, berilah hidayah kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah kebaikan kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan aku kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah bagiku terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri kuasa dan tidak ada yang memuliakan orang yang Engkau hinakan. Maka Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung).
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa ini kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan lainnya. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan. Tidak diketahui ada hadits yang lebih hasan daripada ini diriwayatkan dari Rasulullah Saw”.
ولفظه المختار عند الحنفية كما رواه ابن مسعود وعمر رضى اللَّه عنهما : اللهم إنا نستعينك ونستهديك ونستغفرك ونؤمن بك ونتوكل عليك ، ونثنى عليك ولا نكفرك ، ونخلع ونترك من يفجرك ، اللهم إياك نعبد ولك نصلى ونسجد، وإليك نسعى ونحفد، نرجو رحمتك ونخشى عذابك ، إن عذابك الجد بالكفار ملحق .
Lafaz pilihan menurut Mazhab Hanafi adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan Umar:
اللهم إنا نستعينك ونستهديك ونستغفرك ونؤمن بك ونتوكل عليك ، ونثنى عليك ولا نكفرك ، ونخلع ونترك من يفجرك ، اللهم إياك نعبد ولك نصلى ونسجد، وإليك نسعى ونحفد، نرجو رحمتك ونخشى عذابك ، إن عذابك الجد بالكفار ملحق .
(Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, memohon hidayah kepada-Mu, memohon ampun kepada-Mu, beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu dan tidak kafir kepada-Mu. Kami melepaskan diri dan meninggalkan orang yang berbuat dosa kepada-Mu. Ya Allah, kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami shalat dan bersujud. Kepada-Mu kami bersegera dalam beramal dan berbuat kebaikan. Kami mengharap rahmat-Mu dan takut kepada azab-Mu. Sesungguhnya azab-Mu yang sangat keras menyertai orang-orang kafir).
يقول النووى : يستحب الجمع ين قنوت عمر وما روى عن الحسن ، وإلا فليقتصر على رواية الحسن ، وتسن الصلاة على النبى صلى الله عليه وسلم بعد القنوت
Imam Nawawi berkata: “Dianjurkan menggabungkan antara doa Qunut riwayat Umar dengan doa Qunut riwayat al-Hasan. Jika tidak mampu, maka cukup membaca doa Qunut riwayat al-Hasan. Disunnatkan membaca shalawat kepada nabi setelah membaca doa Qunut.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul somad, Lc., MA.)
somadku@yahoo.com
القنوت
المفتي الشيخ عطية صقر . مايو 1997
المبادئ: القرآن والسنة
Qunut.
Mufti: Syekh ‘Athiyyah Shaqar (Ketua Majlis Fatwa al-Azhar Mesir).
Edisi Mei 1997.
Dasar: al-Qur’an dan Sunnah.
السؤال:
هل القنوت فى الصلاة مشروع ، وإذا كان مشروعا فهل هو فى كل الصلوات ، وهل له صيغة محدودة ؟
Pertanyaan:
Apakah doa Qunut dalam shalat itu disyariatkan? Jika disyariatkan, apakah dalam semua shalat? Adalah lafaz tertentu?
الجواب:
القنوت وهو الدعاء مشروع في الصلوات الخمس عند النوازل ، لحديث ابن عباس رضى اللَّه عنهما : قنت الرسول صلى الله عليه وسلم فى الصلوات الخمس مدة شهر، يدعو على حى من بنى سليم : رعل و ذكوان وعصية ، لأنهم قتلوا بعض الصحابة الذى أرسلهم ليعلموهم .
رواه أبو داود وأحمد ، كما روى البخارى أن النبى صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد أن يدعو على أحد أو يدعو لأحد قنت بعد الركوع . وجاء فيه : قال : يجهر بذلك ويقول فى بعض صلاته وفى صلاة الفجر "اللهم العن فلانا وفلانا " حيبن من أحياء العرب ، حتى أنزل اللّه تعالى {ليس لك من الأمر شيء أو يتوب عليهم أو يعذبهم فإنهم ظالمون } آل عمران : 128 .
Jawaban:
Qunut adalah doa, disyariatkan dalam shalat lima waktu ketika terjadi Nawâzil (musibah). Berdasarkan hadits Ibnu Abbas: “Rasulullah Saw membaca doa Qunut dalam shalat lima waktu selama satu bulan. Beliau mendoakan satu kawasan dari Bani Sulaim: Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah. Karena mereka telah membunuh sebagian shahabat Rasulullah yang diutus untuk mengajarkan Islam. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa jika Rasulullah Saw ingin mendoakan seseorang (doa tidak baik [laknat] atau doa baik), maka beliau membaca qunut setelah ruku’. Dalam riwayat tersebut disebutkan: Rasulullah Saw membacanya dengan suara keras. Rasulullah Saw mengucapkan doa dalam shalatnya dan dalam shalat Shubuh, “Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan”. Dua kawasan di antara beberapa kawasan di tanah Arab. Hingga Allah menurunkan ayat: “128. Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu[227] atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
[227] Menurut riwayat Bukhari mengenai turunnya ayat ini, karena Nabi Muhammad s.a.w. berdoa kepada Allah agar menyelamatkan sebagian pemuka-pemuka musyrikin dan membinasakan sebagian lainnya”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 128).
والقنوت فى الصبح على هذا مشروع عند النوازل كبقية الصلوات ، أما فى غير النوازل فللفقهاء فيه أقوال خلاصتها .
قال الحنفية والحنابلة بعدم مشروعيته ، مستدلين بما رواه ابن حبان وابن خزيمة وصححه عن أنس : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت فى صلاة الصبح إلا إذا دعا لقوم أو دعا عليهم .
(Qunut Shubuh).
Berdasarkan ini maka doa Qunut pada shalat Shubuh disyariatkan ketika ada Nawazil, sama seperti doa Qunut pada shalat-shalat lainnya. Akan tetapi jika tidak ada Nawazil, maka ada beberapa pendapat para ulama Fiqh. Kesimpulannya:
Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali: doa Qunut Shubuh tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah dari Anas: sesungguhnya Rasulullah Saw tidak membaca doa Qunut pada shalat Shubuh, kecuali jika beliau mendoakan suatu kaum (doa kebaikan atau doa tidak baik [laknat]).
وقال المالكية والشافعية بمشروعيته . ودليلهم ما رواه الجماعة إلا الترمذى أن أنس بن مالك سثل هل قنت النبي صلى الله عليه وسلم فى صلاة الصبح ؟ فقال : نعم ، ورواه أحمد والبزار و الدارقطنى والبيهقى والحاكم وصححه عن أنس قال : ما زال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم يقنت فى الفجر حتى فارق الدنيا .
Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i: doa Qunut Shubuh disyariatkan. Dalil mereka adalah riwayat mayoritas ahli hadits kecuali at-Tirmidzi, bahwa Anas bin Malik ditanya: “Apakah Rasulullah membaca doa Qunut pada shalat Shubuh?”. Beliau menjawab, “Ya”. diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, ad-Daraquthni, al-Baihaqi dan al-Hakim. Dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dari Anas bahwa Anas berkata, “Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut pada shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia”.
ومناقشة هذه الأدلة وبيان الأرجح من الأقوال يمكن الرجوع إليه فى كتاب "زاد المعاد لابن القيم " الذى بين فى سرده للروايات أن أهل الحديث توسطوا بين من ينكرون القنوت مطلقا حتى فى النوازل وبين من يستحسنونه مطلقا عند النوازل وغيرها ، فهم لا ينكرون على من داوم عليه ولا يكرهونه فعله ، ولا يرونه بدعة ولا فاعله مخالفا للسنة ،كما لا ينكرون على من أنكره عند النوازل ولا يرون تركه بدعة ولا تاركه مخالفا للسنة، بل من قنت فقد أحسن ، ومن تركه فقد أحسن ، وهذا من الاختلاف المباح الذى لا يعنف فيه من فعله ولا من تركه ، وذلك كرفع اليدين في الصلاة وتركه . وأنا أقول : إن الخلاف بسيط ، وهو فى سنة وليس فى فرض ، والدين يسر .
Pembahasan dan penjelasan dalil-dalil dari pendapat-pendapat ini dapat dilihat dalam kitab Zâd al-Ma’âd karya Ibnu al-Qayyim yang menjelaskan beberapa riwayat bahwa para ulama ahli hadits bersikap moderat diantara kelompok yang mengingkari doa Qunut secara mutlak, meskipun ketika ada Nawazil. Dan kelompok yang menganggap baik doa Qunut secara mutlak, baik ketika ada Nawazil maupun ketika tidak ada Nawazil. Para ulama ahli hadits tidak mengingkari orang-orang yang membaca doa Qunut Shubuh secara terus menerus dan tidak pula membenci perbuatan mereka. Para ulama ahli hadits juga tidak menganggapnya bid’ah dan pelakunya tidak dianggap bertentangan dengan Sunnah. Para ulama ahli hadits juga tidak mengingkari orang-orang yang mengingkari doa Qunut ketika ada Nawazil dan tidak menganggap perbuatan mereka itu bid’ah dan bertentangan dengan Sunnah. Siapa yang membaca doa Qunut, maka ia telah berbuat baik dan siapa yang tidak melakukannya juga tidak mengapa. Ini termasuk kategori ikhtilaf yang mubah (dibolehkan) yang tidak perlu bersikap keras terhadap orang yang melakukannya atau tidak melakukannya. Sama seperti masalah mengangkat tangan atau tidak mengangkat tangan dalam shalat.
Saya (Syekh ‘Athiyyah Shaqar) katakan: “Sesungguhnya ikhtilaf dalam masalah ini adalah sederhana. Ini adalah masalah sunnat, bukan dalam masalah fardhu. Dan agama Islam itu memberikan kemudahan”.
هذا وقد روى أحمد وأصحاب السنن عن أبى مالك الأشجعى أنه قال عن قنوت الفجر إنه بدعة ، لأنه صلى خلف النبي وأبى بكر وعمر وعلى فلم يرهم يقنتون ، كما روى الدارقطنى أن ابن عباس كان يقول : إن القنوت فى صلاة الفجر بدعة . ويمكن الجمع بين روايات الإثبات وروايات النفى بأن هؤلاء المروى عنهم كانوا يقنتون أحيانا ولا يقنتون أحيانا أخرى ، لأنه سنة وليس بفرض ولا واجب ، والمثبت مقدم على النافى كما هو معلوم ، وإذا كان بعض الصحابة لم يقنت لأنه لم يره من النبى صلى الله عليه وسلم فإن عدم الرؤية لا يدل على النفى المطلق ، وقد ذكر ابن حزم أن ابن مسعود الذى كان لا يقنت خفى عليه وضع الأيدى على الركب فى الركوع ، وأن ابن عمر الذى لم يحفظه عن أحد من الأصحاب كما رواه البيهقى خفى عليه المسح على الخفين .
Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i, ia berkata tentang Qunut Shubuh bahwa Qunut Shubuh itu bid’ah, karena ia shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, ia tidak melihat mereka membaca doa Qunut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni bahwa Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Qunut pada shalat Shubuh itu bid’ah”.
Dapat dikombinasikan antara riwayat-riwayat yang menyatakan adanya doa Qunut Shubuh dengan riwayat-riwayat yang menafikan adanya doa Qunut Shubuh. Bahwa mereka yang menjadi sumber riwayat itu, terkadang mereka membaca doa Qunut dan terkadang mereka tidak membaca doa Qunut, karena doa Qunut itu sunnat, bukan fardhu dan wajib. Maka riwayat-riwayat yang menyatakan adanya doa Qunut lebih didahulukan daripada riwayat-riwayat yang menafikannya, sebagaimana diketahui bersama. Jika sebagian shahabat tidak membaca doa Qunut karena tidak melihat Rasulullah Saw membaca doa Qunut. Maka tidak melihat itu tidak berarti menafikan secara mutlak. Ibnu Hazm menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud yang tidak membaca doa Qunut, ia juga tidak mengetahui riwayat tentang meletakkan tangan diatas lutut ketika ruku’. Ibnu Umar yang menyatakan tidak ada doa Qunut dari para shahabat –sebagaimana yang diriwayatkan al-Baihaqi-, ia tidak mengetahui riwayat tentang mengusap sepatu Khuf.
هذا فى قنوت الصبح ، أما فى قنوت الوتر فهو سنة عند الشافعية فى النصف الثانى من شهر رمضان ، أما فى غير ذلك ، فهناك خلاف :
فعند الحنابلة أن القنوت مسنون فى الوتر فى الركعة الواحدة فى جميع السنة، وعند المالكية والشافعية لا يسن ، ووافقهم الحنابلة فى رواية عن أحمد . وعند الحنفية مسنون فى كل أيام السنة،
(Qunut Witir).
Ini tentang Qunut Shubuh. Adapun Qunut Witir, maka menurut Mazhab Syafi’i: sunnah dilakukan pada paruh kedua bulan Ramadhan. Sedangkan pada selain itu, terdapat beberapa perbedaan pendapat:
Menurut Mazhab Hanbali: doa Qunut sunnat Witir dibaca dalam shalat Witir pada rakaat tunggal (terakhir) di sepanjang tahun.
Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i tidak sunnat dibaca sepanjang tahun.
Demikian juga menurut Mazhab Hanbali, satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi: sunnat dibaca dalam shalat Witir sepanjang tahun.
يقول ابن تيمية فى فتاويه "مجلد 22 ص 264 -269 " . . وأما قنوت الوتر فلعلماء فيه ثلاثة أقوال :
1- قيل لا يستحب بحال ، لأنه لم يثبت عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قنت فى الوتر .
2- قيل : بل يستحب فى جميع السنة كما نقل عن ابن مسعود وغيره، ولأن فى السنن أن النبي صلى الله عليه وسلم علَّم الحسن بن على دعاء يدعو به قنوت الوتر .
3- وقيل بل يقنت فى النصف الأخير من رمضان كما كان أُبى بن كعب يفعل .
Ibnu Taimiah berkata dalam Fatwanya, Jilid: 22, halaman: 264-269. Adapun Qunut Witir, ada tiga pendapat ulama:
1. Tidak dianjurkan sama sekali. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw bahwa beliau membaca doa Qunut pada shalat Witir.
2. Dianjurkan sepanjang tahun, sebagaimana dinukil dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa yang dibaca dalam Qunut Witir kepada al-Hasan bin Ali.
3. Doa Qunut Witir dibaca pada paruh kedua bulan Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Ubai bin Ka’ab.
وقنوت النوازل مشروع فى غير صلاة الصبح أيضا قال النووى - وهو شافعى المذهب فيه ثلاثة أقوال ، والصحيح المشهور الذى قطع به الجمهور أنه مشروع فى كل الصلوات ما دامت فيه نازلة ، وإلا فلا، ولم يقل بمشروعيته غيرهم ، ورأى المالكية أنه إن وقع لا تبطل به الصلاة وهو مكروه .
ومحل القنوت بعد الركوع عند الشافعية والحنابلة ، وفى رواية عن أحمد أنه قال : أنا أذهب إلى أنه بعد الركوع ، فإن قنت قبله فلا بأس . والمالكية والحنفية ، يقنتون قبل الركوع .
(Qunut Nazilah/Nawazil).
Qunut Nawazil disyariatkan pada selain shalat Shubuh. Imam Nawawi –Imam dalam Mazhab Syafi’i- berkata: dalam masalah ini ada tiga pendapat. Menurut pendapat yang shahih dan masyhur yang menjadi pegangan Jumhur ulama bahwa doa Qunut Nazilah itu disyariatkan dalam semua shalat, selama terjadi Nazilah. Jika tidak terjadi Nazilah, maka tidak disyariatkan membacanya. Selain mereka tidak menyatakan pensyariatannya. Menurut Mazhab Maliki, jika doa Qunut Nazilah dibaca, shalat tidak batal, akan tetapi hukumnya makruh.
Doa Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Dalam satu riwayat dari Imam Ahmad, ia berkata: “Menurut saya, doa Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, jika dibaca sebelum ruku’, maka tidak mengapa”.
Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi membaca Qunut Nawazil sebelum ruku’.
والقنوت عند الشافعية يحصل بأية صيغة فيها دعاء وثناء مثل (اللهم اغفر لى يا غفور) وأفضله :(اللهم اهدنى فيمن هديت ، وعافنى فيمن عافيت ، وتولنى فيمن توليت ، وبارك لى فيما أعطيت ، وقنى شر ما قضيت ، فانك تقضى ولا يقضى عليك ، وإنه لا يذل من واليت ولا يعز من عاديت ، تباركت وتعاليت ) وقد روى عن الحسن بن على رضى اللَّه عنهما أن الرسول صلى الله عليه وسلم علمه إياه ، كما رواه أبو داود والنسائى والترمذى وغيرهم ، وقال الترمذى : حديث حسن ، ولا يعرف عن النبى صلى الله عليه وسلم شيء أحسن من هذا .
Menurut Mazhab Syafi’i: doa Qunut terwujud dengan kalimat apa pun yang mengandung doa dan pujian, seperti:
اللهم اغفر لى يا غفور
“Ya Allah, ampunilah aku wahai Maha Pengampun”.
Doa Qunut yang paling afdhal adalah:
:(اللهم اهدنى فيمن هديت ، وعافنى فيمن عافيت ، وتولنى فيمن توليت ، وبارك لى فيما أعطيت ، وقنى شر ما قضيت ، فانك تقضى ولا يقضى عليك ، وإنه لا يذل من واليت ولا يعز من عاديت ، تباركت وتعاليت )
(Ya Allah, berilah hidayah kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah kebaikan kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan aku kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah bagiku terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri kuasa dan tidak ada yang memuliakan orang yang Engkau hinakan. Maka Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung).
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa ini kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan lainnya. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan. Tidak diketahui ada hadits yang lebih hasan daripada ini diriwayatkan dari Rasulullah Saw”.
ولفظه المختار عند الحنفية كما رواه ابن مسعود وعمر رضى اللَّه عنهما : اللهم إنا نستعينك ونستهديك ونستغفرك ونؤمن بك ونتوكل عليك ، ونثنى عليك ولا نكفرك ، ونخلع ونترك من يفجرك ، اللهم إياك نعبد ولك نصلى ونسجد، وإليك نسعى ونحفد، نرجو رحمتك ونخشى عذابك ، إن عذابك الجد بالكفار ملحق .
Lafaz pilihan menurut Mazhab Hanafi adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan Umar:
اللهم إنا نستعينك ونستهديك ونستغفرك ونؤمن بك ونتوكل عليك ، ونثنى عليك ولا نكفرك ، ونخلع ونترك من يفجرك ، اللهم إياك نعبد ولك نصلى ونسجد، وإليك نسعى ونحفد، نرجو رحمتك ونخشى عذابك ، إن عذابك الجد بالكفار ملحق .
(Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, memohon hidayah kepada-Mu, memohon ampun kepada-Mu, beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu dan tidak kafir kepada-Mu. Kami melepaskan diri dan meninggalkan orang yang berbuat dosa kepada-Mu. Ya Allah, kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami shalat dan bersujud. Kepada-Mu kami bersegera dalam beramal dan berbuat kebaikan. Kami mengharap rahmat-Mu dan takut kepada azab-Mu. Sesungguhnya azab-Mu yang sangat keras menyertai orang-orang kafir).
يقول النووى : يستحب الجمع ين قنوت عمر وما روى عن الحسن ، وإلا فليقتصر على رواية الحسن ، وتسن الصلاة على النبى صلى الله عليه وسلم بعد القنوت
Imam Nawawi berkata: “Dianjurkan menggabungkan antara doa Qunut riwayat Umar dengan doa Qunut riwayat al-Hasan. Jika tidak mampu, maka cukup membaca doa Qunut riwayat al-Hasan. Disunnatkan membaca shalawat kepada nabi setelah membaca doa Qunut.
Jadwal Ramadhan 1431H.
Hari/Tgl : Rabu, 11 Agustus 2010
Waktu : 10:00 – 11:00
Tempat : RRI
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid Akramunnas UNRI
Hari/Tgl : Kamis, 12 Agustus 2010
Waktu : 10:00 – 11:00
Tempat : RRI
Hari/Tgl : Jum’at, 13 Agustus 2010
Waktu : 10:00 – 11:00
Tempat : RRI
Hari/Tgl : Sabtu, 14 Agustus 2010
Waktu : 09:00 – 11:00
Tempat : Aula Masjid Agung An-Nur
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : KBIH Manarulhajj
Hari/Tgl : Senin, 16 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Musholla al-Firdaus, Perumahan al-Firdaus, Panam.
Hari/Tgl : Selasa, 17 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Musholla al-Firdaus, Perumahan al-Firdaus, Panam.
Hari/Tgl : Rabu, 18 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Musholla al-Firdaus, Perumahan al-Firdaus, Panam.
Hari/Tgl : Kamis, 19 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Musholla Telkom
Hari/Tgl : Ahad, 22 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Masjid Agung An-Nur
Hari/Tgl : Selasa, 24 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Mushalla Telkom
Hari/Tgl : Rabu, 25 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Masjid Agung An-Nur
Hari/Tgl : Kamis, 26 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Mushalla Telkom
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid ar-Rahman, Jln. Sudirman
ari/Tgl : ٍSabtu, 28 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Rumah Wali Kota
Hari/Tgl : Ahad, 29 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid al-Muhajirin, Kulim
Hari/Tgl : Senin, 30 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Selasa, 31 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Rabu, 01 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Kamis, 02 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Jum’at, 03 September 2010
Waktu : Ba’da Shalat Jum’at
Tempat : Kantor Rektorat UIN Suska
Hari/Tgl : Sabtu, 04 September 2010
Waktu : Ba’da Shubuh
Tempat : Masjid Akramunnas UNRI
Hari/Tgl : Ahad, 05 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Masjid Agung An-Nur
Hari/Tgl : Selasa, 07 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Kantor PLN
Hari/Tgl : Rabu, 08 September 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid Akramunnas UNRI
Hari/Tgl : Jum’at, 10 September 2010
Waktu : Shalat Idul Fitri
Tempat : Masjid Chevron Minas
Waktu : 10:00 – 11:00
Tempat : RRI
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid Akramunnas UNRI
Hari/Tgl : Kamis, 12 Agustus 2010
Waktu : 10:00 – 11:00
Tempat : RRI
Hari/Tgl : Jum’at, 13 Agustus 2010
Waktu : 10:00 – 11:00
Tempat : RRI
Hari/Tgl : Sabtu, 14 Agustus 2010
Waktu : 09:00 – 11:00
Tempat : Aula Masjid Agung An-Nur
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : KBIH Manarulhajj
Hari/Tgl : Senin, 16 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Musholla al-Firdaus, Perumahan al-Firdaus, Panam.
Hari/Tgl : Selasa, 17 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Musholla al-Firdaus, Perumahan al-Firdaus, Panam.
Hari/Tgl : Rabu, 18 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Musholla al-Firdaus, Perumahan al-Firdaus, Panam.
Hari/Tgl : Kamis, 19 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Musholla Telkom
Hari/Tgl : Ahad, 22 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Masjid Agung An-Nur
Hari/Tgl : Selasa, 24 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Mushalla Telkom
Hari/Tgl : Rabu, 25 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Masjid Agung An-Nur
Hari/Tgl : Kamis, 26 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Mushalla Telkom
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid ar-Rahman, Jln. Sudirman
ari/Tgl : ٍSabtu, 28 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Rumah Wali Kota
Hari/Tgl : Ahad, 29 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid al-Muhajirin, Kulim
Hari/Tgl : Senin, 30 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Selasa, 31 Agustus 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Rabu, 01 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Kamis, 02 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Bank Riau
Hari/Tgl : Jum’at, 03 September 2010
Waktu : Ba’da Shalat Jum’at
Tempat : Kantor Rektorat UIN Suska
Hari/Tgl : Sabtu, 04 September 2010
Waktu : Ba’da Shubuh
Tempat : Masjid Akramunnas UNRI
Hari/Tgl : Ahad, 05 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Masjid Agung An-Nur
Hari/Tgl : Selasa, 07 September 2010
Waktu : Ba’da Zhuhur
Tempat : Kantor PLN
Hari/Tgl : Rabu, 08 September 2010
Waktu : Ba’da Isya’
Tempat : Masjid Akramunnas UNRI
Hari/Tgl : Jum’at, 10 September 2010
Waktu : Shalat Idul Fitri
Tempat : Masjid Chevron Minas
Senin, 02 Agustus 2010
Hadits-Hadits Shahih Tentang Sedekah.
by:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ما أطعمت زوجتك فهو لك صدقة، وما أطعمت ولدك فهو لك صدقة، وما أطعمت خادمك فهو لك صدقة، وما أطعمت نفسك فهو لك صدقة) صحيح أحمد والطبراني.
Rasulullah Saw bersabda:
“Makanan yang engkau berikan kepada istrimu adalah sedekah bagimu, makanan yang engkau berikan kepada anakmu adalah sedekah bagimu, makanan yang engkau berikan kepada pembantumu adalah sedekah bagimu dan makanan yang engkau berikan kepada dirimu sendiri adalah sedekah bagimu”.
(HR. Ahmad dan ath-Thabrani).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(نفقة الرجل على أهله صدقة) صحيح بخاري والترمذي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Nafkah yang diberikan seorang laki-laki kepada keluarganya adalah sedekah”.
(HR. Al-Bukhari dan at-Tirmidzi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(صدقة السر تطفئ غضب الرب، وصلة الرحم تزيد في العمر، وفعل المعروف يقي مصارع السوء) صحيح البيهقي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Sedekah yang diberikan secara diam-diam dapat memadamkan murka Allah, silaturahim menambah usia dan perbuatan baik dapat menjaga dari kematian yang jelek”.
(HR. Al-Baihaqi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(من أنظر معسراً، فله كل يوم صدقة قبل أن يحل الدين، فإذا أحل الدين فأنظره بعد ذلك فله كل يوم مثلين صدقة) صحيح الحاكم.
Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang (bersabar) menunggu orang yang kesulitan (membayar hutang), maka baginya sedekah satiap hari, hinga hutang itu dibayar. Jika ia menunda pembayarannya, ia (bersabar) menunggunya, maka baginya dua kali sedekah setiap hari”.
(HR. Al-Hakim).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ثلاث أقسم عليهن، ما نقص مال قط من صدقة فتصدقوا، ولا عفا رجل عن مظلمة ظلمها إلا زاده الله تعالى بها عزاً فاعفوا يزدكم الله عزاً، ولا فتح رجل على نفسه باب مسألة يسأل الناس إلا فتح الله عليه باب فقر) صحيح أحمد والبزار.
Rasulullah Saw bersabda:
“Aku bersumpah demi tiga perkara: harta tidak akan berkurang karena sedekah, maka bersedekahlah kamu. Seseorang yang memaafkan orang lain karena suatu perbuatan zalim, maka Allah pasti memuliakannya. Maka maafkanlah (orang yang berbuat zalim), maka Allah pasti menambahkan kemuliaan. Seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, maka Allah pasti akan membukakan pintu kefakiran kepadanya”.
(HR. Ahmad dan al-Bazzar).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - (إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناتهِ بعد موته، علماً علمهُ ونشرهُ، أو ولداً صالحاً تركه، أو مصحفاً ورثهُ، أو مسجداً بناهُ، أو بيتاً بناه لابن السبيل، أو نهراً أجراهُ، أو صدقة أخرجها من ماله في صحته وحياتهِ تلحقه من بعد موتهِ) حسن (ابن ماجه وابن خزيمة والبيهقي).
Rasulullah Saw bersabda:
“Yang menyertai orang mukmin dari amal kebaikannya setelah kematiannya adalah: ilmu yang pernah ia ajarkan dan ia sebarkan, atau anak shaleh yang ia tinggalkan, atau mushaf (al-Qur’an) yang ia wariskan, atau masjid yang telah ia bangun, atau rumah yang pernah ia bangun untuk Ibnu Sabil, atau sungai (aliran air) yang pernah ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan dalam kehidupannya, maka akan menyertainya setelah kematiannya”. [Hadits Hasan].
(HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ما من مسلم يغرس غرساً أو يزرع زرعاً فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقةٌ) بخاري ومسلم والترمذي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap muslim yang menanam tanaman, lalu dimakan burung atau manusia atau binatang, maka itu menjadi sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(صنائع المعروف تقي مصارع السوء والصدقة خفيا تطفئ غضب الرب، وصلةُ الرحم زيادة في العمر، وكل معروف صدقة، وأهل المعروف في الدنيا هم أهل المعروف في الآخرة، وأهل المنكر في الدنيا هم أهل المنكر في الآخرة) صحيح (طبراني في الأوسط عن أم سلمة).
Rasulullah Saw bersabda:
“Orang-orang yang berbuat kebaikan dipelihara dari kematian yang jelek. Sedekah secara rahasia memadamkan murka Allah. Silaturahim menambah usia. Semua perbuatan baik itu adalah sedekah. Orang yang berbuat baik di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik di akhirat. Orang-orang yang melakukan perbuatan munkar di dunia, mereka adalah orang-orang munkar di akhirat”.
(HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(أفضل الصدقة: الصدقة على ذي الرحم الكاشح) صحيح ابن خزيمة والطبراني
Rasulullah Saw bersabda:
“Sedekah yang paling afdhal adalah sedekah yang diberikan kepada kerabat yang menyembunyikan permusuhannya”.
(HR. Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabrani).
عن أبي ذر جُنْدبِ بنِ جُنَادَةَ - رضي الله عنه - ، قَالَ: قُلْتُ : يَا رسولَ الله، أيُّ الأعمالِ أفْضَلُ ؟ قَالَ : (( الإيمانُ باللهِ وَالجِهادُ في سَبيلِهِ )) . قُلْتُ : أيُّ الرِّقَابِ أفْضَلُ ؟ قَالَ : (( أنْفَسُهَا عِنْدَ أهلِهَا وَأكثَرهَا ثَمَناً )) . قُلْتُ : فإنْ لَمْ أفْعَلْ ؟ قَالَ : (( تُعِينُ صَانِعاً أَوْ تَصْنَعُ لأَخْرَقَ )) . قُلْتُ : يَا رَسُول الله ، أرأيْتَ إنْ ضَعُفْتُ عَنْ بَعْضِ العَمَلِ ؟ قَالَ : (( تَكُفُّ شَرَّكَ عَنِ النَّاسِ ؛ فإنَّهَا صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ )) مُتَّفَقٌ عليه .
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah, ia berkata: “Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah amal yang paling afdhal?”.
Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad fi sabilillah”.
Saya bertanya, “Memerdekakan hamba sahaya yang bagaimanakah yang paling afdhal?”.
Beliau menjawab, “Hamba sahaya yang paling berharga diantara keluarganya dan paling mahal harganya”.
Saya bertanya, “Jika saya tidak melakukannya?”.
Rasulullah Saw berkata, “Engkau bantu orang lain yang melakukannya atau engkau lakukan tolong orang yang tidak memiliki pekerjaan”.
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya tidak mampu melakukannya?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Engkau tahan perbuatan jelekmu terhadap orang lain, maka sesungguhnya itu sedekah bagimu untuk dirimu sendiri”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
عن أبي ذر أيضاً - رضي الله عنه - : أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( يُصْبحُ عَلَى كُلِّ سُلامَى منْ أَحَدِكُمْ صَدَقةٌ : فَكُلُّ تَسبيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحمِيدةٍ صَدَقَة ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكبيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأمْرٌ بِالمعرُوفِ صَدَقةٌ ، ونَهيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقةٌ ، وَيُجزِىءُ مِنْ ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَركَعُهُما مِنَ الضُّحَى )) رواه مسلم .
Dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Setiap (perbuatan baik) tulang-tulang persendian kamu adalah sedekah, semua tasbih (ucapan: Subhanallah) adalah sedekah, semua tahmid (ucapan: alhamdulillah) adalah sedekah, semua tahlil (ucapan: La ilaha illallah) adalah sedekah, semua takbir (ucapan: Allahu Akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf (mengajak orang lain berbuat baik) adalah sedekah, nahi munkar (melarang orang lain berbuat munkar) adalah sedekah. Semua itu sama dengan dua rakaat shalat Dhuha”. (HR. Muslim).
عن أبي هريرةَ - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - :
(( كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيهِ صَدَقَةٌ ، كُلَّ يَومٍ تَطلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ : تَعْدِلُ بَينَ الاثْنَينِ صَدَقةٌ ، وتُعِينُ الرَّجُلَ في دَابَّتِهِ ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالكَلِمَةُ الطَيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وبكلِّ خَطْوَةٍ تَمشيهَا إِلَى الصَّلاةِ صَدَقَةٌ ، وتُميطُ الأذَى عَنِ الطَّريقِ صَدَقَةٌ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap (perbuatan baik) tulang-tulang persendian manusia adalah sedekah, setiap hari matahari terbit: engkau damaikan antara dua orang, maka itu adalah sedekah, engkau bantu orang lain pada hewan tunggangannya, engkau bantu ia naik keatasnya, atau engkau angkatkan barang-baragnya, maka itu adalah sedekah. Kata-kata yang baik adalah sedekah. Setiap langkah yang engkau langkahkan untuk shalat adalah sedekah. Engkau buang sesuatu yang mengganggu dari jalan, maka itu adalah sedekah”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
عن أَبي موسى - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ،
قَالَ :(( عَلَى كلّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ ))
قَالَ : أرأيتَ إنْ لَمْ يَجِدْ ؟
قَالَ : (( يَعْمَلُ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ ))
قَالَ : أرأيتَ إن لَمْ يَسْتَطِعْ ؟
قَالَ : (( يُعِينُ ذَا الحَاجَةِ المَلْهُوفَ))
قَالَ : أرأيتَ إنْ لَمْ يَسْتَطِعْ ،
قَالَ : (( يَأمُرُ بِالمعْرُوفِ أوِ الخَيْرِ ))
قَالَ : أرَأيْتَ إنْ لَمْ يَفْعَلْ ؟
قَالَ : (( يُمْسِكُ عَنِ الشَّرِّ ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ ))
Dari Abu Musa, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Setiap muslim wajib bersedekah”.
Abu Musa bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia bekerja dengan kedua tangannya, lalu mendatangkan manfaat bagi dirinya, maka berarti ia telah bersedekah”.
“Bagaimana jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia tolong orang lain yang membutuhkan dan dalam kesulitan atau teraniaya”.
“Jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia ajak orang lain berbuat baik”.
“Jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia tahan dirinya untuk tidak melakukan perbuatan jahat kepada orang lain, maka itu sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
وعن أَبي مسعود البدري - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ :
(( إِذَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dari Rasulullah Saw:
“Apabila seseorang memberikan nafkah kepada keluarganya, ia ikhlas hanya karena Allah, maka itu sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
وعن سلمان بن عامر - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( إِذَا أفْطَرَ أحَدُكُمْ ، فَلْيُفْطرْ عَلَى تَمْرٍ ؛ فَإنَّهُ بَرَكةٌ ، فَإنْ لَمْ يَجِدْ تَمْراً ، فالمَاءُ ؛ فَإنَّهُ طَهُورٌ )) ، وَقالَ : (( الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ )) رواه الترمذي ، وَقالَ : (( حديث حسن )) .
Dari Salman bin ‘Amir, dari Rasulullah Saw:
“Apabila salah seorang kamu berbuka, maka berbukalah dengan kurma, karena sesunggunya itu berkah. Jika ia tidak mendapatkan kurma, maka berbukalah dengan air, karena sesungguhnya air itu suci. Sedekah kepada orang miskin itu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat itu bernilai dua; sedekah dan menjalin tali silaturahim”.
(HR. At-Tirmidzi) [Hadits Hasan].
Semoga ada manfaatnya, amin.
Subuh Senin, 21 Sya’ban 1431H / 02 Agustus 2010M.
Diterjemahkan oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ما أطعمت زوجتك فهو لك صدقة، وما أطعمت ولدك فهو لك صدقة، وما أطعمت خادمك فهو لك صدقة، وما أطعمت نفسك فهو لك صدقة) صحيح أحمد والطبراني.
Rasulullah Saw bersabda:
“Makanan yang engkau berikan kepada istrimu adalah sedekah bagimu, makanan yang engkau berikan kepada anakmu adalah sedekah bagimu, makanan yang engkau berikan kepada pembantumu adalah sedekah bagimu dan makanan yang engkau berikan kepada dirimu sendiri adalah sedekah bagimu”.
(HR. Ahmad dan ath-Thabrani).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(نفقة الرجل على أهله صدقة) صحيح بخاري والترمذي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Nafkah yang diberikan seorang laki-laki kepada keluarganya adalah sedekah”.
(HR. Al-Bukhari dan at-Tirmidzi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(صدقة السر تطفئ غضب الرب، وصلة الرحم تزيد في العمر، وفعل المعروف يقي مصارع السوء) صحيح البيهقي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Sedekah yang diberikan secara diam-diam dapat memadamkan murka Allah, silaturahim menambah usia dan perbuatan baik dapat menjaga dari kematian yang jelek”.
(HR. Al-Baihaqi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(من أنظر معسراً، فله كل يوم صدقة قبل أن يحل الدين، فإذا أحل الدين فأنظره بعد ذلك فله كل يوم مثلين صدقة) صحيح الحاكم.
Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang (bersabar) menunggu orang yang kesulitan (membayar hutang), maka baginya sedekah satiap hari, hinga hutang itu dibayar. Jika ia menunda pembayarannya, ia (bersabar) menunggunya, maka baginya dua kali sedekah setiap hari”.
(HR. Al-Hakim).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ثلاث أقسم عليهن، ما نقص مال قط من صدقة فتصدقوا، ولا عفا رجل عن مظلمة ظلمها إلا زاده الله تعالى بها عزاً فاعفوا يزدكم الله عزاً، ولا فتح رجل على نفسه باب مسألة يسأل الناس إلا فتح الله عليه باب فقر) صحيح أحمد والبزار.
Rasulullah Saw bersabda:
“Aku bersumpah demi tiga perkara: harta tidak akan berkurang karena sedekah, maka bersedekahlah kamu. Seseorang yang memaafkan orang lain karena suatu perbuatan zalim, maka Allah pasti memuliakannya. Maka maafkanlah (orang yang berbuat zalim), maka Allah pasti menambahkan kemuliaan. Seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, maka Allah pasti akan membukakan pintu kefakiran kepadanya”.
(HR. Ahmad dan al-Bazzar).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - (إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناتهِ بعد موته، علماً علمهُ ونشرهُ، أو ولداً صالحاً تركه، أو مصحفاً ورثهُ، أو مسجداً بناهُ، أو بيتاً بناه لابن السبيل، أو نهراً أجراهُ، أو صدقة أخرجها من ماله في صحته وحياتهِ تلحقه من بعد موتهِ) حسن (ابن ماجه وابن خزيمة والبيهقي).
Rasulullah Saw bersabda:
“Yang menyertai orang mukmin dari amal kebaikannya setelah kematiannya adalah: ilmu yang pernah ia ajarkan dan ia sebarkan, atau anak shaleh yang ia tinggalkan, atau mushaf (al-Qur’an) yang ia wariskan, atau masjid yang telah ia bangun, atau rumah yang pernah ia bangun untuk Ibnu Sabil, atau sungai (aliran air) yang pernah ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan dalam kehidupannya, maka akan menyertainya setelah kematiannya”. [Hadits Hasan].
(HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ما من مسلم يغرس غرساً أو يزرع زرعاً فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقةٌ) بخاري ومسلم والترمذي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap muslim yang menanam tanaman, lalu dimakan burung atau manusia atau binatang, maka itu menjadi sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(صنائع المعروف تقي مصارع السوء والصدقة خفيا تطفئ غضب الرب، وصلةُ الرحم زيادة في العمر، وكل معروف صدقة، وأهل المعروف في الدنيا هم أهل المعروف في الآخرة، وأهل المنكر في الدنيا هم أهل المنكر في الآخرة) صحيح (طبراني في الأوسط عن أم سلمة).
Rasulullah Saw bersabda:
“Orang-orang yang berbuat kebaikan dipelihara dari kematian yang jelek. Sedekah secara rahasia memadamkan murka Allah. Silaturahim menambah usia. Semua perbuatan baik itu adalah sedekah. Orang yang berbuat baik di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik di akhirat. Orang-orang yang melakukan perbuatan munkar di dunia, mereka adalah orang-orang munkar di akhirat”.
(HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath).
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(أفضل الصدقة: الصدقة على ذي الرحم الكاشح) صحيح ابن خزيمة والطبراني
Rasulullah Saw bersabda:
“Sedekah yang paling afdhal adalah sedekah yang diberikan kepada kerabat yang menyembunyikan permusuhannya”.
(HR. Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabrani).
عن أبي ذر جُنْدبِ بنِ جُنَادَةَ - رضي الله عنه - ، قَالَ: قُلْتُ : يَا رسولَ الله، أيُّ الأعمالِ أفْضَلُ ؟ قَالَ : (( الإيمانُ باللهِ وَالجِهادُ في سَبيلِهِ )) . قُلْتُ : أيُّ الرِّقَابِ أفْضَلُ ؟ قَالَ : (( أنْفَسُهَا عِنْدَ أهلِهَا وَأكثَرهَا ثَمَناً )) . قُلْتُ : فإنْ لَمْ أفْعَلْ ؟ قَالَ : (( تُعِينُ صَانِعاً أَوْ تَصْنَعُ لأَخْرَقَ )) . قُلْتُ : يَا رَسُول الله ، أرأيْتَ إنْ ضَعُفْتُ عَنْ بَعْضِ العَمَلِ ؟ قَالَ : (( تَكُفُّ شَرَّكَ عَنِ النَّاسِ ؛ فإنَّهَا صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ )) مُتَّفَقٌ عليه .
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah, ia berkata: “Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah amal yang paling afdhal?”.
Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad fi sabilillah”.
Saya bertanya, “Memerdekakan hamba sahaya yang bagaimanakah yang paling afdhal?”.
Beliau menjawab, “Hamba sahaya yang paling berharga diantara keluarganya dan paling mahal harganya”.
Saya bertanya, “Jika saya tidak melakukannya?”.
Rasulullah Saw berkata, “Engkau bantu orang lain yang melakukannya atau engkau lakukan tolong orang yang tidak memiliki pekerjaan”.
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya tidak mampu melakukannya?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Engkau tahan perbuatan jelekmu terhadap orang lain, maka sesungguhnya itu sedekah bagimu untuk dirimu sendiri”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
عن أبي ذر أيضاً - رضي الله عنه - : أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( يُصْبحُ عَلَى كُلِّ سُلامَى منْ أَحَدِكُمْ صَدَقةٌ : فَكُلُّ تَسبيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحمِيدةٍ صَدَقَة ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكبيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأمْرٌ بِالمعرُوفِ صَدَقةٌ ، ونَهيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقةٌ ، وَيُجزِىءُ مِنْ ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَركَعُهُما مِنَ الضُّحَى )) رواه مسلم .
Dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Setiap (perbuatan baik) tulang-tulang persendian kamu adalah sedekah, semua tasbih (ucapan: Subhanallah) adalah sedekah, semua tahmid (ucapan: alhamdulillah) adalah sedekah, semua tahlil (ucapan: La ilaha illallah) adalah sedekah, semua takbir (ucapan: Allahu Akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf (mengajak orang lain berbuat baik) adalah sedekah, nahi munkar (melarang orang lain berbuat munkar) adalah sedekah. Semua itu sama dengan dua rakaat shalat Dhuha”. (HR. Muslim).
عن أبي هريرةَ - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - :
(( كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيهِ صَدَقَةٌ ، كُلَّ يَومٍ تَطلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ : تَعْدِلُ بَينَ الاثْنَينِ صَدَقةٌ ، وتُعِينُ الرَّجُلَ في دَابَّتِهِ ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالكَلِمَةُ الطَيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وبكلِّ خَطْوَةٍ تَمشيهَا إِلَى الصَّلاةِ صَدَقَةٌ ، وتُميطُ الأذَى عَنِ الطَّريقِ صَدَقَةٌ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap (perbuatan baik) tulang-tulang persendian manusia adalah sedekah, setiap hari matahari terbit: engkau damaikan antara dua orang, maka itu adalah sedekah, engkau bantu orang lain pada hewan tunggangannya, engkau bantu ia naik keatasnya, atau engkau angkatkan barang-baragnya, maka itu adalah sedekah. Kata-kata yang baik adalah sedekah. Setiap langkah yang engkau langkahkan untuk shalat adalah sedekah. Engkau buang sesuatu yang mengganggu dari jalan, maka itu adalah sedekah”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
عن أَبي موسى - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ،
قَالَ :(( عَلَى كلّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ ))
قَالَ : أرأيتَ إنْ لَمْ يَجِدْ ؟
قَالَ : (( يَعْمَلُ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ ))
قَالَ : أرأيتَ إن لَمْ يَسْتَطِعْ ؟
قَالَ : (( يُعِينُ ذَا الحَاجَةِ المَلْهُوفَ))
قَالَ : أرأيتَ إنْ لَمْ يَسْتَطِعْ ،
قَالَ : (( يَأمُرُ بِالمعْرُوفِ أوِ الخَيْرِ ))
قَالَ : أرَأيْتَ إنْ لَمْ يَفْعَلْ ؟
قَالَ : (( يُمْسِكُ عَنِ الشَّرِّ ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ ))
Dari Abu Musa, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Setiap muslim wajib bersedekah”.
Abu Musa bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia bekerja dengan kedua tangannya, lalu mendatangkan manfaat bagi dirinya, maka berarti ia telah bersedekah”.
“Bagaimana jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia tolong orang lain yang membutuhkan dan dalam kesulitan atau teraniaya”.
“Jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia ajak orang lain berbuat baik”.
“Jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia tahan dirinya untuk tidak melakukan perbuatan jahat kepada orang lain, maka itu sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
وعن أَبي مسعود البدري - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ :
(( إِذَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dari Rasulullah Saw:
“Apabila seseorang memberikan nafkah kepada keluarganya, ia ikhlas hanya karena Allah, maka itu sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
وعن سلمان بن عامر - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( إِذَا أفْطَرَ أحَدُكُمْ ، فَلْيُفْطرْ عَلَى تَمْرٍ ؛ فَإنَّهُ بَرَكةٌ ، فَإنْ لَمْ يَجِدْ تَمْراً ، فالمَاءُ ؛ فَإنَّهُ طَهُورٌ )) ، وَقالَ : (( الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ )) رواه الترمذي ، وَقالَ : (( حديث حسن )) .
Dari Salman bin ‘Amir, dari Rasulullah Saw:
“Apabila salah seorang kamu berbuka, maka berbukalah dengan kurma, karena sesunggunya itu berkah. Jika ia tidak mendapatkan kurma, maka berbukalah dengan air, karena sesungguhnya air itu suci. Sedekah kepada orang miskin itu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat itu bernilai dua; sedekah dan menjalin tali silaturahim”.
(HR. At-Tirmidzi) [Hadits Hasan].
Semoga ada manfaatnya, amin.
Subuh Senin, 21 Sya’ban 1431H / 02 Agustus 2010M.
Diterjemahkan oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Langganan:
Postingan (Atom)