Oleh:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
S1 Al-Azhar, Mesir. S2 Dar Al-Hadith, Maroko.
Anggota Komisi Pengembangan, Badan Amil Zakat
(BAZ) Provinsi Riau. Dosen UIN Suska.
Islam dan
Harta.
Allah Swt
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, janganlah
hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah”. (Qs. Al-Munafiqun [63]: 9).
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ
فِتْنَةٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan”. (Qs. Al-Anfal [8]: 28).
Sekilas
kelihatannya Islam mengajarkan umatnya membenci harta, karena harta hanya akan
menjadi cobaan dan melalaikan
dari Allah Swt. Akan tetapi kita tidak dapat menarik kesimpulan hanya dari satu
atau dua ayat. Karena dalam ayat lain diperintahkan untuk mencari karunia
Allah Swt setelah melaksanakan
ibadah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 10).
Bahkan saat
melaksanakan ibadah sekalipun dibenarkan mencari harta:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا
فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (Qs. Al-Baqarah
[2]: 198). Ayat ini bercerita tentang jamaah haji
yang membawa barang dagangan ketika musim haji.
Dalam kehidupan kaum muslimin generasi awal dapat kita lihat bahwa mereka
tidak meninggalkan usaha mencari harta, oleh sebab itu orang-orang Muhajirin
tetap berdagang dan orang-orang Anshar tetap bertani untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Bahkan dalah sebuah hadits Rasulullah Saw nyatakan:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Seorang pedagang
yang jujur dan amanah bersama para nabi, orang-orang yang benar dan para
syuhada”. (HR. At-Tirmidzi).
Islam tidak hanya menganjurkan
umatnya mencari harta, bahkan harta dijadikan sebagai standar ukuran derajat
seorang hamba di hadapan Allah Swt.
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ
السُّفْلَى
“Tangan di atas
lebih baik daripada tangan di bawah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى
اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
“Seorang mukmin
yang yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”.
(HR. Muslim).
Bahkan sebagian ibadah pilihan
dalam Islam hanya dapat dilakukan jika seorang mukmin memiliki harta, misalnya
ibadah haji yang merupakan puncak rukun Islam membuntuhkan finansial yang
besar, biaya transportasi, akomodasi dan konsumsi, disamping biaya tambahan
lainnya.
Harta di Dalam Harta.
Ajaran tolong menolong merupakan anjuran semua agama, akan
tetapi konsep ada harta orang miskin di dalam harta orang yang kaya, ini hanya
ada dalam agama Islam. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ
(24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (25)
“Dan orang-orang yang dalam hartanya
tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”. (Qs. al-Ma’arij [70]:
24-25).
Ketika orang yang mampu memberi kepada orang yang tidak
mampu, maka ia tidak merasa telah memberi, akan tetapi ia baru saja
mengeluarkan harta orang lain dari harta miliknya. Demikian juga sebaliknya,
orang miskin yang menerima tidak merasa hina, karena ia baru saja menerima
harta miliknya yang dititipkan Allah dalam harta orang lain. Pertanyaan yang
mungkin muncul, mengapa Allah Yang Maha Kuasa tidak memberikan langsung? Mengapa
mesti lewat perantaraan orang lain? Sesungguhnya disanalah letak kebijaksanaan
Allah Swt. Ujian yang diberikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya untuk menguji
keimanan mereka dalam berbagai macam bentuk. Semua ujian itu untuk membentuk
manusia menjadi manusia yang sempurna dalam pandangan Allah Swt. Mata diuji
dengan perintah menundukkan pandangan dan bangun tengah malah melawan kantuk. Kaki
diuji dengan perintah jihad, melangkah ke masjid dan silaturahim. Perut diuji
dengan melaksanakan puasa menahan nafsu makan dan minum. Ada saatnya ujian
datang pada sikap kecintaan terhadap harta benda, seorang mukmin yang
menyerahkan hidupnya hanya kepada Allah mesti menerima keputusan Allah bahwa
dalam harta yang ia miliki ada harta orang lain yang mesti ia berikan. Dalam 40
ekor kambing ada satu ekor kambing milik orang lain. Dalam 653 kg hasil panen
gandum, ada 10 (tadah hujan) atau 5 persen (dengan irigasi) milik orang lain. Dalam
85 gr emas ada 2,5 persen milik orang lain yang mesti dikeluarkan. Ketika memahami
harta sebagai ujian, maka sadarlah seorang mukmin bahwa ia sedang diuji oleh
Allah Swt, apakah ia bersyukur atau tidak, syukur tidak hanya dalam ucapan
lidah akan tetapi dalam bentuk sikap keikhlasan untuk mengeluarkan milik orang
lain yang dititipkan Allah Swt dalam harta benda yang mereka usahakan.
Sanksi Tidak Menunaikan Kewajiban Harta.
Islam tidak hanya mengajarkan Tauhid dan Akhlaq, tapi juga mewajibkan
hukuman. Ketika kewajiban tidak ditunaikan, maka hukuman siap menanti untuk
dijatuhkan. Berkaitan dengan sikap keengganan menunaikan kewajiban harta, Allah
menyebutkan hukuman yang akan diterima kelak di akhirat:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى
بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ
لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
“Dan orang-orang yang menyimpan emas
dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan
emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka,
lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat
dari) apa yang kamu simpan itu”. (Qs. at-Taubah [9]: 34-35).
Ketika seseorang
tidak mengeluarkan kewajiban hartanya, berarti ia telah memakan harta orang
lain yang dititipkan Allah Swt dalam hartanya, maka sesungguhnya ia telah
memakan harta yang haram, meskipun pada lahirnya kelihatan halal karena harta
itu hasil usahanya, tapi haram dalam pandangan Allah Swt. Dampak dari makanan
yang haram itu menghalangi terkabulnya doa yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
ثُمَّ ذَكَرَ
الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ
يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ
حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Kemudian Rasulullah Saw menyebutkan seseorang dalam
perjalanan panjang, rambutnya kusut dan berdebu, ia tengadahkan kedua tangannya
ke langit seraya berucap, “Ya Allah, ya Allah”. Akan tetapi makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram, ia diberi makanan yang haram, apakah
mungkin doanya akan diperkenankan?!”. (HR. Muslim).
Kelak semua
manusia akan dihadapkan ke hadapan Allah Swt untuk mempertanggungjawabkan semua
yang telah ia lakukan, akhir dari pertanggungjawaban itu adalah ditempatkannya
manusia di tempat kenikmatan dan azab. Yang merasakan kenikmatan dan azab itu
bukanlah ruh semata, akan tetapi fisik manusia ikut merasakannya. Tubuh yang
terdiri dari darah dan daging jika ia berasal dari yang haram, maka tidak ada
tempat lain kecuali api neraka, demikian pesan Rasulullah Saw kepada Ka’ab bin ‘Ujrah:
يَا كَعْبُ بْنَ
عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ
أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga
daging yang tumbuh dari yang haram, api neraka lebih utama baginya”. (HR.
Ahmad).
Semoga harta benda yang kita miliki
tidak berubah menjadi azab, penghalang doa dan mengharamkan kita untuk masuk ke
dalam surga tempat keabadian.
بارك الله لكم طول الحياة... و نفعنا بعلومكم... آميـــن
BalasHapus