Selasa, 24 April 2012

Harta dan Kewajibannya.


Oleh:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
S1 Al-Azhar, Mesir. S2 Dar Al-Hadith, Maroko.
Anggota Komisi Pengembangan, Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi Riau. Dosen UIN Suska.

Islam dan Harta.
Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah”. (Qs. Al-Munafiqun [63]: 9).
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan”. (Qs. Al-Anfal [8]: 28).
Sekilas kelihatannya Islam mengajarkan umatnya membenci harta, karena harta hanya akan menjadi cobaan dan melalaikan dari Allah Swt. Akan tetapi kita tidak dapat menarik kesimpulan hanya dari satu atau dua ayat. Karena dalam ayat lain diperintahkan untuk mencari karunia Allah Swt setelah melaksanakan ibadah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 10).
Bahkan saat melaksanakan ibadah sekalipun dibenarkan mencari harta:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.  (Qs. Al-Baqarah [2]: 198). Ayat ini bercerita tentang jamaah haji yang membawa barang dagangan ketika musim haji.
Dalam kehidupan kaum muslimin generasi awal dapat kita lihat bahwa mereka tidak meninggalkan usaha mencari harta, oleh sebab itu orang-orang Muhajirin tetap berdagang dan orang-orang Anshar tetap bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan dalah sebuah hadits Rasulullah Saw nyatakan:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Seorang pedagang yang jujur dan amanah bersama para nabi, orang-orang yang benar dan para syuhada”. (HR. At-Tirmidzi).
                Islam tidak hanya menganjurkan umatnya mencari harta, bahkan harta dijadikan sebagai standar ukuran derajat seorang hamba di hadapan Allah Swt.
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
“Seorang mukmin yang yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”. (HR. Muslim).
                Bahkan sebagian ibadah pilihan dalam Islam hanya dapat dilakukan jika seorang mukmin memiliki harta, misalnya ibadah haji yang merupakan puncak rukun Islam membuntuhkan finansial yang besar, biaya transportasi, akomodasi dan konsumsi, disamping biaya tambahan lainnya.

Harta di Dalam Harta.
Ajaran tolong menolong merupakan anjuran semua agama, akan tetapi konsep ada harta orang miskin di dalam harta orang yang kaya, ini hanya ada dalam agama Islam. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (25)
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”. (Qs. al-Ma’arij [70]: 24-25).
Ketika orang yang mampu memberi kepada orang yang tidak mampu, maka ia tidak merasa telah memberi, akan tetapi ia baru saja mengeluarkan harta orang lain dari harta miliknya. Demikian juga sebaliknya, orang miskin yang menerima tidak merasa hina, karena ia baru saja menerima harta miliknya yang dititipkan Allah dalam harta orang lain. Pertanyaan yang mungkin muncul, mengapa Allah Yang Maha Kuasa tidak memberikan langsung? Mengapa mesti lewat perantaraan orang lain? Sesungguhnya disanalah letak kebijaksanaan Allah Swt. Ujian yang diberikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya untuk menguji keimanan mereka dalam berbagai macam bentuk. Semua ujian itu untuk membentuk manusia menjadi manusia yang sempurna dalam pandangan Allah Swt. Mata diuji dengan perintah menundukkan pandangan dan bangun tengah malah melawan kantuk. Kaki diuji dengan perintah jihad, melangkah ke masjid dan silaturahim. Perut diuji dengan melaksanakan puasa menahan nafsu makan dan minum. Ada saatnya ujian datang pada sikap kecintaan terhadap harta benda, seorang mukmin yang menyerahkan hidupnya hanya kepada Allah mesti menerima keputusan Allah bahwa dalam harta yang ia miliki ada harta orang lain yang mesti ia berikan. Dalam 40 ekor kambing ada satu ekor kambing milik orang lain. Dalam 653 kg hasil panen gandum, ada 10 (tadah hujan) atau 5 persen (dengan irigasi) milik orang lain. Dalam 85 gr emas ada 2,5 persen milik orang lain yang mesti dikeluarkan. Ketika memahami harta sebagai ujian, maka sadarlah seorang mukmin bahwa ia sedang diuji oleh Allah Swt, apakah ia bersyukur atau tidak, syukur tidak hanya dalam ucapan lidah akan tetapi dalam bentuk sikap keikhlasan untuk mengeluarkan milik orang lain yang dititipkan Allah Swt dalam harta benda yang mereka usahakan.

Sanksi Tidak Menunaikan Kewajiban Harta.
Islam tidak hanya mengajarkan Tauhid dan Akhlaq, tapi juga mewajibkan hukuman. Ketika kewajiban tidak ditunaikan, maka hukuman siap menanti untuk dijatuhkan. Berkaitan dengan sikap keengganan menunaikan kewajiban harta, Allah menyebutkan hukuman yang akan diterima kelak di akhirat:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Qs. at-Taubah [9]: 34-35).
                Ketika seseorang tidak mengeluarkan kewajiban hartanya, berarti ia telah memakan harta orang lain yang dititipkan Allah Swt dalam hartanya, maka sesungguhnya ia telah memakan harta yang haram, meskipun pada lahirnya kelihatan halal karena harta itu hasil usahanya, tapi haram dalam pandangan Allah Swt. Dampak dari makanan yang haram itu menghalangi terkabulnya doa yang dipanjatkan kepada Allah Swt.  Dalam sebuah hadits dinyatakan:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Kemudian Rasulullah Saw menyebutkan seseorang dalam perjalanan panjang, rambutnya kusut dan berdebu, ia tengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berucap, “Ya Allah, ya Allah”. Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia diberi makanan yang haram, apakah mungkin doanya akan diperkenankan?!”. (HR. Muslim).
                Kelak semua manusia akan dihadapkan ke hadapan Allah Swt untuk mempertanggungjawabkan semua yang telah ia lakukan, akhir dari pertanggungjawaban itu adalah ditempatkannya manusia di tempat kenikmatan dan azab. Yang merasakan kenikmatan dan azab itu bukanlah ruh semata, akan tetapi fisik manusia ikut merasakannya. Tubuh yang terdiri dari darah dan daging jika ia berasal dari yang haram, maka tidak ada tempat lain kecuali api neraka, demikian pesan Rasulullah Saw kepada Ka’ab bin ‘Ujrah:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari yang haram, api neraka lebih utama baginya”. (HR. Ahmad).
                 Semoga harta benda yang kita miliki tidak berubah menjadi azab, penghalang doa dan mengharamkan kita untuk masuk ke dalam surga tempat keabadian.







1 komentar:

  1. بارك الله لكم طول الحياة... و نفعنا بعلومكم... آميـــن

    BalasHapus