Selasa, 24 Juli 2012

Puasa Ayyam al-Bidh dan 6 Hari Syawwal

Puasa Hari-Hari al-Bidh dan Enam Hari di Bulan Syawwal[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apakah dasar penamaan al-Ayyam al-Bidh? Apakah sebagiannya adalah puasa enam hari di bulan Syawwal sebagaimana yang difahami banyak orang?

Jawaban:
Al-Ayyam al-Bidh ada di setiap bulan Qamariyyah, yaitu ketika bulan ada diawal hingga akhir malam 13, 14 dan 15. Disebut Bidh karena ia memutihkan malam dengan rembulan dan siang dengan matahari. Ada juga pendapat yang mengatakan karena Allah Swt menerima taubat nabi Adam as pada hari-hari itu dan memutihkan lembaran amalnya. Az-Zarqani ‘ala al-Mawahib, juz. 8, hal. 133.
                Dalam al-Hawi li al-Fatawa karya Imam as-Suyuthi disebutkan, “Ada yang mengatakan bahwa ketika nabi Adam as diturunkan dari surga, kulitnya menghitam. Maka Allah Swt memerintahkan agar ia melaksanakan puasa al-Ayyam al-Bidh pada bulan Qamariyyah. Ketika ia melaksanakan puasa pada hari pertama, sepertiga kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa pada hari kedua, sepertiga kedua kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa pada hari ketiga, seluruh kulit tubuhnya memutih. Pendapat ini tidak benar. Disebutkna dalam hadits yang disebutkan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Amaly dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq dari hadits Ibnu Mas’ud, hadits Marfu’, hadits Mauquf dari jalur riwayat lain, disebutkan Ibnu al-Jauzi dalam al-Maudhu’at dari jalur riwayat Marfu’, ia berkata, “Hadits Maudhu’ (palsu), dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang tidak dikenal”.
                Terlepas dari apakah nabi Adam as melaksanakannya atau pun tidak, sesungguhnya Islam mensyariatkan puasa ini dalam menjadikannya sebagai amalan anjuran. Dalam az-Arqani ‘ala al-Mawahib dinyatakan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Saw tidak pernah berbuka (tidak berpuasa) pada hari-hari Bidh (13, 14 dan 15), baik ketika tidak musafir maupun ketika musafir”. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i. Dari Hafshah Ummul Mu’minin, “Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah Saw; puasa ‘Asyura’, sembilan hari di bulan Dzulhijjah, al-Ayyam al-Bidh (13, 14 dan 15) dan dua rakaat Fajar”. (HR. Ahmad). Diriwayatkan dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah bahwa ia bertanya kepada Aisyah, “Apakah Rasulullah Saw melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan?”. Aisyah menjawab, “Ya”. Saya katakan kepadanya, “Pada hari apa saja?”. Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperdulikan hari apa saja setiap bulan ia laksanakan puasa”. (HR. Muslim).
Kemudian az-Zarqani berkata, “Hikmah dalam puasa Bidh, bahwa ia pertengahan bulan, pertengahan sesuatu adalah yang paling seimbang. Dan karena biasanya gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi pada tanggal-tanggal tersebut. Terdapat perintah agar meningkatkan ibadah jika itu terjadi. Jika gerhana matahari terjadi bertepatan dengan hari-hari puasa Bidh, maka seseorang dalam keadaan siap untuk menggabungkan beberapa jenis ibadah seperti puasa, shalat dan sedekah. Berbeda dengan orang yang tidak terbiasa melakukannya, ia tidak siap untuk melaksanakan puasa pada hari itu. Ini berkaitan dengan puasa pada hari-hari Bidh setiap bulan.
Adapun tentang puasa enam hari di bulan Syawal, penyebutannya sebagai Bidh adalah tidak benar. Terlepas dari penamaannya, puasa enam hari di bulan Syawal itu dianjurkan, tidak wajib. Terdapat hadits tentang itu:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian ia iringi dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti puasa sepanjang tahun”. (HR. Muslim). Keutamaannya disebutkan dalam hadits riwayat ath-Thabrani:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dan ia mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal, ia keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Makna puasa ad-Dahr adalah puasa sepanjang tahun. Penjelasan ini disebutkan dalam hadits dalam beberapa riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Maknanya bahwa satu kebaikan itu dibalas sepuluh kebaikan yang sama dengannya. Satu bulan Ramadhan dibalas dengan sepuluh bulan. Enam hari di bulan Syawwal dibalas dengan enam puluh hari, artinya dua bulan. Dengan demikian lengkaplah 12 bulan. Keutamaan ini bagi mereka yang melaksanakannya di bulan Syawwal, apakah dilaksanakan pada awal, pertengahan atau pun di akhir bulan Syawwal. Apakah dilaksanakan berturut-turut atau pun terpisah-pisah. Meskipun afdhal dilaksanakan di awal bulan dan dilaksanakan berturut-turut. Keutamaan ini hilang bersama berakhirnya bulan Syawwal.
Banyak kaum muslimah ingin melaksanakannya, apakah mereka yang memiliki kewajiban qadha’ ramadhan atau pun tidak. Puasa Syawwal ini dianjurkan, sebagaimana yang ditetapkan para ulama. Kami berharap agar para muslimah tidak meyakini bahwa puasa Syawwal ini wajib. Puasa Syawwal ini sunnat, tidak ada hukuman jika ditinggalkan. Demikianlah, bagi mereka yang wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal ini dengan niat puasa Qadha’. Cukup dengan puasa Qadha’, maka ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawal, jika ia meniatkannya, amal itu dinilai dari niatnya. Jika puasa Qadha’ dilaksanakan tersendiri dan puasa enam hari di bulan Syawwal dilaksanakan tersendiri, maka itu afdhal. Akan tetapi para ulama Mazhab Syafi’i berpendapat, “Balasan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal dapat diperoleh dengan melaksanakan puasa Qadha’, meskipun tidak diniatkan, hanya saja pahalanya lebih sedikit dibandingkan dengan niat. Disebutkan dalam Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala at-Tahrir karya Syekh Zakariya al-Anshari, juz. I, hal. 427, teksnya: “Jika seseorang melaksanakan puasa Qadha’ di bulan Syawwal, apakah Qadha’ puasa Ramadhan, atau meng-qadha’ puasa lain, atau nazar, atau puasa sunnat lainnya. Ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal. Karena intinya adalah adanya puasa enam hari di bulan Syawwal, meskipun ia tidak memberitahukannya, atau melaksanakannya untuk orang lain dari yang telah berlalu -artinya puasa nazar atau puasa sunnat lain- akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala yang sempurna seperti yang diinginkan melainkan dengan niat puasa khusus enam hari di bulan Syawwal. Sama halnya dengan seseorang yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan, atau ia laksanakan di bulan Syawwal, karena tidak dapat dikatakan bahwa ia telah melaksanakan puasa Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal. Ini sama seperti pendapat tentang shalat Tahyat al-Masjid, yaitu shalat dua rakaat bagi orang yang masuk masjid. Para ulama berpendapat, pahala shalat Tahyat al-Masjid diperoleh dengan shalat fardhu atau shalat sunnat, meskipun tidak diniatkan. Karena tujuannya adalah adanya shalat sebelum duduk. Shalat sebelum duduk tersebut telah terwujud, maka tuntutan melaksanakan shalat Tahyat al-Masjid telah gugur, pahalanya diperoleh meskipun tidak diniatkan, demikian menurut pendapat yang dijadikan pedoman sebagaimana yang dinyatakan pengarang al-Bahjah. Pahalanya tetap diperoleh apakah dengan fardhu atau pun dengan sunnat, yang penting tidak menafikan niatnya, tujuannya tercapai apakah diniatkan atau pun tidak diniatkan.
Berdasarkan pendapat diatas, bagi seseorang yang merasa berat untuk melaksanakan puasa qadha’ Ramadhan dan sangat ingin melaksanakan puasa qadha’ tersebut pada bulan Syawwal, ia juga ingin mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia berniat melaksanakan puasa qadha’ dan puasa enam hari di bulan Syawwal, atau berniat puasa qadha’ saja tanpa niat puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasa sunnat sudah termasuk ke dalam puasa wajib. Ini kemudahan dan keringanan, tidak boleh terikat dengan mazhab tertentu, juga tidak boleh menyatakan mazhab lain batil.
Hikmah berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa yang lama di bulan Ramadhan -wallahu a’lam- adalah agar orang yang berpuasa tidak berpindah secara mendadak dari sikap menahan diri dari segala sesuatu yang bersifat fisik dan non-fisik kepada kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua yang lezat dan baik kapan saja ia mau, karena peralihan secara mendadak menyebabkan efek negatif bagi fisik dan psikis, itu sudah menjadi suatu ketetapan dalam kehidupan.



[1] Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 261  [Maktabah Syamilah].

1 komentar:

  1. izin berkunjung dari tim Doaharian, terima kasih tulisannya ustadz.

    salam hormat.

    BalasHapus