Bolehkan Wanita Melamar Pria?
Mungkin bahasanya bukan “wanita melamar pria”. Karena dalam Islam, wanita itu mempunyai wali, maka ketika ia akan menikah, walinya lah yang menerima pinangan.
Jadi redaksinya, bolehkah wali menawarkan wanita yang ia walikan kepada seseorang yang shaleh?
Untuk menjawab boleh atau tidak boleh, tentulah kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 27 disebutkan:
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِين
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik”.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa nabi Syu’aib menawarkan anak gadisnya kepada Nabi Musa.
Imam al-Qurthubi mengomentari kisah ini:
فيه عرض الولي بنته على الرجل وهذه سنة قائمة عرض صالح مدين ابنته على صالح بني اسرائيل وعرض عمر ا بن الخطاب ابنته حفصة على أبي بكر وعثمان رضي الله عنهم أجمعين وعرضت الموهوبة نفسها على النبي - صلى الله عليه وسلم - فمن الحسن عرض الرجل وليته والمرأة نفسها على الرجل الصالح اقتداء بالسلف الصالح
Dalam kisah ini terkandung makna bahwa wali boleh menawarkan perempuan yang ia walikan kepada seorang laki-laki. Ini adalah tradisi yang terus dilaksanakan; seorang yang shaleh dari suku Madyan menawarkan putrinya kepada orang yang shaleh dari Bani Israil. Umar menawarkan Hafshah putrinya kepada Abu Bakar dan Utsman, dan wanita itu sendiri menawarkan dirinya kepada Rasulullah Saw. Merupakan perbuatan baik seorang wali menawarkan perempuan yang ia walikan atau perempuan itu sendiri menawarkan dirinya kepada laki-laki yang shaleh mengikuti ash-Shalafu ash-Shaleh (Tafsir al-Qurthubi, juz.13, halaman: 271 Maktabah Syamilah).
Bahkan Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya menulis satu Bab: Seseorang menawarkan puterinya atau saudari perempuannya kepada orang yang baik.
Kemudian dalam bab ini Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما حدَّث :( أن عمر بن الخطاب حين تأيمت حفصة بنت عمر من خنيس بن حذافة السهمي ، وكان من أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فتوفي في المدينة ، فقال عمر بن الخطاب : أتيت عثمان بن عفان فعرضت عليه حفصة فقال : سأنظر في أمري ، فلبثت ليالي ثم لقيني فقال : قد بدا لي أن لا أتزوج يومي هذا ، قال عمر : فلقيت أبا بكر الصديق فقلت : إن شئت زوجتك
حفصة بنت عمر ، فصمت أبو بكر فلم يرجع إلي شيئاً ، وكنت أوجد عليه مني على عثمان . فلبثت ليالي ثم خطبها رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فأنكحتها إياه ، فلقيني أبو بكر فقال : لقد وجدت عليَّ حين عرضت عليّ حفصة فلم أرجع إليك شيئاً . قال عمر : قلت : نعم ، قال : أبوبكر : فإنه لم يمنعني أن أرجع إليك فيما عرضت عليّ إلا أنني كنت علمت أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قد ذكرها ، فلم أكن لأفشي سر رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ، ولو تركها رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قبلتها ) .
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Umar bin al-Khaththab, ketika Hafshah menjadi janda karena Khunais bin Hudzafah as-Sahmi meninggal, ia salah seorang shahabat yang meninggal di Madinah. Maka Umar berkata, “Aku datang kepada Utsman, aku tawarkan Hafshah kepadanya, ia menjawab, “Aku akan memperhatikan keadaanku”. Berlalu beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, “Telah terlihat jelas bagiku bahwa aku tidak menikah saat ini”. Maka aku menemui Abu Bakar, aku katakan, “Jika engkau mau, aku nikahkan engkau dengan puteriku Hafshah”. Abu Bakar diam, ia tidak menjawab apa-apa. Aku lebih berharap kepadanya daripada Utsman.
Berlalu beberapa malam. Kemudian Rasulullah Saw meminangnya, maka aku pun menikahkannya dengan Rasulullah Saw. Lalu Abu Bakar datang seraya berkata, “Ketika engkau menawarkannya kepadaku engkau berharap kepadaku, akan tetapi aku tidak membalas”. Umar menjawab, “Ya”. Abu Bakar berkata, “Tidak ada yang mencegahku untuk kembali kepadamu (memberikan jawaban), hanya saja aku mengetahui bahwa Rasulullah Saw pernah menyebut tentang Hafshah. Aku tidak mungkin membukakan rahasia Rasulullah Saw. Andai Rasulullah Saw meninggalkannya, pastilah aku menerima Hafshah”. (HR. Al-Bukhari).
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengomentari hadits ini:
وفيه - أي الحديث - عرض الانسان بنته وغيرها من مولياته على من يعتقد خيره وصلاحه لما فيه من النفع العائد على المعروضة عليه وأنه لا استحياء في ذلك
Dalam hadits ini terkandung makna: seseorang boleh menawarkan puterinya atau orang lain yang ia walikan kepada orang yang ia yakini kebaikannya karena mengandung manfaat yang dapat diperoleh oleh orang yang ditawarkan tersebut dan tidak perlu malu dalam masalah ini. (Kitab Fath al-Bari, juz. 11, halaman: 82).
Imam al-Bukhari juga memuat satu bab dalam kitab Shahihnya:
باب عرض المرأة نفسها على الرجل الصالح
Bab: seorang perempuan menawarkan dirinya kepada orang yang shaleh.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengomentari hadits-hadits yang ada dalam bab ini:
وفي الحديثين جواز عرض المرأة نفسها على الرجل وتعريفه رغبتها فيه وأن لا غضاضة عليها في ذلك وأن الذي تعرض المرأة نفسها عليه بالاختيار لكن لا ينبغي أن يصرح لها بالرد بل يكفي السكوت
Dalam dua hadits ini mengandung makna: boleh bagi perempuan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang ia kenal dan ia inginkan, tidak perlu merasa sungkan baginya dalam masalah ini. Dan orang yang ditawari tersebut memiliki pilihan (untuk menerima atau menolak), akan tetapi tidak selayaknya ia tolak dengan jelas, cukup dengan diam. (Kitab Fath al-Bari, juz. 11, halaman: 80).
Dari beberapa dalil diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa menawarkan saudari, anak perempuan atau orang yang kita walikan kepada orang yang shaleh adalah sunnah. Terkadang seorang wali lebih rela membiarkan anak gadisnya dibawa pergi malam minggu oleh orang-orang yang tidak jelas, daripada menawarkan kepada orang yang shaleh. Itulah salah satu sebab banyaknya kemungkaran saat ini. Akan tetapi dalam hal ini perlu juga diperhatikan sifat amanah, agar jangan sampai menjadi bahan ejekan dan gunjingan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Selasa, 29 November 2011
Kamis, 24 November 2011
TUNTUNAN IBADAH BULAN MUHARRAM
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ « مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ ».
Rasulullah Saw melaksanakan puasa 'Asyura (tgl 10 Muharram). ketika beliau hijrah di Madinah pun beliau tetap melaksanakannya dan beliau memerintahkan melaksanakannya. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, beliau berkata, "Siapa yang ingin melaksanakan puasa 'Asyura, laksanakanlah. siapa yang tidak ingin, maka ia tidak melaksanakannya". Hadis riwayat Muslim dari Aisyah.
َنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Rasulullah Saw sampai di kota Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi melaksanakan puasa pada hari 'Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah bertanya kepada mereka, "Hari apakah ini kamu melaksanakan puasa pada hari ini?". mereka menjawab, "Ini hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari in, Ia menenggelamkan Fir'aun dari kaumnya. maka Musa melaksanakn puasa bersyukur kepada Allah, maka kami melaksanakan puasa".
Rasulullah Saw berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kamu".
Maka Rasulullah Saw melaksanakan puasa dan memerintahkannya. Hadits riwayat muslim dari Ibnu Abbas.
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajjud). hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ ».
Rasulullah Saw ditanya tentang puasa 'Asyura, beliau menjawab, “Mengampuni dosa setahun yang lalu”. Hadits riwayat Muslim.
وروى أحمد "خالفوا اليهود صوموا يوما قبله ويوما بعده " .
“Laksanakanlah puasa 'Asyura, akan tetapi berbeda dengan yang dilakukan orang-orang Yahudi. berpuasalah satu hari sebelumnya dan sehari setelahnya". hadits riwayat Imam Ahmad.
المرتبة الأولى صوم ثلاثة أيام : التاسع والعاشر والحادى عشر .
والمرتبة الثانية صوم التاسع والعاشر، والمرتبة الثالثة صوم العاشر وحده
Tingkatan puasa 'Asyura terbagi tiga:
Orang yang melaksanakan tanggal 9, 10 dan 11.
Orang yang melaksanakan tanggal 9 dan 10.
Orang yang melaksanakan tanggal 10 saja.
(Pendapat ulama).
Rasulullah Saw melaksanakan puasa 'Asyura (tgl 10 Muharram). ketika beliau hijrah di Madinah pun beliau tetap melaksanakannya dan beliau memerintahkan melaksanakannya. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, beliau berkata, "Siapa yang ingin melaksanakan puasa 'Asyura, laksanakanlah. siapa yang tidak ingin, maka ia tidak melaksanakannya". Hadis riwayat Muslim dari Aisyah.
َنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Rasulullah Saw sampai di kota Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi melaksanakan puasa pada hari 'Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah bertanya kepada mereka, "Hari apakah ini kamu melaksanakan puasa pada hari ini?". mereka menjawab, "Ini hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari in, Ia menenggelamkan Fir'aun dari kaumnya. maka Musa melaksanakn puasa bersyukur kepada Allah, maka kami melaksanakan puasa".
Rasulullah Saw berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kamu".
Maka Rasulullah Saw melaksanakan puasa dan memerintahkannya. Hadits riwayat muslim dari Ibnu Abbas.
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajjud). hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ ».
Rasulullah Saw ditanya tentang puasa 'Asyura, beliau menjawab, “Mengampuni dosa setahun yang lalu”. Hadits riwayat Muslim.
وروى أحمد "خالفوا اليهود صوموا يوما قبله ويوما بعده " .
“Laksanakanlah puasa 'Asyura, akan tetapi berbeda dengan yang dilakukan orang-orang Yahudi. berpuasalah satu hari sebelumnya dan sehari setelahnya". hadits riwayat Imam Ahmad.
المرتبة الأولى صوم ثلاثة أيام : التاسع والعاشر والحادى عشر .
والمرتبة الثانية صوم التاسع والعاشر، والمرتبة الثالثة صوم العاشر وحده
Tingkatan puasa 'Asyura terbagi tiga:
Orang yang melaksanakan tanggal 9, 10 dan 11.
Orang yang melaksanakan tanggal 9 dan 10.
Orang yang melaksanakan tanggal 10 saja.
(Pendapat ulama).
TUNTUNAN IBADAH BULAN MUHARRAM
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ « مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ ».
Rasulullah Saw melaksanakan puasa 'Asyura (tgl 10 Muharram). ketika beliau hijrah di Madinah pun beliau tetap melaksanakannya dan beliau memerintahkan melaksanakannya. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, beliau berkata, "Siapa yang ingin melaksanakan puasa 'Asyura, laksanakanlah. siapa yang tidak ingin, maka ia tidak melaksanakannya". Hadis riwayat Muslim dari Aisyah.
َنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Rasulullah Saw sampai di kota Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi melaksanakan puasa pada hari 'Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah bertanya kepada mereka, "Hari apakah ini kamu melaksanakan puasa pada hari ini?". mereka menjawab, "Ini hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari in, Ia menenggelamkan Fir'aun dari kaumnya. maka Musa melaksanakn puasa bersyukur kepada Allah, maka kami melaksanakan puasa".
Rasulullah Saw berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kamu".
Maka Rasulullah Saw melaksanakan puasa dan memerintahkannya. Hadits riwayat muslim dari Ibnu Abbas.
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajjud). hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ ».
Rasulullah Saw ditanya tentang puasa 'Asyura, beliau menjawab, “Mengampuni dosa setahun yang lalu”. Hadits riwayat Muslim.
Rasulullah Saw melaksanakan puasa 'Asyura (tgl 10 Muharram). ketika beliau hijrah di Madinah pun beliau tetap melaksanakannya dan beliau memerintahkan melaksanakannya. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, beliau berkata, "Siapa yang ingin melaksanakan puasa 'Asyura, laksanakanlah. siapa yang tidak ingin, maka ia tidak melaksanakannya". Hadis riwayat Muslim dari Aisyah.
َنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Rasulullah Saw sampai di kota Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi melaksanakan puasa pada hari 'Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah bertanya kepada mereka, "Hari apakah ini kamu melaksanakan puasa pada hari ini?". mereka menjawab, "Ini hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari in, Ia menenggelamkan Fir'aun dari kaumnya. maka Musa melaksanakn puasa bersyukur kepada Allah, maka kami melaksanakan puasa".
Rasulullah Saw berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kamu".
Maka Rasulullah Saw melaksanakan puasa dan memerintahkannya. Hadits riwayat muslim dari Ibnu Abbas.
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajjud). hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ ».
Rasulullah Saw ditanya tentang puasa 'Asyura, beliau menjawab, “Mengampuni dosa setahun yang lalu”. Hadits riwayat Muslim.
Jumat, 04 November 2011
Kajian Hadits Masjid Akramunnas, Sabtu 9 Dzulhijjah 1432H / 5 November 2011M.
Kajian Hadits Masjid Akramunnas, Sabtu 9 Dzulhijjah 1432H / 5 November 2011M.
عن أبي هُرَيْرَة - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ » .
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang melaksanakan ibadah haji karena Allah, tidak melakukan rafats dan tidak melakukan fasiq, maka ia kembali seperti hari ibunya melahirkannya”. (HR. al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Makna Rafats menurut Imam al-Azhari adalah semua yang diinginkan laki-laki terhadap perempuan. Dengan kata lain, ucapan dan perbuatan yang berbau seks.
Sedangkan makna Fasiq adalah semua perbuatan maksiat.
“Kembali dari melaksanakan ibadah haji seperti hari ia dilahirkan ibunya”, maknanya diampuni semua dosa-dosanya layaknya bayi yang baru saja keluar dari rahim ibunya.
Itulah keutamaan yang diberikan Allah Swt kepada orang yang melaksanakan ibadah haji hanya karena Allah Swt.
Inti dari ibadah haji adalah Wuquf di Arafah, sebagaimana yang disebutkan Rasulullah Saw:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Ibadah haji itu adalah (Wuquf) di Arafah”. (HR. at-Tirmidzi).
Dalam Wuquf itu manusia dilepaskan dari semua atributnya, ia berada dalam miniatur Yaum al-Mahsyar (Hari Berbangkit). Manusia dituntut merasakan apa yang akan terjadi di akhirat kelak. Jika selama ini informasi tentang itu hanya ia dapatkan dari telinga dan mata. Maka ketika di Arafah seluruh potensi dalam dirinya merasakan perasaan tersebut. Disanalah manusia diingatkan akan kelemahan dirinya di tengah kuasa Allah Yang Maha Agung.
عن أبي هُرَيْرَة - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ » .
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang melaksanakan ibadah haji karena Allah, tidak melakukan rafats dan tidak melakukan fasiq, maka ia kembali seperti hari ibunya melahirkannya”. (HR. al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Makna Rafats menurut Imam al-Azhari adalah semua yang diinginkan laki-laki terhadap perempuan. Dengan kata lain, ucapan dan perbuatan yang berbau seks.
Sedangkan makna Fasiq adalah semua perbuatan maksiat.
“Kembali dari melaksanakan ibadah haji seperti hari ia dilahirkan ibunya”, maknanya diampuni semua dosa-dosanya layaknya bayi yang baru saja keluar dari rahim ibunya.
Itulah keutamaan yang diberikan Allah Swt kepada orang yang melaksanakan ibadah haji hanya karena Allah Swt.
Inti dari ibadah haji adalah Wuquf di Arafah, sebagaimana yang disebutkan Rasulullah Saw:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Ibadah haji itu adalah (Wuquf) di Arafah”. (HR. at-Tirmidzi).
Dalam Wuquf itu manusia dilepaskan dari semua atributnya, ia berada dalam miniatur Yaum al-Mahsyar (Hari Berbangkit). Manusia dituntut merasakan apa yang akan terjadi di akhirat kelak. Jika selama ini informasi tentang itu hanya ia dapatkan dari telinga dan mata. Maka ketika di Arafah seluruh potensi dalam dirinya merasakan perasaan tersebut. Disanalah manusia diingatkan akan kelemahan dirinya di tengah kuasa Allah Yang Maha Agung.
Kamis, 03 November 2011
PUASA ‘ARAFAH HARI SABTU.
Apa hukum melaksanakan puasa ‘Arafah hari Sabtu? Sedangkan berpuasa hari sabtu itu dilarang.
Jawaban:
Larangan berpuasa hari sabtu berdasarkan hadits:
لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض الله عليكم فإن لم يجد أحدكم إلا لحاء عنبة أو عود شجرة فليمضغه
“Janganlah kamu melaksanakan puasa hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan bagi kamu. Jika salah seorang kamu tidak mendapatkan (makanan) melainkan kulit buah anggur atau batang kayu, maka hendaklah ia mengunyahnya”. Hadits ini disebutkan dalam Musnad Ahmad, dan kitab-kitab Sunan, kecuali Sunan an-Nasa’i. Ulama berbeda pendapat tentang hadits ini antara dha’if, hasan dan shahih.
Komentar Ibnu al-Qayyim:
قال العلامة ابن القيم بعد أن ذكر الحديث [ فقال مالك رحمه الله هذا كذب يريد حديث عبد الله بن بسر ذكره عنه أبو داود، قال الترمذي: هو حديث حسن، وقال أبو داود: هذا الحديث منسوخ وقال النسائي هو حديث مضطرب وقال جماعة من أهل العلم لا تعارض بينه وبين حديث أم سلمة فإن النهي عن صومه إنما هو إفراده وعلى ذلك ترجم أبو داود فقال باب النهي أن يخص يوم السبت بالصوم وحديث صيامه إنما هو مع يوم الأحد قالوا ونظير هذا أنه نهى عن إفراد يوم الجمعة بالصوم إلا أن يصوم يوماً قبله أو يوماً بعده ] زاد المعاد في هدي خير العباد 2/79-80.
Oleh sebab itu tidak perlu ragu melaksanakan puasa hari ‘Arafah yang insya Allah jatuh pada hari Sabtu 5 November 2011.
Kutipan fatwa Lembaga Fatwa Arab Saudi:
يجوز صيام يوم عرفة مستقلًا سواء وافق يوم السبت أو غيره من أيام الأسبوع لأنه لا فرق بينها؛ لأن صوم يوم عرفة سنة مستقلة وحديث النهي عن يوم السبت ضعيف لاضطرابه ومخالفته للأحاديث الصحيحة.
Boleh melaksanakan puasa ‘Arafah secara tersendiri, apakah jatuh pada hari Sabtu atau hari lain, karena tidak ada perbedaan diantara hari-hari tersebut. Karena puasa pada hari ‘Arafah adalah sunnat yang berdiri sendiri, sedangkan hadits larangan puasa pada hari Sabtu adalah hadits dha’if karena Idhthirab dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih.
(Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Irsyad, juz. 12, hal. 483).
Jawaban:
Larangan berpuasa hari sabtu berdasarkan hadits:
لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض الله عليكم فإن لم يجد أحدكم إلا لحاء عنبة أو عود شجرة فليمضغه
“Janganlah kamu melaksanakan puasa hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan bagi kamu. Jika salah seorang kamu tidak mendapatkan (makanan) melainkan kulit buah anggur atau batang kayu, maka hendaklah ia mengunyahnya”. Hadits ini disebutkan dalam Musnad Ahmad, dan kitab-kitab Sunan, kecuali Sunan an-Nasa’i. Ulama berbeda pendapat tentang hadits ini antara dha’if, hasan dan shahih.
Komentar Ibnu al-Qayyim:
قال العلامة ابن القيم بعد أن ذكر الحديث [ فقال مالك رحمه الله هذا كذب يريد حديث عبد الله بن بسر ذكره عنه أبو داود، قال الترمذي: هو حديث حسن، وقال أبو داود: هذا الحديث منسوخ وقال النسائي هو حديث مضطرب وقال جماعة من أهل العلم لا تعارض بينه وبين حديث أم سلمة فإن النهي عن صومه إنما هو إفراده وعلى ذلك ترجم أبو داود فقال باب النهي أن يخص يوم السبت بالصوم وحديث صيامه إنما هو مع يوم الأحد قالوا ونظير هذا أنه نهى عن إفراد يوم الجمعة بالصوم إلا أن يصوم يوماً قبله أو يوماً بعده ] زاد المعاد في هدي خير العباد 2/79-80.
Oleh sebab itu tidak perlu ragu melaksanakan puasa hari ‘Arafah yang insya Allah jatuh pada hari Sabtu 5 November 2011.
Kutipan fatwa Lembaga Fatwa Arab Saudi:
يجوز صيام يوم عرفة مستقلًا سواء وافق يوم السبت أو غيره من أيام الأسبوع لأنه لا فرق بينها؛ لأن صوم يوم عرفة سنة مستقلة وحديث النهي عن يوم السبت ضعيف لاضطرابه ومخالفته للأحاديث الصحيحة.
Boleh melaksanakan puasa ‘Arafah secara tersendiri, apakah jatuh pada hari Sabtu atau hari lain, karena tidak ada perbedaan diantara hari-hari tersebut. Karena puasa pada hari ‘Arafah adalah sunnat yang berdiri sendiri, sedangkan hadits larangan puasa pada hari Sabtu adalah hadits dha’if karena Idhthirab dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih.
(Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Irsyad, juz. 12, hal. 483).
Minggu, 14 Agustus 2011
Silaturahim
Pertanyaan:
apakah arti silaturahim? apa hukum orang yang memutuskan silaturahim?
Jawaban:
Makna Silaturahim.
Silaturahim terdiri dari dua kata, kata shilatu dan kata rahim. Bila diterjemahkan secara bahasa kedua kata ini membingungkan. Shilatu artinya menghubungkan, mengaitkan dan menyatukan. Sedangkan rahim adalah kantong tempat janin di dalam perut perempuan. Jadi bila kedua kata ini digabungkan, berarti mengandung makna menyatukan rahim.
Apa sebenarnya makna silaturahim? Terlepas dari status sosial, jabatan, kedudukan, harta kekayaan, ras dan suku, sebenarnya kita dulu berasal dari satu rahim, yaitu rahim Hawa. Kemudian kita terpisah di rahim-rahim ibu kita. Lalu kita terlahir dari rahim-rahim yang berbeda. Kemudian kita diuji untuk menyatukan dan mengeratkan ikatan rahim itu kembali, layaknya sebelum berpisah dulu. Akan tetapi menyatukan silaturahim ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penuh usaha dan perjuangan. Terkadang ego, status sosial dan kepentingan menjadi penghalang untuk mempererat silaturahim.
Perintah Bersilaturahim.
Dalam kitab Sunan Ibni Majah dinyatakan, Rasulullah Saw bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah tali silaturahim, laksanakanlah shalat di waktu malam ketika orang lain tidur, maka kamu akan masuk surga dengan selamat”. (HR. Ibnu Majah). Hadits ini dinyatakan Rasulullah Saw ketika beliau baru saja sampai di kota Madinah, betapa menjalin silaturahim termasuk pesan pertama yang disampaikan Rasulullah Saw disamping pesan berbagi kepada orang lain dan pesan melaksanakan Qiyamullail mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Balasan Bagi Orang Yang Menjalin Silaturahim.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahim”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Betapa silaturahim dapat melapangkan rezeki dan memperpanjang umur, padahal rezeki dan umur sudah ditetapkan Allah Swt, maka menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, yang ditambahkan Allah dengan silaturahim adalah keberkahan umur dan keberkahan rezeki, itulah yang selalu kita mohonkan kepada Allah Swt.
Bersilaturahim Berarti Menjalin Hubungan Dengan Allah Swt.
Dalam sebuah hadits Qudsi dinyatakan:
قَالَ اللَّهُ أَنَا الرَّحْمَنُ وَهِىَ الرَّحِمُ شَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِى مَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
Allah Swt berfirman, “Aku adalah ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dan dia adalah rahim. Namanya Aku ambil dari nama-Ku. Siapa yang menghubungkan silaturahim, maka Aku jalin hubungan dengan dia dan siapa yang memutuskan silaturahim, maka Aku putuskan hubungan dengan dia”. (HR. At-Tirmidzi).
Betapa hubungan dengan Allah Swt dikaitkan dengan menjalin silaturahim. Banyak sekali orang yang merasa sedang menjalin hubungan dengan Allah dengan prestasi ibadahnya, padahal Allah telah memutuskan hubungan dengannya hanya karena ia telah memutuskan silaturahim.
Ancaman Bagi Orang Yang Memutuskan Silaturahim.
Disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Rasulullah Saw bersbda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”. (HR. Muttafaq ‘Alaih). Tidak ada ancaman yang lebih berat daripada ini. Oleh sebab itu, maka mari kita buka hati untuk memaafkan orang lain, di waktu yang sama kita ulurkan tangan untuk memohon maaf kepada orang lain, karena dengan itu sesungguhnya kita sedang menjalin hubungan dengan Allah Swt dan mendapatkan ampunan Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Dua orang muslim bertemu, lalu bersalaman, maka mereka berdua diampuni, sebelum mereka berpisah”. (HR. At-Tirmidzi).
Andai pertikaian tak terelakkan, terjadi konflik dan permusuhan, maka orang pertama yang memulai ucapan salam, dialah orang terbaik menurut hadits Rasulullah Saw:
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِى يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
“Tidak halal bagi seseorang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka berdua bertemu, ini menolak ini dan ini menolak ini. Yang paling baik diantara mereka berdua adalah orang yang memulai salam”. (HR. Al-Bukhari).
Semoga Allah Swt memberikan kita hidayah untuk mampu melawan keegoan dan memulai salam, amin.
apakah arti silaturahim? apa hukum orang yang memutuskan silaturahim?
Jawaban:
Makna Silaturahim.
Silaturahim terdiri dari dua kata, kata shilatu dan kata rahim. Bila diterjemahkan secara bahasa kedua kata ini membingungkan. Shilatu artinya menghubungkan, mengaitkan dan menyatukan. Sedangkan rahim adalah kantong tempat janin di dalam perut perempuan. Jadi bila kedua kata ini digabungkan, berarti mengandung makna menyatukan rahim.
Apa sebenarnya makna silaturahim? Terlepas dari status sosial, jabatan, kedudukan, harta kekayaan, ras dan suku, sebenarnya kita dulu berasal dari satu rahim, yaitu rahim Hawa. Kemudian kita terpisah di rahim-rahim ibu kita. Lalu kita terlahir dari rahim-rahim yang berbeda. Kemudian kita diuji untuk menyatukan dan mengeratkan ikatan rahim itu kembali, layaknya sebelum berpisah dulu. Akan tetapi menyatukan silaturahim ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penuh usaha dan perjuangan. Terkadang ego, status sosial dan kepentingan menjadi penghalang untuk mempererat silaturahim.
Perintah Bersilaturahim.
Dalam kitab Sunan Ibni Majah dinyatakan, Rasulullah Saw bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah tali silaturahim, laksanakanlah shalat di waktu malam ketika orang lain tidur, maka kamu akan masuk surga dengan selamat”. (HR. Ibnu Majah). Hadits ini dinyatakan Rasulullah Saw ketika beliau baru saja sampai di kota Madinah, betapa menjalin silaturahim termasuk pesan pertama yang disampaikan Rasulullah Saw disamping pesan berbagi kepada orang lain dan pesan melaksanakan Qiyamullail mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Balasan Bagi Orang Yang Menjalin Silaturahim.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahim”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Betapa silaturahim dapat melapangkan rezeki dan memperpanjang umur, padahal rezeki dan umur sudah ditetapkan Allah Swt, maka menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, yang ditambahkan Allah dengan silaturahim adalah keberkahan umur dan keberkahan rezeki, itulah yang selalu kita mohonkan kepada Allah Swt.
Bersilaturahim Berarti Menjalin Hubungan Dengan Allah Swt.
Dalam sebuah hadits Qudsi dinyatakan:
قَالَ اللَّهُ أَنَا الرَّحْمَنُ وَهِىَ الرَّحِمُ شَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِى مَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
Allah Swt berfirman, “Aku adalah ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dan dia adalah rahim. Namanya Aku ambil dari nama-Ku. Siapa yang menghubungkan silaturahim, maka Aku jalin hubungan dengan dia dan siapa yang memutuskan silaturahim, maka Aku putuskan hubungan dengan dia”. (HR. At-Tirmidzi).
Betapa hubungan dengan Allah Swt dikaitkan dengan menjalin silaturahim. Banyak sekali orang yang merasa sedang menjalin hubungan dengan Allah dengan prestasi ibadahnya, padahal Allah telah memutuskan hubungan dengannya hanya karena ia telah memutuskan silaturahim.
Ancaman Bagi Orang Yang Memutuskan Silaturahim.
Disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Rasulullah Saw bersbda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”. (HR. Muttafaq ‘Alaih). Tidak ada ancaman yang lebih berat daripada ini. Oleh sebab itu, maka mari kita buka hati untuk memaafkan orang lain, di waktu yang sama kita ulurkan tangan untuk memohon maaf kepada orang lain, karena dengan itu sesungguhnya kita sedang menjalin hubungan dengan Allah Swt dan mendapatkan ampunan Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Dua orang muslim bertemu, lalu bersalaman, maka mereka berdua diampuni, sebelum mereka berpisah”. (HR. At-Tirmidzi).
Andai pertikaian tak terelakkan, terjadi konflik dan permusuhan, maka orang pertama yang memulai ucapan salam, dialah orang terbaik menurut hadits Rasulullah Saw:
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِى يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
“Tidak halal bagi seseorang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka berdua bertemu, ini menolak ini dan ini menolak ini. Yang paling baik diantara mereka berdua adalah orang yang memulai salam”. (HR. Al-Bukhari).
Semoga Allah Swt memberikan kita hidayah untuk mampu melawan keegoan dan memulai salam, amin.
Rabu, 03 Agustus 2011
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih .
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat?
Jawaban:
Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
Rasulullah Saw tidak pernah menambah, dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat; Rasulullah Saw melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian beliau melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian melaksanakan shalat tiga rakaat.
Ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat empar rakaat”, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
صَلاَة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat”.
Dan ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat tiga rakaat”, maknanya Rasulullah Saw melaksanakan shalat Witir satu rakaat dan shalat Syaf’ dua rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Urwah dari Aisyah ra, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -- كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ
“Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam sebelas rakaat, melaksanakan shalat witir satu rakaat daripadanya”.
Dalam beberapa jalur riwayat lain disebutkan:
يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Rasulullah Saw mengucapkan salam setiap dua rakaat”.
Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka dari Jabir ra, bahwa Rasulullah Saw mengimami para shahabat shalat delapan rakaat dan shalat Witir. Kemudian mereka menunggu Rasulullah Saw pada malam berikutnya, akan tetapi Rasulullah Saw tidak keluar menemui mereka. Inilah yang shahih dari perbuatan Rasulullah Saw, tidak ada riwayat shahih lain selain ini.
Benar bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat pada masa Umar, Utsman dan Ali sebanyak dua puluh rakaat, ini adalah pendapat jumhur Fuqaha’ (ahli Fiqh) dari kalangan Mazhab Hanafi, Hanbali dan Daud.
Imam at-Tirmidzi berkata, “Mayoritas ulama berpegang pada riwayat dari Umar, Ali dan lainnya dari kalangan shahabat bahwa mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan Imam Syafi’i. Demikian saya mendapati kaum muslimin di Mekah, mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat”.
Menurut Imam Malik shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat, selain Witir. Imam az-Zarqani berkata dalam Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah, “Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih pada awalnya adalah sebelas rakaat, mereka melaksanakannya dengan bacaannya yang panjang. Lalu kemudian mereka merasa berat, maka mereka meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat. Mereka melaksanakan dua puluh rakaat selain shalat Syaf’ dan Witir, dengan bacaan sedang. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menjadikan jumlah rakaat menjadi tiga puluh enam rakaat selain Syaf’ dan Witir. Kemudian mereka melaksanakan shalat Tarawih seperti itu”.
Demikianlah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata setelah menggabungkan beberapa riwayat, “Perbedaan tersebut berdasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan. Jika bacaannya panjang, maka jumlah rakaat sedikit. Demikian juga sebaliknya”. Demikian juga menurut Imam ad-Dawudi dan lainnya. Kemudian al-Hafizh menyebutkan bahwa penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat untuk menyamai penduduk Mekah. Karena penduduk Mekah melaksanakan Thawaf tujuh putaran diantara dua waktu istirahat (pada shalat Tarawih). Maka penduduk Madinah membuat empat rakaat sebagai pengganti tujuh putaran Thawaf tersebut.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat?
Jawaban:
Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
Rasulullah Saw tidak pernah menambah, dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat; Rasulullah Saw melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian beliau melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian melaksanakan shalat tiga rakaat.
Ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat empar rakaat”, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
صَلاَة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat”.
Dan ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat tiga rakaat”, maknanya Rasulullah Saw melaksanakan shalat Witir satu rakaat dan shalat Syaf’ dua rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Urwah dari Aisyah ra, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -- كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ
“Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam sebelas rakaat, melaksanakan shalat witir satu rakaat daripadanya”.
Dalam beberapa jalur riwayat lain disebutkan:
يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Rasulullah Saw mengucapkan salam setiap dua rakaat”.
Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka dari Jabir ra, bahwa Rasulullah Saw mengimami para shahabat shalat delapan rakaat dan shalat Witir. Kemudian mereka menunggu Rasulullah Saw pada malam berikutnya, akan tetapi Rasulullah Saw tidak keluar menemui mereka. Inilah yang shahih dari perbuatan Rasulullah Saw, tidak ada riwayat shahih lain selain ini.
Benar bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat pada masa Umar, Utsman dan Ali sebanyak dua puluh rakaat, ini adalah pendapat jumhur Fuqaha’ (ahli Fiqh) dari kalangan Mazhab Hanafi, Hanbali dan Daud.
Imam at-Tirmidzi berkata, “Mayoritas ulama berpegang pada riwayat dari Umar, Ali dan lainnya dari kalangan shahabat bahwa mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan Imam Syafi’i. Demikian saya mendapati kaum muslimin di Mekah, mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat”.
Menurut Imam Malik shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat, selain Witir. Imam az-Zarqani berkata dalam Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah, “Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih pada awalnya adalah sebelas rakaat, mereka melaksanakannya dengan bacaannya yang panjang. Lalu kemudian mereka merasa berat, maka mereka meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat. Mereka melaksanakan dua puluh rakaat selain shalat Syaf’ dan Witir, dengan bacaan sedang. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menjadikan jumlah rakaat menjadi tiga puluh enam rakaat selain Syaf’ dan Witir. Kemudian mereka melaksanakan shalat Tarawih seperti itu”.
Demikianlah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata setelah menggabungkan beberapa riwayat, “Perbedaan tersebut berdasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan. Jika bacaannya panjang, maka jumlah rakaat sedikit. Demikian juga sebaliknya”. Demikian juga menurut Imam ad-Dawudi dan lainnya. Kemudian al-Hafizh menyebutkan bahwa penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat untuk menyamai penduduk Mekah. Karena penduduk Mekah melaksanakan Thawaf tujuh putaran diantara dua waktu istirahat (pada shalat Tarawih). Maka penduduk Madinah membuat empat rakaat sebagai pengganti tujuh putaran Thawaf tersebut.
Puasa Wanita Hamil dan Menyusui .
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Kami membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali Imam Ahmad. Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183) turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya. Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan berat melaksanakan puasa, yaitu orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus. Demikian juga dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni. Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd gandum”. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab dinyatakan:
Menurut Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib tidak berpuasa.
Menurut Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’ ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka, jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja, maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’ dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan al-Ka’bi”.
Pertanyaan:
Kami membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali Imam Ahmad. Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183) turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya. Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan berat melaksanakan puasa, yaitu orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus. Demikian juga dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni. Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd gandum”. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab dinyatakan:
Menurut Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib tidak berpuasa.
Menurut Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’ ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka, jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja, maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’ dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan al-Ka’bi”.
Jumat, 03 Juni 2011
Tentang Bulan Rajab
pertanyaan:
mohon penjelasan tentang hadis-hadis tentang keutamaan beramal di bulan Rajab?
jawaban:
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyusun sebuah kitab memuat hadits-hadits tentang keutamaan beramal di bulan Rajab. Kitab tersebut berjudul:
تبيين العجب بما ورد فى فضل رجب
“Penjelasan tentang hal-hal yang menakjubkan berkaitan dengan keutamaan bulan Rajab.”
Beliau sampai pada kesimpulan bahwa semua hadits-hadits tersebut tidak ada yang shahih, hanya dha’if (lemah) dan bahkan maudhu’ (palsu)
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata:
إن شهر رجب لم يرد حديث خاص بفضل الصيام فيه ، لا صحيح ولا حسن .
“Sesungguhnya tentang bulan Rajab, tidak ada hadits khusus tentang keutamaan berpuasa di bulan Rajab. Tidak ada hadits shahih maupun hadits hasan”.
Beberapa Hadits Dha’if Tentang Beramal di Bulan Rajab.
إن فى الجنة نهرا يقال له رجب ، ماؤه أشد بياضا من اللبن وأحلى من العسل ،
من صام يوما من رجب سقاه الله من ذلك النهر
“Sesungguhnya di surga ada satu sungai bernama sungai Rajab. Airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Siapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka Allah Swt memberinya minum dari sungai itu”. [HADIS DHA’IF].
من صام من رجب يوما كان كصيام شهر، ومن صام منه سبعة أيام غلَّقت عنه أبواب الجحيم السبعة ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له أبواب الجنة الثمانية ، ومن صام منه عشرة أيام بدلت سيئاته حسنات
“Siapa yang melaksanakan puasa di bulan Rajab satu hari, sama seperti berpuasa satu bulan. Siapa yang berpuasa tujuh hari, akan ditutup tujuh pintu neraka. Siapa yang berpuasa delapan hari, akan dibukakan delapan pintu surge. Siapa yang berpuasa sepuluh hari, dosanya diganti menjadi kebaikan”.
[HADIS DHA’IF].
رجب شهر الله وشعبان شهرى ورمضان شهر أمتى
“Bulan Rajab adalah bulan Allah. Sya’ban adalah bulanku. Dan Ramadhan adalah bulan umatku”.
[HADIS DHA’IF].
صوم أول يوم من رجب كفارة ثلاث سنين و الثاني كفارة سنتين و الثالث كفارة سنة ثم كل يوم شهرا .
“Puasa pada hari pertama bulan Rajab mengampuni dosa tiga tahun. Hari kedua mengampuni dosa dua tahun. Hari ketiga mengampuni dosa satu tahun. Kemudian setiap satu hari mengampuni dosa satu bulan”. [HADIS DHA’IF].
على أهل كل بيت أن يذبحوا شاة في كل رجب و في كل أضحى شاة .
“Bagi setiap keluarga agar menyembelih satu ekor kambing pada setiap bulan Rajab dan satu ekor kambing pada setiap Idul Adha”. [HADIS DHA’IF].
ما من أحد يصوم أول خميس من رجب ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة اثنتي عشرة ركعة يفصل بين كل ركعتين بتسليمة يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة وإنا أنزلناه في ليلة القدر ثلاث مرات وقل هو الله أحد اثنتي عشرة مرة فإذا فرغ من صلاته صلى علي سبعين مرة يقول : اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله ثم يسجد ويقول في سجوده سبعين مرة : سبوح قدوس رب الملائكة والروح ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة : رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم
ثم يسجد سجدة أخرى ويقول فيها مثل ما قال في السجدة الأولى ثم يسأل حاجته في سجوده فإنها تقضى "
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا يصلي أحد هذه الصلاة إلا غفر له الله تعالى جميع ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر وعدد الرمل ووزن الجبال وورق الأشجار ويشفع يوم القيامة في سبعمائة من أهل بيته ممن قد استوجب النار
“Setiap orang yang melaksanakan puasa pada hari kamis pertama bulan Rajab. Kemudian ia melaksanakan shalat dua belas rakaat antara Isya’ dan tengah malam, dengan satu salam setiap dua rakaat. Membaca al-Fatihah satu kali dan al-Qadar tiga kali dan al-Ikhlas dua belas kali. Setelah shalat membaca 70 kali shalawat. Kemudian sujud dan membaca 70 kali:
سبوح قدوس رب الملائكة والروح
“Maha Suci Tuhan para malaikat dan Jibril”.
Kemudian mengangkat kepala dan membaca 70 kali:
رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم
“Ya Tuhan, ampunilah dan rahmatilah. Maafkanlah semua yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Mulia”.
Kemudian sujud satu kali dan membaca seperti yang dibaca pada sujud pertama. Kemudian memohon apa yang diinginkan dalam sujudnya. Maka semuanya akan ditunaikan.
Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap orang yang melaksanakan shalat ini, maka Allah Swt mengampuni semua dosanya, meskipun sebanyak buih lautan dan sejumlah pasir, seberat bukit dan sebanyak dedaunan. Ia diberi kuasa untuk memberikan syafaat pada hari kiamat untuk tujuh ratus keluarganya yang wajib masuk neraka”. [HADIS DHA’IF].
Beberapa Hadits Maudhu’ (Palsu).
رجب شهر عظيم يضاعف الله فيه الحسنات فمن صام يوما من رجب فكأنما صام سنة ومن صام منه سبعة أيام غلقت عنه سبعة أبواب جهنم ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له ثمانية أبواب الجنة ومن صام منه عشرة أيام لم يسأل الله شيئا إلا أعطاه إياه ومن صام منه خمسة عشر يوما نادى مناد في السماء : قد غفر لك ما مضى فاستأنف العمل ومن زاد زاده الله عز و جل . وفي رجب حمل الله نوحا في السفينة فصام رجب وأمر من معه أن يصوموا فجرت بهم السفينة ستة أشهر آخر ذلك يوم عاشوراء أهبط على الجودي فصام نوح ومن معه والوحش شكرا لله عز و جل . وفي يوم عاشوراء أفلق الله البحر لبني إسرائيل . وفي يوم عاشوراء تاب الله عز و جل على آدم وفيه ولد إبراهيم
“Rajab adalah bulan yang agung. Di dalamnya amal dilipatgandakan. Siapa yang melaksanakan puasa satu hari di bulan Rajab, maka seakan-akan ia telah berpuasa satu tahun. Siapa yang berpuasa tujuh hari, ditutupkan tujuh pintu neraka. Siapa yang berpuasa delapan hari, dibukakan delapan pintu surge. Siapa yang berpuasa sepuluh hari, Allah akan memberikan apa yang ia minta. Siapa yang puasa lima belas hari, ada yang berseru dari langit: “Engkau telah diampuni atas dosamu yang lalu. Mulailah beramal. Siapa yang menambah amal, maka Allah menambah balasan”. Pada bulan Rajab Allah membawa nabi Nuh dalam perahu, ia melaksanakan puasa di bulan Rajab dan ia memerintahkan semua yang ada bersamanya agar berpuasa. Perahu itu berlayar selama enam bulan, berakhir pada hari Asyura, ia terdampar di bukit al-Judy. Maka nabi Nuh dan orang-orang yang bersamanya dan binatang buas berpuasa bersyukur kepada Allah Swt. Pada hari Asyura, Allah membelah lautan untuk Bani ISrail. Pada hari Asyura, Allah menerima taubat nabi Adam. Pada hari Asyura nabi Ibrahim dilahirkan”. [HADIS MAUDHU’].
من صلى المغرب فى أول ليلة من رجب ثم صلى بعدها عشرين ركعة، يقرأ فى كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله أحد مرة ويسلم فيهن عشر تسليمات حفظه الله فى نفسه وأهله وماله وولده ، وأجير من عذاب القبر، وجاز على الصراط كالبرق بغير حساب ولا عذاب
“Siapa yang melaksanakan shalat Maghrib pada awal malam bulan Rajab, kemudian melaksanakan shalat dua puluh rakaat, pada setiap rakaat membaca al-Fatihah dan surat al-Ikhlash satu kali dengan sepuluh kali salam. maka Allah Swt menjaga dirinya, keluarganya, harta dan anaknya. Ia diselamatkan dari azab kubur. Ia melewati titian sirat seperti petir tanpa hisab dan azab”. [HADIS MAUDHU’/PALSU].
خمس ليال لا ترد فيهن الدعوة : أول ليلة من رجب وليلة النصف من شعبان وليلة الجمعة وليلة الفطر وليلة النحر
“Ada lima malam yang doa pada malam itu tidak ditolak: malam pertama bulan Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fithri dan malam Idul Adha”. [HADIS MAUDHU’].
Bulan Rajab Bulan Mulia.
Allah berfirman:
36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
(Qs. At-Taubah [9]: 36).
Penjelasan tentang 4 bulan mulia tersebut dijelaskan dalam hadits.
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا ، أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ، ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ »
Dari Abu Bakrah, dari Rasulullah Saw, “Sesungguhnya zaman itu beredar seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (mulia). Tiga bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dan Rajab Mudharr yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Al-Bukhari).
Bagaimana pun juga bulan Rajab adalah salah satu dari empat bulan haram (mulia) yang dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh. Rasulullah Saw banyak melaksanakan puasa di bulan ini. Dalam Sunan Abi Daud dinyatakan:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عِيسَى حَدَّثَنَا عُثْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ حَكِيمٍ - قَالَ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صِيَامِ رَجَبَ فَقَالَ أَخْبَرَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ.
Ibrahim bin Musa meriwayatkan kepada kami; Isa meriwayatkan kepada kami; Utsman bin Hakim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab”. Ia menjawab, “Ibnu Abbas memberitahukan kepada saya bahwa Rasulullah Saw berpuasa hingga kami mengatakan ia tidak berpuas dan ia berpuasa hingga kami mengatakan ia tidak berpuasa”. (HR. Abu Daud, Bab: Berpuasa di Bulan Rajab).
Hadits ini menunjukkan makna bahwa Rasulullah Saw sering melaksanakan puasa di bulan Rajab, hingga mereka menyangka Rasulullah Saw tidak puasa, ternyata Rasulullah Saw sedang berpuasa. Sebaliknya, mereka menyangka Rasulullah Saw sedang berpuasa, ternyata Rasulullah Saw sedang tidak berpuasa.
عَنْ أَبِى السَّلِيلِ قَالَ حَدَّثَتْنِى مُجِيبَةُ - عَجُوزٌ مِنْ بَاهِلَةَ - عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَنْ عَمِّهَا قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِحَاجَةٍ مَرَّةً فَقَالَ « مَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَوَمَا تَعْرِفُنِى قَالَ « وَمَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَنَا الْبَاهِلِىُّ الَّذِى أَتَيْتُكَ عَامَ أَوَّلٍ. قَالَ « فَإِنَّكَ أَتَيْتَنِى وَجِسْمُكَ وَلَوْنُكَ وَهَيْئَتُكَ حَسَنَةٌ فَمَا بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى ». فَقَالَ إِنِّى وَاللَّهِ مَا أَفْطَرْتُ بَعْدَكَ إِلاَّ لَيْلاً. قَالَ « مَنْ أَمَرَكَ أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ مَنْ أَمَرَكَ أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. فَقَالَ « فَصُمْ يَوْماً مِنَ الشَّهْرِ ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَيَوْمَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « وَمَا تَبْغِى عَنْ شَهْرِ الصَّبْرِ وَيَوْمَيْنِ فِى الشَّهْرِ ». قَالَ قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ ». قَالَ وأَلْحَمَ عِنْدَ الثَّالِثَةِ فَمَا كَادَ قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَمِنَ الْحُرُمِ وَأَفْطِرْ ».
Dari Abu Salil, ia berkata: Mujibah –seorang perempuan tua dari Bahilah- meriwayatkan kepada saya dari ayahnya atau dari pamannya. Ia berkata, “Saya datang menghadap Rasulullah Saw untuk suatu keperluan. Beliau bertanya, “Siapakah engkau?”.
Ia menjawab, “Apakah engkau tidak mengenaliku?”.
Rasulullah Saw bertanya lagi, “Siapa engkau?”.
Ia menjawab, “Saya orang Bahilah yang datang tahun lalu”.
Rasulullah Saw berkata, “Ketika engkau datang kepadaku, tubuhmu, raut wajahmu dan penampilanmu bagus. Apa yang terjadi padamu?”.
Ia menjawab, “Demi Allah, setelah bertemu denganmu waktu itu, saya tidak pernah makan kecuali waktu malam”.
Rasulullah Saw berkata, “Siapa menyuruhmu menyiksa dirimu?”. Rasulullah Saw menyatakan itu tiga kali.
Rasulullah Saw berkata, “Berpuasalah di bulan kesabaran, bulan Ramadhan”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw, “Berpuasalah satu hari dalam satu bulan”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw, “Berpuasalah dua hari dalam satu bulan”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw berkata, “Engkau tidak mau hanya berpuasa bulan Ramadhan dan dua hari dalam satu bulan?”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw, “Berpuasalah tiga hari dalam satu bulan”. Rasulullah Saw berhenti setelah ucapan ketiga, Rasulullah Saw hampir tidak melanjutkan”.
Saya katakan, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw bersabda, “Berpuasalah di bulan-bulan haram. Kemudian berbukalah”.
(HR. Ahmad).
Komentar Syekh Syu’aib al-Arna’uth: hadits hasan li ghairihi.
mohon penjelasan tentang hadis-hadis tentang keutamaan beramal di bulan Rajab?
jawaban:
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyusun sebuah kitab memuat hadits-hadits tentang keutamaan beramal di bulan Rajab. Kitab tersebut berjudul:
تبيين العجب بما ورد فى فضل رجب
“Penjelasan tentang hal-hal yang menakjubkan berkaitan dengan keutamaan bulan Rajab.”
Beliau sampai pada kesimpulan bahwa semua hadits-hadits tersebut tidak ada yang shahih, hanya dha’if (lemah) dan bahkan maudhu’ (palsu)
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata:
إن شهر رجب لم يرد حديث خاص بفضل الصيام فيه ، لا صحيح ولا حسن .
“Sesungguhnya tentang bulan Rajab, tidak ada hadits khusus tentang keutamaan berpuasa di bulan Rajab. Tidak ada hadits shahih maupun hadits hasan”.
Beberapa Hadits Dha’if Tentang Beramal di Bulan Rajab.
إن فى الجنة نهرا يقال له رجب ، ماؤه أشد بياضا من اللبن وأحلى من العسل ،
من صام يوما من رجب سقاه الله من ذلك النهر
“Sesungguhnya di surga ada satu sungai bernama sungai Rajab. Airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Siapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka Allah Swt memberinya minum dari sungai itu”. [HADIS DHA’IF].
من صام من رجب يوما كان كصيام شهر، ومن صام منه سبعة أيام غلَّقت عنه أبواب الجحيم السبعة ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له أبواب الجنة الثمانية ، ومن صام منه عشرة أيام بدلت سيئاته حسنات
“Siapa yang melaksanakan puasa di bulan Rajab satu hari, sama seperti berpuasa satu bulan. Siapa yang berpuasa tujuh hari, akan ditutup tujuh pintu neraka. Siapa yang berpuasa delapan hari, akan dibukakan delapan pintu surge. Siapa yang berpuasa sepuluh hari, dosanya diganti menjadi kebaikan”.
[HADIS DHA’IF].
رجب شهر الله وشعبان شهرى ورمضان شهر أمتى
“Bulan Rajab adalah bulan Allah. Sya’ban adalah bulanku. Dan Ramadhan adalah bulan umatku”.
[HADIS DHA’IF].
صوم أول يوم من رجب كفارة ثلاث سنين و الثاني كفارة سنتين و الثالث كفارة سنة ثم كل يوم شهرا .
“Puasa pada hari pertama bulan Rajab mengampuni dosa tiga tahun. Hari kedua mengampuni dosa dua tahun. Hari ketiga mengampuni dosa satu tahun. Kemudian setiap satu hari mengampuni dosa satu bulan”. [HADIS DHA’IF].
على أهل كل بيت أن يذبحوا شاة في كل رجب و في كل أضحى شاة .
“Bagi setiap keluarga agar menyembelih satu ekor kambing pada setiap bulan Rajab dan satu ekor kambing pada setiap Idul Adha”. [HADIS DHA’IF].
ما من أحد يصوم أول خميس من رجب ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة اثنتي عشرة ركعة يفصل بين كل ركعتين بتسليمة يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة وإنا أنزلناه في ليلة القدر ثلاث مرات وقل هو الله أحد اثنتي عشرة مرة فإذا فرغ من صلاته صلى علي سبعين مرة يقول : اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله ثم يسجد ويقول في سجوده سبعين مرة : سبوح قدوس رب الملائكة والروح ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة : رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم
ثم يسجد سجدة أخرى ويقول فيها مثل ما قال في السجدة الأولى ثم يسأل حاجته في سجوده فإنها تقضى "
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا يصلي أحد هذه الصلاة إلا غفر له الله تعالى جميع ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر وعدد الرمل ووزن الجبال وورق الأشجار ويشفع يوم القيامة في سبعمائة من أهل بيته ممن قد استوجب النار
“Setiap orang yang melaksanakan puasa pada hari kamis pertama bulan Rajab. Kemudian ia melaksanakan shalat dua belas rakaat antara Isya’ dan tengah malam, dengan satu salam setiap dua rakaat. Membaca al-Fatihah satu kali dan al-Qadar tiga kali dan al-Ikhlas dua belas kali. Setelah shalat membaca 70 kali shalawat. Kemudian sujud dan membaca 70 kali:
سبوح قدوس رب الملائكة والروح
“Maha Suci Tuhan para malaikat dan Jibril”.
Kemudian mengangkat kepala dan membaca 70 kali:
رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم
“Ya Tuhan, ampunilah dan rahmatilah. Maafkanlah semua yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Mulia”.
Kemudian sujud satu kali dan membaca seperti yang dibaca pada sujud pertama. Kemudian memohon apa yang diinginkan dalam sujudnya. Maka semuanya akan ditunaikan.
Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap orang yang melaksanakan shalat ini, maka Allah Swt mengampuni semua dosanya, meskipun sebanyak buih lautan dan sejumlah pasir, seberat bukit dan sebanyak dedaunan. Ia diberi kuasa untuk memberikan syafaat pada hari kiamat untuk tujuh ratus keluarganya yang wajib masuk neraka”. [HADIS DHA’IF].
Beberapa Hadits Maudhu’ (Palsu).
رجب شهر عظيم يضاعف الله فيه الحسنات فمن صام يوما من رجب فكأنما صام سنة ومن صام منه سبعة أيام غلقت عنه سبعة أبواب جهنم ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له ثمانية أبواب الجنة ومن صام منه عشرة أيام لم يسأل الله شيئا إلا أعطاه إياه ومن صام منه خمسة عشر يوما نادى مناد في السماء : قد غفر لك ما مضى فاستأنف العمل ومن زاد زاده الله عز و جل . وفي رجب حمل الله نوحا في السفينة فصام رجب وأمر من معه أن يصوموا فجرت بهم السفينة ستة أشهر آخر ذلك يوم عاشوراء أهبط على الجودي فصام نوح ومن معه والوحش شكرا لله عز و جل . وفي يوم عاشوراء أفلق الله البحر لبني إسرائيل . وفي يوم عاشوراء تاب الله عز و جل على آدم وفيه ولد إبراهيم
“Rajab adalah bulan yang agung. Di dalamnya amal dilipatgandakan. Siapa yang melaksanakan puasa satu hari di bulan Rajab, maka seakan-akan ia telah berpuasa satu tahun. Siapa yang berpuasa tujuh hari, ditutupkan tujuh pintu neraka. Siapa yang berpuasa delapan hari, dibukakan delapan pintu surge. Siapa yang berpuasa sepuluh hari, Allah akan memberikan apa yang ia minta. Siapa yang puasa lima belas hari, ada yang berseru dari langit: “Engkau telah diampuni atas dosamu yang lalu. Mulailah beramal. Siapa yang menambah amal, maka Allah menambah balasan”. Pada bulan Rajab Allah membawa nabi Nuh dalam perahu, ia melaksanakan puasa di bulan Rajab dan ia memerintahkan semua yang ada bersamanya agar berpuasa. Perahu itu berlayar selama enam bulan, berakhir pada hari Asyura, ia terdampar di bukit al-Judy. Maka nabi Nuh dan orang-orang yang bersamanya dan binatang buas berpuasa bersyukur kepada Allah Swt. Pada hari Asyura, Allah membelah lautan untuk Bani ISrail. Pada hari Asyura, Allah menerima taubat nabi Adam. Pada hari Asyura nabi Ibrahim dilahirkan”. [HADIS MAUDHU’].
من صلى المغرب فى أول ليلة من رجب ثم صلى بعدها عشرين ركعة، يقرأ فى كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله أحد مرة ويسلم فيهن عشر تسليمات حفظه الله فى نفسه وأهله وماله وولده ، وأجير من عذاب القبر، وجاز على الصراط كالبرق بغير حساب ولا عذاب
“Siapa yang melaksanakan shalat Maghrib pada awal malam bulan Rajab, kemudian melaksanakan shalat dua puluh rakaat, pada setiap rakaat membaca al-Fatihah dan surat al-Ikhlash satu kali dengan sepuluh kali salam. maka Allah Swt menjaga dirinya, keluarganya, harta dan anaknya. Ia diselamatkan dari azab kubur. Ia melewati titian sirat seperti petir tanpa hisab dan azab”. [HADIS MAUDHU’/PALSU].
خمس ليال لا ترد فيهن الدعوة : أول ليلة من رجب وليلة النصف من شعبان وليلة الجمعة وليلة الفطر وليلة النحر
“Ada lima malam yang doa pada malam itu tidak ditolak: malam pertama bulan Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fithri dan malam Idul Adha”. [HADIS MAUDHU’].
Bulan Rajab Bulan Mulia.
Allah berfirman:
36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
(Qs. At-Taubah [9]: 36).
Penjelasan tentang 4 bulan mulia tersebut dijelaskan dalam hadits.
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا ، أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ، ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ »
Dari Abu Bakrah, dari Rasulullah Saw, “Sesungguhnya zaman itu beredar seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (mulia). Tiga bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dan Rajab Mudharr yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Al-Bukhari).
Bagaimana pun juga bulan Rajab adalah salah satu dari empat bulan haram (mulia) yang dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh. Rasulullah Saw banyak melaksanakan puasa di bulan ini. Dalam Sunan Abi Daud dinyatakan:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عِيسَى حَدَّثَنَا عُثْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ حَكِيمٍ - قَالَ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صِيَامِ رَجَبَ فَقَالَ أَخْبَرَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ.
Ibrahim bin Musa meriwayatkan kepada kami; Isa meriwayatkan kepada kami; Utsman bin Hakim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab”. Ia menjawab, “Ibnu Abbas memberitahukan kepada saya bahwa Rasulullah Saw berpuasa hingga kami mengatakan ia tidak berpuas dan ia berpuasa hingga kami mengatakan ia tidak berpuasa”. (HR. Abu Daud, Bab: Berpuasa di Bulan Rajab).
Hadits ini menunjukkan makna bahwa Rasulullah Saw sering melaksanakan puasa di bulan Rajab, hingga mereka menyangka Rasulullah Saw tidak puasa, ternyata Rasulullah Saw sedang berpuasa. Sebaliknya, mereka menyangka Rasulullah Saw sedang berpuasa, ternyata Rasulullah Saw sedang tidak berpuasa.
عَنْ أَبِى السَّلِيلِ قَالَ حَدَّثَتْنِى مُجِيبَةُ - عَجُوزٌ مِنْ بَاهِلَةَ - عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَنْ عَمِّهَا قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِحَاجَةٍ مَرَّةً فَقَالَ « مَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَوَمَا تَعْرِفُنِى قَالَ « وَمَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَنَا الْبَاهِلِىُّ الَّذِى أَتَيْتُكَ عَامَ أَوَّلٍ. قَالَ « فَإِنَّكَ أَتَيْتَنِى وَجِسْمُكَ وَلَوْنُكَ وَهَيْئَتُكَ حَسَنَةٌ فَمَا بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى ». فَقَالَ إِنِّى وَاللَّهِ مَا أَفْطَرْتُ بَعْدَكَ إِلاَّ لَيْلاً. قَالَ « مَنْ أَمَرَكَ أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ مَنْ أَمَرَكَ أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. فَقَالَ « فَصُمْ يَوْماً مِنَ الشَّهْرِ ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَيَوْمَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « وَمَا تَبْغِى عَنْ شَهْرِ الصَّبْرِ وَيَوْمَيْنِ فِى الشَّهْرِ ». قَالَ قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ ». قَالَ وأَلْحَمَ عِنْدَ الثَّالِثَةِ فَمَا كَادَ قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَمِنَ الْحُرُمِ وَأَفْطِرْ ».
Dari Abu Salil, ia berkata: Mujibah –seorang perempuan tua dari Bahilah- meriwayatkan kepada saya dari ayahnya atau dari pamannya. Ia berkata, “Saya datang menghadap Rasulullah Saw untuk suatu keperluan. Beliau bertanya, “Siapakah engkau?”.
Ia menjawab, “Apakah engkau tidak mengenaliku?”.
Rasulullah Saw bertanya lagi, “Siapa engkau?”.
Ia menjawab, “Saya orang Bahilah yang datang tahun lalu”.
Rasulullah Saw berkata, “Ketika engkau datang kepadaku, tubuhmu, raut wajahmu dan penampilanmu bagus. Apa yang terjadi padamu?”.
Ia menjawab, “Demi Allah, setelah bertemu denganmu waktu itu, saya tidak pernah makan kecuali waktu malam”.
Rasulullah Saw berkata, “Siapa menyuruhmu menyiksa dirimu?”. Rasulullah Saw menyatakan itu tiga kali.
Rasulullah Saw berkata, “Berpuasalah di bulan kesabaran, bulan Ramadhan”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw, “Berpuasalah satu hari dalam satu bulan”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw, “Berpuasalah dua hari dalam satu bulan”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw berkata, “Engkau tidak mau hanya berpuasa bulan Ramadhan dan dua hari dalam satu bulan?”.
Saya jawab, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw, “Berpuasalah tiga hari dalam satu bulan”. Rasulullah Saw berhenti setelah ucapan ketiga, Rasulullah Saw hampir tidak melanjutkan”.
Saya katakan, “Saya memiliki kekuatan, saya ingin agar engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw bersabda, “Berpuasalah di bulan-bulan haram. Kemudian berbukalah”.
(HR. Ahmad).
Komentar Syekh Syu’aib al-Arna’uth: hadits hasan li ghairihi.
Mengaminkan Doa Qunut Shubuh.
pertanyaan:
jika makmum tidak meyakini adanya doa qunut shubuh, ia berimam kepada imam yang mambaca doa qunut. bagaimanakah sikapnya?
jawaban:
فَإِذَا كَانَ الْمُقَلِّدُ يُقَلِّدُ فِي مَسْأَلَةٍ يَرَاهَا أَصْلَحَ فِي دِينِهِ أَوْ الْقَوْلُ بِهَا أَرْجَحُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ جَازَ هَذَا بِاتِّفَاقِ جَمَاهِيرِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يُحَرِّمْ ذَلِكَ لَا أَبُو حَنِيفَةَ وَلَا مَالِكٌ وَلَا الشَّافِعِيُّ وَلَا أَحْمَد . وَكَذَلِكَ الْوِتْرُ وَغَيْرُهُ يَنْبَغِي لِلْمَأْمُومِ أَنْ يَتْبَعَ فِيهِ إمَامَهُ فَإِنْ قَنَتَ قَنَتَ مَعَهُ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ لَمْ يَقْنُتْ وَإِنْ صَلَّى بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مَوْصُولَةٍ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِنْ فَصَلَ فَصَلَ أَيْضًا . وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَخْتَارُ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يَصِلَ إذَا فَصَلَ إمَامُهُ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
Jika seorang yang bertaklid itu bertaklid dalam suatu masalah yang menurutnya baik menurut agamanya atau pendapat itu kuat atau seperti itu, maka boleh berdasarkan kesepakatan jumhur ulama muslimin, tidak diharamkan oleh Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Demikian juga dengan witir dan lainnya, selayaknya bagi makmum mengikuti imamnya. Jika imamnya membaca qunut, maka ia ikut membaca qunut bersamanya. Jika imamnya tidak berqunut, maka ia tidak berqunut. Jika imamnya shalat 3 rakaat bersambung, maka ia melakukan itu juga. Jika dipisahkan, maka ia laksanakan terpisah. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa makmum tetap menyambung jika imamnya melaksanakannya terpisah. Pendapat pertama lebih shahih. Wallahu a’lam.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiah).
791 ... وسئل فضيلة الشيخ: عن حكم القنوت في صلاة الفريضة؛ والصلاة خلف إمام يقنت في الفريضة؟
... فأجاب فضيلته بقوله: الذي نرى أن لا قنوت في الفرائض إلا في النوازل، لكن من صلى خلف إمام يقنت فليتابعه درءاً للفتنة، وتأليفاً للقلوب.
791 ... Syekh ‘Utsaimin ditanya tentang qunut dalam shalat wajib. Shalat di belakang imam yang membaca qunut dalam shalat wajib? Syekh ‘Utsaimin menjawab: menurut pendapat kami tidak ada qunut dalam shalat wajib, kecuali qunut nawazil. Akan tetapi siapa yang shalat di belakang imam yang membaca qunut, maka hendaklah ia mengikuti imamnya untuk menolak fitnah dan mempertautkan hati.
(Fatwa Syekh ‘Utsaimin).
792 ... وسئل فضيلة الشيخ: عن حكم القنوت في الفرائض؟ وما الحكم إذا نزل بالمسلمين نازلة؟
... فأجاب فضيلته بقوله: القنوت في الفرائض ليس بمشروع ولا ينبغي فعله، لكن إن قنت الإمام فتابعه لأن الخلاف شر. ...
792 ... Syekh ‘Utsaimin ditanya tentang hukum membaca qunut dalam shalat wajib? Dan apa hukum jika terjadi musibah menimpa kaum muslimin? Syekh ‘Utsaimin menjawab: qunut dalam shalat fardhu itu tidak disyariatkan. Akan tetapi jika imam membaca qunut, maka ikutilah imam, karena khilaf itu tidak baik. (Fatwa Syekh ‘Utsaimin).
وينبغي أن يعلم أن الاختلاف بين مذهبي المأموم والإمام لا يجيز المفارقة فمثلاً إذا قنت الإمام في الفجر فلا يجوز للمأموم أن يفارقه لأنه لا يعمل بالقنوت للفجر لقول النبي - صلى الله عليه وسلم -:(إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه)
Perlu difahami bahwa perbedaan mazhab antara ma’mum dan imam tidak membolehkan mufaraqah, misalnya jika imam membaca qunut pada shalat shubuh, maka ma’mum tidak boleh melakukan mufaraqah hanya karena ia tidak membaca qunut pada shalat shubuh, karena Rasulullah Saw bersabda: “Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kamu berbeda dari imam”.
(Fatwa Syekh ‘ Hisamuddin ‘Afanah dalam Fatawa Yas’alunaka).
jika makmum tidak meyakini adanya doa qunut shubuh, ia berimam kepada imam yang mambaca doa qunut. bagaimanakah sikapnya?
jawaban:
فَإِذَا كَانَ الْمُقَلِّدُ يُقَلِّدُ فِي مَسْأَلَةٍ يَرَاهَا أَصْلَحَ فِي دِينِهِ أَوْ الْقَوْلُ بِهَا أَرْجَحُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ جَازَ هَذَا بِاتِّفَاقِ جَمَاهِيرِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يُحَرِّمْ ذَلِكَ لَا أَبُو حَنِيفَةَ وَلَا مَالِكٌ وَلَا الشَّافِعِيُّ وَلَا أَحْمَد . وَكَذَلِكَ الْوِتْرُ وَغَيْرُهُ يَنْبَغِي لِلْمَأْمُومِ أَنْ يَتْبَعَ فِيهِ إمَامَهُ فَإِنْ قَنَتَ قَنَتَ مَعَهُ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ لَمْ يَقْنُتْ وَإِنْ صَلَّى بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مَوْصُولَةٍ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِنْ فَصَلَ فَصَلَ أَيْضًا . وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَخْتَارُ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يَصِلَ إذَا فَصَلَ إمَامُهُ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
Jika seorang yang bertaklid itu bertaklid dalam suatu masalah yang menurutnya baik menurut agamanya atau pendapat itu kuat atau seperti itu, maka boleh berdasarkan kesepakatan jumhur ulama muslimin, tidak diharamkan oleh Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Demikian juga dengan witir dan lainnya, selayaknya bagi makmum mengikuti imamnya. Jika imamnya membaca qunut, maka ia ikut membaca qunut bersamanya. Jika imamnya tidak berqunut, maka ia tidak berqunut. Jika imamnya shalat 3 rakaat bersambung, maka ia melakukan itu juga. Jika dipisahkan, maka ia laksanakan terpisah. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa makmum tetap menyambung jika imamnya melaksanakannya terpisah. Pendapat pertama lebih shahih. Wallahu a’lam.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiah).
791 ... وسئل فضيلة الشيخ: عن حكم القنوت في صلاة الفريضة؛ والصلاة خلف إمام يقنت في الفريضة؟
... فأجاب فضيلته بقوله: الذي نرى أن لا قنوت في الفرائض إلا في النوازل، لكن من صلى خلف إمام يقنت فليتابعه درءاً للفتنة، وتأليفاً للقلوب.
791 ... Syekh ‘Utsaimin ditanya tentang qunut dalam shalat wajib. Shalat di belakang imam yang membaca qunut dalam shalat wajib? Syekh ‘Utsaimin menjawab: menurut pendapat kami tidak ada qunut dalam shalat wajib, kecuali qunut nawazil. Akan tetapi siapa yang shalat di belakang imam yang membaca qunut, maka hendaklah ia mengikuti imamnya untuk menolak fitnah dan mempertautkan hati.
(Fatwa Syekh ‘Utsaimin).
792 ... وسئل فضيلة الشيخ: عن حكم القنوت في الفرائض؟ وما الحكم إذا نزل بالمسلمين نازلة؟
... فأجاب فضيلته بقوله: القنوت في الفرائض ليس بمشروع ولا ينبغي فعله، لكن إن قنت الإمام فتابعه لأن الخلاف شر. ...
792 ... Syekh ‘Utsaimin ditanya tentang hukum membaca qunut dalam shalat wajib? Dan apa hukum jika terjadi musibah menimpa kaum muslimin? Syekh ‘Utsaimin menjawab: qunut dalam shalat fardhu itu tidak disyariatkan. Akan tetapi jika imam membaca qunut, maka ikutilah imam, karena khilaf itu tidak baik. (Fatwa Syekh ‘Utsaimin).
وينبغي أن يعلم أن الاختلاف بين مذهبي المأموم والإمام لا يجيز المفارقة فمثلاً إذا قنت الإمام في الفجر فلا يجوز للمأموم أن يفارقه لأنه لا يعمل بالقنوت للفجر لقول النبي - صلى الله عليه وسلم -:(إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه)
Perlu difahami bahwa perbedaan mazhab antara ma’mum dan imam tidak membolehkan mufaraqah, misalnya jika imam membaca qunut pada shalat shubuh, maka ma’mum tidak boleh melakukan mufaraqah hanya karena ia tidak membaca qunut pada shalat shubuh, karena Rasulullah Saw bersabda: “Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kamu berbeda dari imam”.
(Fatwa Syekh ‘ Hisamuddin ‘Afanah dalam Fatawa Yas’alunaka).
Mengaminkan Doa Khothib.
pertanyaan:
apa pendapat ulama tentang mengaminkan doa khothib pada shalat Jumat dan shalat lain?
jawaban:
( التّأمين على دعاء الخطيب )
16 - يسنّ التّأمين على دعاء الخطيب عند المالكيّة والشّافعيّة والحنابلة ، إلاّ أنّه يكون عند المالكيّة والحنابلة سرّاً ، وبلا رفع صوت عند الشّافعيّة . ولا تأمين باللّسان جهراً عند الحنفيّة بل يؤمّن في نفسه . ونصّ المالكيّة على تحريم ما يقع على دكّة المبلّغين بعد قول الإمام : « ادعوا اللّه وأنتم موقنون بالإجابة » من رفع أصوات جماعة بقولهم : « آمين . آمين . آمين » واعتبروه بدعةً محرّمةً .
Mengaminkan Doa Khathib.
16. Disunnatkan mengaminkan doa khatib menurut Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hanya saja Malik dan Hanbali menyatakan ucapan amin diucapkan sirr. Menurut Mazhab Syafi’i tanpa mengeraskan suara. Tidak ada pengucapan amin dengan lidah dengan cara jahr, demikian menurut Mazhab Hanbali, akan tetapi ucapan amin di dalam hati. Mazhab Maliki menyatakan haram hukumnya mengucapkan amin amin amin dengan suara berjamaah setelah khathib mengucapkan: “Berdoalah kepada Allah dan kamu penuh keyakinan akan dikabulkan”. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang diharamkan.
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Ensiklopedia Fiqh Kuwait, juz. I, hal. 51.
apa pendapat ulama tentang mengaminkan doa khothib pada shalat Jumat dan shalat lain?
jawaban:
( التّأمين على دعاء الخطيب )
16 - يسنّ التّأمين على دعاء الخطيب عند المالكيّة والشّافعيّة والحنابلة ، إلاّ أنّه يكون عند المالكيّة والحنابلة سرّاً ، وبلا رفع صوت عند الشّافعيّة . ولا تأمين باللّسان جهراً عند الحنفيّة بل يؤمّن في نفسه . ونصّ المالكيّة على تحريم ما يقع على دكّة المبلّغين بعد قول الإمام : « ادعوا اللّه وأنتم موقنون بالإجابة » من رفع أصوات جماعة بقولهم : « آمين . آمين . آمين » واعتبروه بدعةً محرّمةً .
Mengaminkan Doa Khathib.
16. Disunnatkan mengaminkan doa khatib menurut Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hanya saja Malik dan Hanbali menyatakan ucapan amin diucapkan sirr. Menurut Mazhab Syafi’i tanpa mengeraskan suara. Tidak ada pengucapan amin dengan lidah dengan cara jahr, demikian menurut Mazhab Hanbali, akan tetapi ucapan amin di dalam hati. Mazhab Maliki menyatakan haram hukumnya mengucapkan amin amin amin dengan suara berjamaah setelah khathib mengucapkan: “Berdoalah kepada Allah dan kamu penuh keyakinan akan dikabulkan”. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang diharamkan.
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Ensiklopedia Fiqh Kuwait, juz. I, hal. 51.