By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا ».
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Jadikanlah shalat terakhir kamu pada waktu malam adalah shalat Witir”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا مُلاَزِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ. وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِى الَّذِى يُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ مِنْ آخِرِهِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَمَنْ بَعْدَهُمْ نَقْضَ الْوِتْرِ وَقَالُوا يُضِيفُ إِلَيْهَا رَكْعَةً وَيُصَلِّى مَا بَدَا لَهُ ثُمَّ يُوتِرُ فِى آخِرِ صَلاَتِهِ لأَنَّهُ « لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ ». وَهُوَ الَّذِى ذَهَبَ إِلَيْهِ إِسْحَاقُ. وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ يُصَلِّى مَا بَدَا لَهُ وَلاَ يَنْقُضُ وِتْرَهُ وَيَدَعُ وِتْرَهُ عَلَى مَا كَانَ. وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِىِّ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِىِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ وَأَحْمَدَ. وَهَذَا أَصَحُّ لأَنَّهُ قَدْ رُوِىَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ صَلَّى بَعْدَ الْوِتْرِ. (الترمذي).
Hannad menceritakan kepada kami, Mulazim bin ‘Amr menceritakan kepada kami, Abdullah bin Badr menceritakan kepada saya, dari Qais bin Thalq bin Ali, dari Bapaknya, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada dua Witir dalam satu malam”. Abu Isa berkata, “Ini hadits hasan Gharib”.
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang telah melaksanakan shalat Witir pada awal malam, kemudian ia bangun di akhir malam, sebagian ulama dari kalangan shahabat nabi dan setelah mereka berpendapat Witir tersebut dibatalkan dengan menambahkan satu rakaat, kemudian melaksanakan shalat malam sesuai yang ia kehendaki. Kemudian melaksanakan Witir pada akhir shalatnya, karena tidak boleh ada dua shalat Witir dalam satu malam. Ini adalah pendapat Ishaq.
Sebagian ulama dari kalangan shahabat nabi dan lainnya berpendapat, jika seseorang telah melaksanakan shalat Witir pada awal malam, kemudian ia tidur, kemudian ia bangun pada akhir malam, maka ia (boleh) melaksanakan shalat sesuai yang ia kehendaki, ia tidak perlu membatalkan Witirnya, ia biarkan shalat Witir yang telah ia laksanakan seperti apa adanya. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnu al-Mubarak, Imam Syafi’i, penduduk Kufah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Pendapat ini lebih shahih, karena terdapat beberapa riwayat dari Rasulullah Saw menyebutkan bahwa beliau melaksanakan shalat setelah shalat Witir. (HR. At-Tirmidzi).
Hadits ini shahih menurut Syekh al-Albani (Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi, no: 470).
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا مَيْمُونُ بْنُ مُوسَى الْمَرَائِىُّ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أُمِّهِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ.
Abdullah menceritakan kepada kami, Bapak saya menceritakan kepada saya, Hammad bin Mas’adah menceritakan kepada kami, Maimun bin Musa al-Mara’i menceritakan kepada kami, dari al-Hasan, dari ibunya, dari Ummu Salamah: bahwa Rasulullah Saw melaksanakan shalat dua rakaat setelah Witir dalam keadaan duduk. (HR. Ahmad).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ ». وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ مَحْضُورَةٌ.
Abu Bakar bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Hafsh dan Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka hendaklah ia melaksanakan Witir di awal malam. Siapa yang sangat ingin bangun di akhir malam, maka hendaklah ia melaksanakan Witir di akhir malam. Karena sesungguhnya shalat di akhir malam itu disaksikan (malaikat), itu afdhal (lebih utama)”. Abu Mu’awiyah berkata, “Dihadiri (malaikat)”. (HR. Muslim).
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ وَجَدْتُ فِى كِتَابِ أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِى هَاشِمٍ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ ». قَالَ أَوَّلَ اللَّيْلِ بَعْدَ الْعَتَمَةِ. قَالَ « فَأَنْتَ يَا عُمَرُ ». قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. قَالَ « أَمَّا أَنْتَ يَا أَبَا بَكْرٍ فَأَخَذْتَ بِالثِّقَةِ وَأَمَّا أَنْتَ يَا عُمَرُ فَأَخَذْتَ بِالْقُوَّةِ ».
Abdullah berkata, “Saya temukan dalam kitab Bapak saya, Abu Sa’id Mawla Bani Hasyim menceritakan kepada kami, Za’idah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Muhammad menceritakan kepada kami, dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah Saw berkata kepada Abu Bakar, “Kapankah engkau melaksanakan shalat Witir?”. Ia menjawab, “Pada awal malam, setelah shalat Isya’”. Rasulullah Saw bertanya, “Engkau wahai Umar?”. Umar menjawab, “Di akhir malam”. Rasulullah Saw berkata, “Adapun engkau wahai Abu Bakar, engkau telah mengambil dengan keyakinan. Sedangkan engkau wahai Umar, engkau telah mengambil dengan kekuatan”. (HR. Ahmad).
Rabu, 28 Juli 2010
Hadits Tentang Shalat Qadha’.
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
حدثنا أبو نعيم وموسى بن إسماعيل قالا حدثنا همام عن قتادة عن أنس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال
: ( من نسي صلاة فليصل إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك { وأقم الصلاة لذكري } )
[ ش أخرجه مسلم في المساجد ومواضع الصلاة باب قضاء الصلاة الفائتة واستحباب تعجيل قضائها رقم 684
Abu Nu’aim dan Musa bin Ismail menceritakan kepada kami, mereka berdua berkata: Hammam menceritakan kepada kami, dari Qatadah, dari Anas, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Siapa yang terlupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia melaksanakannya apabila ia mengingatnya, tidak ada penebusnya selain itu. (Firman Allah Swt): “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Qs. Thaha [20]: 14).
Disebutkan Imam al-Bukhari dalam Kitab: Waktu-Waktu Shalat.
Bab: Orang yang terlupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia melaksanakan shalat ketika ia mengingatnya, dan ia tidak mengulangi kecuali shalat tersebut.
Juga disebutkan Imam Muslim dalam Kitab: Masjid-Masjid dan Tempat-Tempat Shalat.
Bab: Qadha’ shalat yang tertinggal dan anjuran agar menyegerakan melaksanakan Qadha’ shalat, no. 684.
Pembahasan tentang Qadha’ Shalat secara lengkap menurut empat mazhab disebutkan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 2, halaman: 1146-1161. Dar al-Fikr, Damascus. Cetakan keempat. Tahun 1418H/1997M.
“Kami diperintahkan mengqadha’ puasa
dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ shalat”.
وحدثنا عبد بن حميد أخبرنا عبدالرزاق أخبرنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت : سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة ؟
فقالت: أحرورية أنت ؟ قلت: لست بحرورية ولكني أسأل
قالت: كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
(صحيح مسلم، ج: 1، ص: 165).
‘Abd bin Humaid menceritakan kepada kami, Abdurrazzaq memberitakan kepada kami, Ma’mar memberitakan kepada kami, dari ‘Ashim, dari Mu’adzah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, saya katakan kepadanya, “Bagaimanakah dengan wanita yang haidh, mengapa mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?”.
Aisyah berkata, “Apakah engkau orang Haruriyah (pengikut Khawarij)?”. Saya jawab, “Saya bukan orang Haruriyah, akan tetapi saya bertanya”.
Aisyah menjawab, “Dulu kami mengalami haidh, kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ shalat”. (HR. Muslim).
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
حدثنا أبو نعيم وموسى بن إسماعيل قالا حدثنا همام عن قتادة عن أنس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال
: ( من نسي صلاة فليصل إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك { وأقم الصلاة لذكري } )
[ ش أخرجه مسلم في المساجد ومواضع الصلاة باب قضاء الصلاة الفائتة واستحباب تعجيل قضائها رقم 684
Abu Nu’aim dan Musa bin Ismail menceritakan kepada kami, mereka berdua berkata: Hammam menceritakan kepada kami, dari Qatadah, dari Anas, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Siapa yang terlupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia melaksanakannya apabila ia mengingatnya, tidak ada penebusnya selain itu. (Firman Allah Swt): “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Qs. Thaha [20]: 14).
Disebutkan Imam al-Bukhari dalam Kitab: Waktu-Waktu Shalat.
Bab: Orang yang terlupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia melaksanakan shalat ketika ia mengingatnya, dan ia tidak mengulangi kecuali shalat tersebut.
Juga disebutkan Imam Muslim dalam Kitab: Masjid-Masjid dan Tempat-Tempat Shalat.
Bab: Qadha’ shalat yang tertinggal dan anjuran agar menyegerakan melaksanakan Qadha’ shalat, no. 684.
Pembahasan tentang Qadha’ Shalat secara lengkap menurut empat mazhab disebutkan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 2, halaman: 1146-1161. Dar al-Fikr, Damascus. Cetakan keempat. Tahun 1418H/1997M.
“Kami diperintahkan mengqadha’ puasa
dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ shalat”.
وحدثنا عبد بن حميد أخبرنا عبدالرزاق أخبرنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت : سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة ؟
فقالت: أحرورية أنت ؟ قلت: لست بحرورية ولكني أسأل
قالت: كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
(صحيح مسلم، ج: 1، ص: 165).
‘Abd bin Humaid menceritakan kepada kami, Abdurrazzaq memberitakan kepada kami, Ma’mar memberitakan kepada kami, dari ‘Ashim, dari Mu’adzah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, saya katakan kepadanya, “Bagaimanakah dengan wanita yang haidh, mengapa mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?”.
Aisyah berkata, “Apakah engkau orang Haruriyah (pengikut Khawarij)?”. Saya jawab, “Saya bukan orang Haruriyah, akan tetapi saya bertanya”.
Aisyah menjawab, “Dulu kami mengalami haidh, kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ shalat”. (HR. Muslim).
Doa Buka Puasa.
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Apabila Rasulullah Saw berbuka, beliau mengucapkan doa:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Haus telah sirna, urat-urat telah basah, balasan telah ditetapkan, dengan kehendak Allah Swt”.
Demikian disebutkan oleh Imam Abu Daud, al-Hakim dan ad-Daraquthni. Semuanya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar.
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Saw mengucapkan:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka”. (HR. Al-Baihaqi dan Abu Daud).
Komentar Syekh ‘Utsaimin terhadap kedua hadits ini:
وهذان الحديثان وإن كان فيهما ضعف لكن بعض أهل العلم حسنهما، وعلى كل حال فإذا دعوت بذلك أو بغيره عند الإفطار فإنه موطن إجابة.
“Kedua hadits ini, meskipun dha’if, akan tetapi sebagian ulama menyatakannya sebagai hadits hasan. Bagaimanapun juga, jika Anda membacakan doa ini atau doa lain ketika berbuka, maka sesungguhnya saat berbuka itu adalah waktu terkabulnya doa”.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaitimin: 17/268).
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Apabila Rasulullah Saw berbuka, beliau mengucapkan doa:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Haus telah sirna, urat-urat telah basah, balasan telah ditetapkan, dengan kehendak Allah Swt”.
Demikian disebutkan oleh Imam Abu Daud, al-Hakim dan ad-Daraquthni. Semuanya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar.
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Saw mengucapkan:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka”. (HR. Al-Baihaqi dan Abu Daud).
Komentar Syekh ‘Utsaimin terhadap kedua hadits ini:
وهذان الحديثان وإن كان فيهما ضعف لكن بعض أهل العلم حسنهما، وعلى كل حال فإذا دعوت بذلك أو بغيره عند الإفطار فإنه موطن إجابة.
“Kedua hadits ini, meskipun dha’if, akan tetapi sebagian ulama menyatakannya sebagai hadits hasan. Bagaimanapun juga, jika Anda membacakan doa ini atau doa lain ketika berbuka, maka sesungguhnya saat berbuka itu adalah waktu terkabulnya doa”.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaitimin: 17/268).
Beberapa Hadits Shahih dan Dha'if Tentang Ramadhan.
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُهُ إِلاَّ قَلِيلاً بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ.
Dari Aisyah, ia berkata:
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw lebih banyak berpuasa dalam suatu bulan melebihi pada bulan Sya’ban. Beliau melaksanakan puasa pada sebagian besar hari-hari pada bulan Sya’ban, bahkan beliau pernah melaksanakan puasa sebulan penuh pada bulan Sya’ban”.
(HR. at-Tirmidzi).
Shahih menurut Syekh al-Albani, disebutkan dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi, no. 736.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ. (مسلم).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Apabila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”. (HR. Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ « الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan, menjadi penutup (dosa) antara keduanya, apabila menjauhi dosa besar”.
(HR. Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw:
“Semua amal anak cucu Adam (manusia) dilipatgandakan. Satu kebaikan digandakan sepuluh kali dengan kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali ganda. Allah berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi balasannya, ia meninggalkan syahwatnya dan makanannya demi Aku”. Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah daripada harum kasturi”. (HR. Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang melaksanakan Qiyamullail pada malam Ramadhan karena iman dan hanya mengharapkan balasan dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ » .
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan hanya mengharapkan balasan dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ أَحْيَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.
Aisyah berkata:
“Apabila memasuki sepuluh terakhir Ramadham, Rasulullah Saw menghidupkan malam Ramadhan, membangunkan keluarganya dan menguatkan ikat kainnya (tekun beribadah)”. (HR. an-Nasa’i dan Ahmad).
عن كعب بن عجرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « احضروا المنبر » فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : « آمين » ، فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : « آمين » فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : « آمين » ، فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه قال : « إن جبريل عليه الصلاة والسلام عرض لي فقال : بعدا لمن أدرك رمضان فلم يغفر له قلت : آمين ، فلما رقيت الثانية قال : بعدا لمن ذكرت عنده فلم يصل عليك قلت : آمين ، فلما رقيت الثالثة قال : بعدا لمن أدرك أبواه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة قلت : آمين » « هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه »
Dari Ka’ab bin ‘Ajrah, ia berkata: Rasulullah berkata, “Datanglah kamu ke mimbar”. Maka kami pun datang ke mimbar. Ketika beliau naik ke tangga pertama, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau naik ke tangga kedua, beliau mengucapkan, “Amin”. Ketika beliau naik ke tangga ketiga, beliau mengucapkan, “Amin”. Ketika beliau turun, kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kami mendengar sesuatu darimu hari ini yang tidak pernah kami dengar sebelumnya”.
Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Jibril menawarkan sesuatu kepadaku, ia berkata, “Jauh (dari rahmat Allah), orang yang mendapati Ramadhan, akan tetapi dosanya tidak diampuni”. Maka aku katakan, “Amin”.
Kemudian aku naik ke tangga kedua, ia berkata, “Jauh (dari rahmat Allah), bagi orang yang ketika namamu disebut, akan tetapi ia tidak bershalawat kepadamu”. Maka aku katakan, “Amin”.
Ketika aku naik ke tangga ketiga, Jibril berkata, “Jauh (dari rahmat Allah), orang yang hidup bersama kedua orang tuanya yang lanjut usia, keduanya atau salah seorang daripada keduanya, akan tetapi tidak menyebabkannya masuk surga”. Maka aku katakan, “Amin”.
(HR. al-Hakim).
Shahih li Ghairihi, menurut Syekh al-Albani, disebutkan dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 995.
Beberapa Hadits Dha’îf Seputar Ramadhan
حديث : ( اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان ) رواه البزار والطبراني وفي سنده زائدة بن أبي الرقاد ، قال عنه البخاري : منكر الحديث . وضعفه النسائي ، وابن حبان . وقد بيَّن بطلانه ابن حجر في: تبيين العجب بما ورد في رجب
“Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Ramadhan”.
(Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani. Dalam sanadnya terdapat Za’idah bin Abi ar-Raqqad. Imam al-Bukhari berkata tentangnya, “Ia seorang munkar al-hadits”. Imam Nasa’i dan Ibnu Hibban mendha’ifkannya. Imam Ibnu Hajar menjelaskannya dalam kitab Tabyin al-‘Ajab bi ma Warada fi Rajab).
حديث : ( أظلكم شهر عظيم .. وذكر فيه : أن أوله رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار ) ... إلخ . وهو معروف بحديث سلمان الفارسي . رواه ابن خزيمة وقال : إن صح الخبر . وفي سنده علي بن زيد بن جدعان وهو ضعيف ، وسعيد بن المسيب لم يسمع منه
“Kamu telah dinaungi bulan yang agung” ... dalam hadits tersebut disebutkan: “Awalnya rahmat, pertengahannya maghfirah dan akhirnya keselamatan dari api neraka”, dan seterusnya.
(Hadits ini dikenal diriwayatkan dari Salman al-Farisi. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, beliau berkata, “Jika khabar ini benar”. Dalam sanadnya terdapat Ali bin Zaid bin Jad’an. Ia seorang perawi yang dha’if. Sa’id bin al-Musayyib tidak mendengar hadits ini langsung dari Ali bin Zaid bin Jad’an).
حديث : ( لو يعلم العباد ما في رمضان لتمنت أمتي أن يكون رمضان السنة كلها ) رواه أبو يعلى 9/180 وقال : في سنده جرير بن أيوب ضعيف . وأخرجه ابن خزيمة 1886 وقال : إن صح الخبر .
“Kalaulah hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada dalam bulan Ramadhan, pastilah umatku berharap agar seluruh tahun itu Ramadhan semuanya”. (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la: 9/180. Ia berkata, “Dalam sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub, ia seorang periwayat yang dha’if”. Disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah: 1886. Ia berkata, “Jika khabar ini benar”).
حديث : ( صوموا تصحوا ) أخرجه أحمد 2/380 والطبراني وأبو نعيم والحاكم ، وهو حديث ضعيف
“Puasalah kamu, maka kamu akan sehat”.
(Disebutkan oleh Imam Ahmad: 2/380, ath-Thabrani, Abu Nu’aim dan al-Hakim. Hadits dha’if).
حديث : ( نوم الصائم عبادة ) أورده السيوطي في الجامع الصغير 9293 وعزاه للبيهقي ورمز له بالضعف من طريق عبدالله بن أبي أوفى . وضعفه زين الدين العراقي والبيهقي والسيوطي . انظر الفردوس 4/248 ، وإتحاف السادة 4/322 .
“Tidurnya orang yang puasa itu adalah ibadah”.
(Disebutkan Imam as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir: 9293, ia nyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, diberi tanda: hadits dha’if. Diriwayatkan dari jalur riwayat Abdullah bin Abi Aufa. Dinyatakan dha’if oleh Imam Zainuddin al-‘Iraqi, al-Baihaqi dan as-Suyuthi).
3746 - ( ضعيف جدا )
شعبان شهري ورمضان شهر الله وشعبان المطهر ورمضان المكفر
“Sya’ban adalah bulanku, Ramadhan adalah bulan Allah. Sya’ban itu yang mensucikan dan Ramadhan itu adalah penutup dosa”.
(Dha’if Jiddan (sangat dha’if). Disebutkan Syekh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 3746).
4400 - ( ضعيف )
رجب شهر الله وشعبان شهري ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku”.
(Hadits dha’if. Disebutkan Syekh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 4400).
Hukum Meriwayatkan dan Beramal Dengan Hadits Dha’if:
Boleh hukumnya meriwayatkan hadits dha’if dengan syarat sebagai berikut:
a. Tidak berkaitan dengan akidah, seperti sifat-sifat Allah.
b. Tidak berkaitan dengan penjelasan hukum-hukum syariat Islam yang berkaitan dengan halal dan haram.
Artinya, boleh meriwayatkan hadits dha’if dalam bentuk nasihat, at-Targhib (motifasi), at-Tarhib (ancaman), kisah-kisah dan lainnya .
Perlu diperhatikan bahwa ketika meriwayatkan hadits dha’if, maka tidak menggunakan kalimat:
قاَلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم
“Rasulullah bersabda: ...”
Akan tetapi digunakan kalimat:
رُوِيَ عَنْ رَسُوْلِ الله
“Diriwayatkan dari Rasulullah Saw: ...”
Sedangkan hukum beramal dengan hadits dha’if. Menurut jumhur ulama boleh diamalkan dalam fadha’il a’mal (keutamaan amal), akan tetapi dengan tiga syarat:
a. Bukan hadits yang sangat dha’if (salah satu perawinya kadzdzab [pendusta]).
b. Ada hadits shahih yang menaunginya.
c. Tidak diyakini sebagai suatu ketetapan yang pasti .
Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhû’ (Hadits Palsu).
عَنِ الْمُغِيرَةِ - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ » .
Dari al-Mughirah, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya dusta terhadapku tidaklah sama dengan dusta terhadap orang lain. Siapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka”.
(HR. Al-Bukhari).
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُهُ إِلاَّ قَلِيلاً بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ.
Dari Aisyah, ia berkata:
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw lebih banyak berpuasa dalam suatu bulan melebihi pada bulan Sya’ban. Beliau melaksanakan puasa pada sebagian besar hari-hari pada bulan Sya’ban, bahkan beliau pernah melaksanakan puasa sebulan penuh pada bulan Sya’ban”.
(HR. at-Tirmidzi).
Shahih menurut Syekh al-Albani, disebutkan dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi, no. 736.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ. (مسلم).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Apabila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”. (HR. Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ « الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan, menjadi penutup (dosa) antara keduanya, apabila menjauhi dosa besar”.
(HR. Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw:
“Semua amal anak cucu Adam (manusia) dilipatgandakan. Satu kebaikan digandakan sepuluh kali dengan kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali ganda. Allah berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi balasannya, ia meninggalkan syahwatnya dan makanannya demi Aku”. Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah daripada harum kasturi”. (HR. Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang melaksanakan Qiyamullail pada malam Ramadhan karena iman dan hanya mengharapkan balasan dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ » .
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan hanya mengharapkan balasan dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ أَحْيَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.
Aisyah berkata:
“Apabila memasuki sepuluh terakhir Ramadham, Rasulullah Saw menghidupkan malam Ramadhan, membangunkan keluarganya dan menguatkan ikat kainnya (tekun beribadah)”. (HR. an-Nasa’i dan Ahmad).
عن كعب بن عجرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « احضروا المنبر » فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : « آمين » ، فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : « آمين » فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : « آمين » ، فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه قال : « إن جبريل عليه الصلاة والسلام عرض لي فقال : بعدا لمن أدرك رمضان فلم يغفر له قلت : آمين ، فلما رقيت الثانية قال : بعدا لمن ذكرت عنده فلم يصل عليك قلت : آمين ، فلما رقيت الثالثة قال : بعدا لمن أدرك أبواه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة قلت : آمين » « هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه »
Dari Ka’ab bin ‘Ajrah, ia berkata: Rasulullah berkata, “Datanglah kamu ke mimbar”. Maka kami pun datang ke mimbar. Ketika beliau naik ke tangga pertama, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau naik ke tangga kedua, beliau mengucapkan, “Amin”. Ketika beliau naik ke tangga ketiga, beliau mengucapkan, “Amin”. Ketika beliau turun, kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kami mendengar sesuatu darimu hari ini yang tidak pernah kami dengar sebelumnya”.
Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Jibril menawarkan sesuatu kepadaku, ia berkata, “Jauh (dari rahmat Allah), orang yang mendapati Ramadhan, akan tetapi dosanya tidak diampuni”. Maka aku katakan, “Amin”.
Kemudian aku naik ke tangga kedua, ia berkata, “Jauh (dari rahmat Allah), bagi orang yang ketika namamu disebut, akan tetapi ia tidak bershalawat kepadamu”. Maka aku katakan, “Amin”.
Ketika aku naik ke tangga ketiga, Jibril berkata, “Jauh (dari rahmat Allah), orang yang hidup bersama kedua orang tuanya yang lanjut usia, keduanya atau salah seorang daripada keduanya, akan tetapi tidak menyebabkannya masuk surga”. Maka aku katakan, “Amin”.
(HR. al-Hakim).
Shahih li Ghairihi, menurut Syekh al-Albani, disebutkan dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 995.
Beberapa Hadits Dha’îf Seputar Ramadhan
حديث : ( اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان ) رواه البزار والطبراني وفي سنده زائدة بن أبي الرقاد ، قال عنه البخاري : منكر الحديث . وضعفه النسائي ، وابن حبان . وقد بيَّن بطلانه ابن حجر في: تبيين العجب بما ورد في رجب
“Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Ramadhan”.
(Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani. Dalam sanadnya terdapat Za’idah bin Abi ar-Raqqad. Imam al-Bukhari berkata tentangnya, “Ia seorang munkar al-hadits”. Imam Nasa’i dan Ibnu Hibban mendha’ifkannya. Imam Ibnu Hajar menjelaskannya dalam kitab Tabyin al-‘Ajab bi ma Warada fi Rajab).
حديث : ( أظلكم شهر عظيم .. وذكر فيه : أن أوله رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار ) ... إلخ . وهو معروف بحديث سلمان الفارسي . رواه ابن خزيمة وقال : إن صح الخبر . وفي سنده علي بن زيد بن جدعان وهو ضعيف ، وسعيد بن المسيب لم يسمع منه
“Kamu telah dinaungi bulan yang agung” ... dalam hadits tersebut disebutkan: “Awalnya rahmat, pertengahannya maghfirah dan akhirnya keselamatan dari api neraka”, dan seterusnya.
(Hadits ini dikenal diriwayatkan dari Salman al-Farisi. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, beliau berkata, “Jika khabar ini benar”. Dalam sanadnya terdapat Ali bin Zaid bin Jad’an. Ia seorang perawi yang dha’if. Sa’id bin al-Musayyib tidak mendengar hadits ini langsung dari Ali bin Zaid bin Jad’an).
حديث : ( لو يعلم العباد ما في رمضان لتمنت أمتي أن يكون رمضان السنة كلها ) رواه أبو يعلى 9/180 وقال : في سنده جرير بن أيوب ضعيف . وأخرجه ابن خزيمة 1886 وقال : إن صح الخبر .
“Kalaulah hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada dalam bulan Ramadhan, pastilah umatku berharap agar seluruh tahun itu Ramadhan semuanya”. (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la: 9/180. Ia berkata, “Dalam sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub, ia seorang periwayat yang dha’if”. Disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah: 1886. Ia berkata, “Jika khabar ini benar”).
حديث : ( صوموا تصحوا ) أخرجه أحمد 2/380 والطبراني وأبو نعيم والحاكم ، وهو حديث ضعيف
“Puasalah kamu, maka kamu akan sehat”.
(Disebutkan oleh Imam Ahmad: 2/380, ath-Thabrani, Abu Nu’aim dan al-Hakim. Hadits dha’if).
حديث : ( نوم الصائم عبادة ) أورده السيوطي في الجامع الصغير 9293 وعزاه للبيهقي ورمز له بالضعف من طريق عبدالله بن أبي أوفى . وضعفه زين الدين العراقي والبيهقي والسيوطي . انظر الفردوس 4/248 ، وإتحاف السادة 4/322 .
“Tidurnya orang yang puasa itu adalah ibadah”.
(Disebutkan Imam as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir: 9293, ia nyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, diberi tanda: hadits dha’if. Diriwayatkan dari jalur riwayat Abdullah bin Abi Aufa. Dinyatakan dha’if oleh Imam Zainuddin al-‘Iraqi, al-Baihaqi dan as-Suyuthi).
3746 - ( ضعيف جدا )
شعبان شهري ورمضان شهر الله وشعبان المطهر ورمضان المكفر
“Sya’ban adalah bulanku, Ramadhan adalah bulan Allah. Sya’ban itu yang mensucikan dan Ramadhan itu adalah penutup dosa”.
(Dha’if Jiddan (sangat dha’if). Disebutkan Syekh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 3746).
4400 - ( ضعيف )
رجب شهر الله وشعبان شهري ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku”.
(Hadits dha’if. Disebutkan Syekh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 4400).
Hukum Meriwayatkan dan Beramal Dengan Hadits Dha’if:
Boleh hukumnya meriwayatkan hadits dha’if dengan syarat sebagai berikut:
a. Tidak berkaitan dengan akidah, seperti sifat-sifat Allah.
b. Tidak berkaitan dengan penjelasan hukum-hukum syariat Islam yang berkaitan dengan halal dan haram.
Artinya, boleh meriwayatkan hadits dha’if dalam bentuk nasihat, at-Targhib (motifasi), at-Tarhib (ancaman), kisah-kisah dan lainnya .
Perlu diperhatikan bahwa ketika meriwayatkan hadits dha’if, maka tidak menggunakan kalimat:
قاَلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم
“Rasulullah bersabda: ...”
Akan tetapi digunakan kalimat:
رُوِيَ عَنْ رَسُوْلِ الله
“Diriwayatkan dari Rasulullah Saw: ...”
Sedangkan hukum beramal dengan hadits dha’if. Menurut jumhur ulama boleh diamalkan dalam fadha’il a’mal (keutamaan amal), akan tetapi dengan tiga syarat:
a. Bukan hadits yang sangat dha’if (salah satu perawinya kadzdzab [pendusta]).
b. Ada hadits shahih yang menaunginya.
c. Tidak diyakini sebagai suatu ketetapan yang pasti .
Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhû’ (Hadits Palsu).
عَنِ الْمُغِيرَةِ - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ » .
Dari al-Mughirah, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya dusta terhadapku tidaklah sama dengan dusta terhadap orang lain. Siapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka”.
(HR. Al-Bukhari).
Shalat Dhuha Berjamaah.
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Bolehkan melaksanakan shalat Dhuha berjamaah?
صَلَاةُ التَّطَوُّعِ فِي جَمَاعَةٍ نَوْعَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ كَالْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَقِيَامِ رَمَضَانَ فَهَذَا يُفْعَلُ فِي الْجَمَاعَةِ دَائِمًا كَمَا مَضَتْ بِهِ السُّنَّةُ .
الثَّانِي : مَا لَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ : كَقِيَامِ اللَّيْلِ وَالسُّنَنِ الرَّوَاتِبِ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ وَنَحْوِ ذَلِكَ .
فَهَذَا إذَا فُعِلَ جَمَاعَةً أَحْيَانًا جَازَ .
مجموع فتاوى ابن تيمية: 5/381.
Shalat sunnat terbagi kepada dua:
Pertama: shalat sunnat yang disunnatkan untuk dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat Kusuf (Gerhana Matahari), shalat Istisqa’ (minta hujan) dan shalat malam Ramadhan. Shalat-shalat sunnat ini dilaksanakan secara berjamaah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
Kedua: shalat sunnat yang tidak dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat Qiyamullail, shalat sunnat Rawatib, shalat Dhuha, shalat sunnat Tahyatulmasjid dan shalat-shalat sunnat lainnya. Shalat-shalat sunnat jenis ini jika dilaksanakan secara berjamaah, maka hukumnya boleh, jika dilaksanakan sekali-sekali.
(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiah: juz. 5, halaman: 381).
Demikian juga menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan Raudhatu ath-Thalibin, sebagaimana yang disebutkan dalam teks-teks berikut:
صَلَاةُ التَّطَوُّعِ فِي جَمَاعَةٍ نَوْعَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ كَالْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَقِيَامِ رَمَضَانَ ، فَهَذَا يُفْعَلُ فِي الْجَمَاعَةِ دَائِمًا كَمَا مَضَتْ بِهِ السُّنَّةُ .
الثَّانِي : مَا لَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ : كَقِيَامِ اللَّيْلِ ، وَالسُّنَنِ الرَّوَاتِبِ ، وَصَلَاةِ الضُّحَى ، وَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ وَنَحْوِ ذَلِكَ .
فَهَذَا إذَا فُعِلَ جَمَاعَةً أَحْيَانًا جَازَ .
الفتاوى الكبرى: 2/429
وأما النوافل فقد سبق في باب صلاة التطوع ما يشرع فيه الجماعة منها وما لا يشرع ومعنى قولهم لا يشرع لا تستحب فلو صلى هذا النوع جماعة جاز ولا يقال مكروه فقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة على ذلك والله أعلم.
(روضة الطالبين: 1/124).
(الشرح) قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح علي الاصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك
المجموع: 4/4
(الثامنة) قد سبق ان النوافل لا تشرع الجماعة فيها الا في العيدين والكسوفين والاستسقاء وكذا التراويح والوتر بعدها إذا قلنا بالاصح ان الجماعة فيها أفضل وأما باقى النوافل كالسنن الراتبة مع الفرائض والضحي والنوافل المطلقة فلا تشرع فيها الجماعة أي لا تستحب لكن لو صلاها جماعة جاز ولا يقال انه مكروه وقد نص الشافعي رحمه الله في مختصري البويطي والربيع علي انه لا باس بالجماعة في النافلة ودليل جوازها جماعة احاديث كثيرة في الصحيح منها حديث عتبان ابن مالك رضى الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم " جاءه في بيته بعد ما اشتد النهار ومعه أبو بكر رضي الله عنه فقال النبي صلي الله عليه وسلم أين تحب أن أصلى من بيتك فاشرت إلى المكان الذى أحب ان يصلى فيه فقام وصفنا خلفه ثم سلم وسلمنا حين سلم " رواه البخاري ومسلم وثبتت الجماعة في النافلة مع رسول الله صلي الله عليه وسلم من رواية ابن عباس وأنس بن مالك وابن مسعود وحذيفة رضى الله عنهم واحاديثهم كلها في الصحيحين الا حديث حذيفة ففى مسلم فقط والله أعلم (المجموع: 4/55).
(الشرح) قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح علي الاصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك
المجموع: 4/4
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Bolehkan melaksanakan shalat Dhuha berjamaah?
صَلَاةُ التَّطَوُّعِ فِي جَمَاعَةٍ نَوْعَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ كَالْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَقِيَامِ رَمَضَانَ فَهَذَا يُفْعَلُ فِي الْجَمَاعَةِ دَائِمًا كَمَا مَضَتْ بِهِ السُّنَّةُ .
الثَّانِي : مَا لَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ : كَقِيَامِ اللَّيْلِ وَالسُّنَنِ الرَّوَاتِبِ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ وَنَحْوِ ذَلِكَ .
فَهَذَا إذَا فُعِلَ جَمَاعَةً أَحْيَانًا جَازَ .
مجموع فتاوى ابن تيمية: 5/381.
Shalat sunnat terbagi kepada dua:
Pertama: shalat sunnat yang disunnatkan untuk dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat Kusuf (Gerhana Matahari), shalat Istisqa’ (minta hujan) dan shalat malam Ramadhan. Shalat-shalat sunnat ini dilaksanakan secara berjamaah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
Kedua: shalat sunnat yang tidak dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat Qiyamullail, shalat sunnat Rawatib, shalat Dhuha, shalat sunnat Tahyatulmasjid dan shalat-shalat sunnat lainnya. Shalat-shalat sunnat jenis ini jika dilaksanakan secara berjamaah, maka hukumnya boleh, jika dilaksanakan sekali-sekali.
(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiah: juz. 5, halaman: 381).
Demikian juga menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan Raudhatu ath-Thalibin, sebagaimana yang disebutkan dalam teks-teks berikut:
صَلَاةُ التَّطَوُّعِ فِي جَمَاعَةٍ نَوْعَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ كَالْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَقِيَامِ رَمَضَانَ ، فَهَذَا يُفْعَلُ فِي الْجَمَاعَةِ دَائِمًا كَمَا مَضَتْ بِهِ السُّنَّةُ .
الثَّانِي : مَا لَا تُسَنُّ لَهُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ : كَقِيَامِ اللَّيْلِ ، وَالسُّنَنِ الرَّوَاتِبِ ، وَصَلَاةِ الضُّحَى ، وَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ وَنَحْوِ ذَلِكَ .
فَهَذَا إذَا فُعِلَ جَمَاعَةً أَحْيَانًا جَازَ .
الفتاوى الكبرى: 2/429
وأما النوافل فقد سبق في باب صلاة التطوع ما يشرع فيه الجماعة منها وما لا يشرع ومعنى قولهم لا يشرع لا تستحب فلو صلى هذا النوع جماعة جاز ولا يقال مكروه فقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة على ذلك والله أعلم.
(روضة الطالبين: 1/124).
(الشرح) قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح علي الاصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك
المجموع: 4/4
(الثامنة) قد سبق ان النوافل لا تشرع الجماعة فيها الا في العيدين والكسوفين والاستسقاء وكذا التراويح والوتر بعدها إذا قلنا بالاصح ان الجماعة فيها أفضل وأما باقى النوافل كالسنن الراتبة مع الفرائض والضحي والنوافل المطلقة فلا تشرع فيها الجماعة أي لا تستحب لكن لو صلاها جماعة جاز ولا يقال انه مكروه وقد نص الشافعي رحمه الله في مختصري البويطي والربيع علي انه لا باس بالجماعة في النافلة ودليل جوازها جماعة احاديث كثيرة في الصحيح منها حديث عتبان ابن مالك رضى الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم " جاءه في بيته بعد ما اشتد النهار ومعه أبو بكر رضي الله عنه فقال النبي صلي الله عليه وسلم أين تحب أن أصلى من بيتك فاشرت إلى المكان الذى أحب ان يصلى فيه فقام وصفنا خلفه ثم سلم وسلمنا حين سلم " رواه البخاري ومسلم وثبتت الجماعة في النافلة مع رسول الله صلي الله عليه وسلم من رواية ابن عباس وأنس بن مالك وابن مسعود وحذيفة رضى الله عنهم واحاديثهم كلها في الصحيحين الا حديث حذيفة ففى مسلم فقط والله أعلم (المجموع: 4/55).
(الشرح) قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح علي الاصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك
المجموع: 4/4
Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Hadits-hadits tentang keutamaan malam Nisfhu Sya’ban disebutkan dalam Musnad Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Thabrani dan Musnad al-Bazzar.
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah Swt memperhatikan para makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Ia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali musyrik dan orang yang bertengkar”.
Dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1144.
Teksnya lengkapnya dapat dilihat dibawah ini:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن النَّضْرِ الْعَسْكَرِيُّ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بن خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عُتْبَةُ بن حَمَّادٍ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، وَابْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مَالِكِ بن يُخَامِرَ، عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، عَن ِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ" (المعجم الكبير للطبراني).
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا حُيَىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ لاِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ ». (مسند أحمد).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُو صَالِحٍ الْحَرَّانِيُّ يَعْنِي عَبْدَ الْغَفَّارِ بْنَ دَاوُدَ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ لَهِيعَةَ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادِ بْنِ أَنْعَمَ ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ ، عَنْ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَطَّلِعُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَيَغْفِرُ لَهُمْ كُلِّهِمْ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ. (مسند البزار).
1144 - ( صحيح )
[ يطلع الله تبارك وتعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن ] . ( صحيح ) . وفي فضل ليلة نصف شعبان أحاديث متعددة وقد اختلف فيها فضعفها الأكثرون (الألباني في السلسلة الصحيحة).
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Hadits-hadits tentang keutamaan malam Nisfhu Sya’ban disebutkan dalam Musnad Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Thabrani dan Musnad al-Bazzar.
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah Swt memperhatikan para makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Ia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali musyrik dan orang yang bertengkar”.
Dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1144.
Teksnya lengkapnya dapat dilihat dibawah ini:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن النَّضْرِ الْعَسْكَرِيُّ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بن خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عُتْبَةُ بن حَمَّادٍ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، وَابْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مَالِكِ بن يُخَامِرَ، عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، عَن ِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ" (المعجم الكبير للطبراني).
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا حُيَىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ لاِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ ». (مسند أحمد).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُو صَالِحٍ الْحَرَّانِيُّ يَعْنِي عَبْدَ الْغَفَّارِ بْنَ دَاوُدَ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ لَهِيعَةَ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادِ بْنِ أَنْعَمَ ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ ، عَنْ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَطَّلِعُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَيَغْفِرُ لَهُمْ كُلِّهِمْ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ. (مسند البزار).
1144 - ( صحيح )
[ يطلع الله تبارك وتعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن ] . ( صحيح ) . وفي فضل ليلة نصف شعبان أحاديث متعددة وقد اختلف فيها فضعفها الأكثرون (الألباني في السلسلة الصحيحة).
Hadits Tentang Doa Qunut Shubuh.
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
واحتج اصحابنا بحديث انس رضى الله عنه: أن النبي صلي الله تعالي عليه وسلم قنت شهرا يدعوا عليهم ثم ترك فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا. حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه وممن نص علي صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخى والحاكم أبو عبد الله في مواضع من كتبه والبيهقي ورواه الدار قطني من طرق بأسانيد صحيحة.
Para ulama mazhab Syafi’i berdalil dengan hadits Anas, bahwa Rasulullah Saw membaca Qunut selama satu bulan mendoakan orang-orang musyrik (yang membunuh shahabat Rasulullah Saw agar dibalas Allah Swt). Kemudian Rasulullah Saw berhenti (melakukannya). Sedangkan pada shalat Shubuh, beliau tetap membaca Qunut hingga beliau meninggal dunia.
Ini adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh sekelompok ulama hadits dari kalangan para al-Hafizh, mereka nyatakan sebagai hadits shahih. Diantara ulama yang menyatakan bahwa hadits ini shahih adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, Imam al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat dalam kitabnya dan Imam al-Baihaqi. Disebutkan oleh Imam ad-Daraquthni lewat beberapa jalur periwayatan dengan sanad-sanad yang shahih.
وعن العوام بن حمزة قال: سألت أبا عثمان عن القنوت في الصبح قال: بعد الركوع قلت: عمن؟ قال: عن أبى بكر وعمر وعثمان رضي الله تعالي عنهم. رواه البيهقي وقال هذا إسناد حسن.
Dari al-‘Awwam bin Hamzah, ia berkata: “Saya bertanya kepada Abu Utsman tentang doa Qunut pada shalat Shubuh”. Ia menjawab, “Dibaca setelah ruku’”. Saya bertanya kepadanya, “Dari siapa?”. Ia menjawab, “Dari Abu Bakar, Umar dan Utsman”. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ia berkata, “Sanadnya hasan”.
ورواه البيهقى عن عمر أيضا من طرق وعن عبد الله بن معقل - بفتح الميم وإسكان العين المهملة وكسر القاف - التابعي قال " قنت علي رضى الله عنه في الفجر " رواه البيهقى وقال هذا عن علي صحيح مشهور.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Umar, dari beberapa jalur periwayatan, dari Abdullah bin Ma’qil seorang tabi’in, ia berkata, “Imam Ali bin Abi Thalib membaca doa Qunut pada shalat Shubuh”. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ia berkata, “Ini dari Imam Ali, shahih masyhur”.
وعن البراء رضى الله تعالى عنه: أن رسول الله صلي الله عليه وسلم كان يقنت في الصبح والمغرب. رواه مسلم ورواه أبو داود وليس في روايته ذكر المغرب ولا يضر ترك الناس القنوت في صلاة المغرب لانه ليس بواجب أو دل الاجماع على نسخه فيها.
Dari al-Barra’: sesungguhnya Rasulullah Saw membaca doa Qunut pada shalat Shubuh dan shalat Maghrib. Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud tanpa menyebutkan shalat Maghrib. Doa Qunut tidak dibaca lagi dalam shalat Maghrib karena doa Qunut dalam shalat Maghrib tersebut tidak wajib dan menurut Ijma’ ulama hukum membaca doa Qunut dalam shalat Maghrib telah dinasakh (mansukh).
وأما الحواب عن حديث أنس وأبى هريرة رضي الله عنهما في قوله ثم تركه فالمراد ترك الدعاء على أولئك الكفار ولعنتهم فقط، لا ترك جميع القنوت أو ترك القنوت في غير الصبح وهذا التأويل متعين لان حديث أنس في قوله: لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا. صحيح صريح فيجب الجمع بينهما وهذا الذى ذكرناه متعين للجمع وقد روى البيهقي باسناده عن عبد الرحمن بن مهدي الامام انه قال: انما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية أبي هريرة السابقة وهي قوله: ثم ترك الدعاء لهم.
(Beberapa Jawaban Imam Nawawi Terhadap Riwayat-Riwayat Yang Menyebutkan Bahwa Rasulullah Saw Tidak Membaca Doa Qunut Pada Shalat Shubuh).
Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abu Hurairah, tentang makna kalimat:
ثم تركه
“Kemudian Rasulullah Saw meninggalkannya”. Maksudnya adalah Rasulullah Saw tidak lagi membacakan doa dan laknat terhadap orang-orang kafir. Bukan berarti meninggalkan doa Qunut secara keseluruhan. Atau makna lain: Rasulullah Saw meninggalkan doa Qunut dalam shalat lain selain shalat Shubuh. Demikian takwil yang sesuai, karena hadits Anas menyebutkan: Rasulullah Saw terus membaca doa Qunut hingga meninggal dunia. Shahih dan jelas, maka kedua hadits ini mesti dikombinasikan. Makna yang telah kami sebutkan merupakan kombinasi antara kedua hadits tersebut. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Imam Abdurrahman bin Mahdi bahwa ia berkata, “Rasulullah Saw hanya meninggalkan laknat (terhadap orang-orang kafir)”. Penakwilan ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah diatas yang menyatakan:
ثم ترك الدعاء لهم
“Kemudian Rasulullah Saw meninggalkan doa terhadap mereka”.
والجواب عن حديث سعد بن طارق أن رواية الذين اثبتوا القنوت معهم زيادة علم وهم أكثر فوجب تقديمهم.
Jawaban terhadap hadits Sa’ad bin Thariq bahwa riwayat yang menetapkan adanya Qunut (Shubuh) merupakan pengetahuan tambahan. Riwayat yang menetapkan adanya Qunut (Shubuh) lebih banyak, maka wajib untuk didahulukan.
وعن حديث ابن مسعود أنه ضعيف جدا لانه من رواية محمد بن جابر السحمى وهو شديد الضعف متروك. ولانه نفي وحديث أنس إثبات فقدم لزيادة العلم
Jawaban terhadap hadits Ibnu Mas’ud, hadits tersebut adalah hadits Dha’if Jiddan, karena diriwayatkan oleh Muhammad bin Jabir as-Sahmi, statusnya sangat dha’if matruk. Karena haditsnya menafikan Qunut (Shubuh) sedangkan hadits Anas menetapkan adanya Qunut (Shubuh), maka hadits yang menetapkan adanya Qunut (Shubuh) lebih didahulukan karena adanya pengetahuan tambahan.
وحديث ابن عمر أنه لم يحفظه أو نسيه وقد حفظه أنس والبراء بن عازب وغيرهما فقدم من حفظ
Jawaban terhadap hadits Ibnu Umar, ia tidak mengingatnya, atau ia lupa. Akan tetapi Anas, al-Barra’ bin ‘Azib dan yang lain mengingatnya. Maka riwayat yang mengingat lebih didahulukan.
وعن حديث ابن عباس أنه ضعيف جدا وقد رواه البيهقى من رواية أبى ليلي الكوفى وقال هذا لا يصح وابو ليلى متروك وقد روينا عن ابن عباس: انه قنت في الصبح.
Jawaban terhadap hadits Ibnu Abbas, hadits tersebut adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah). Disebutkan oleh al-Baihaqi dari riwayat Abu Laila al-Kufi, ia berkata, “Tidak shahih. Status Abu Laila adalah Matruk. Telah kami riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia membaca Qunut pada shalat Shubuh.
وعن حديث أم سلمة انه ضعيف لانه من رواية محمد بن يعلي عن عنبسة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن نافع عن ابيه عن ام سلمة قال الدار قطني هؤلاء الثلاثة ضعفاء ولا يصح لنافع سماع من ام سلمة والله اعلم.
Jawaban terhadap hadits Ummu Salamah, hadits tersebut adalah hadits dha’if, karena diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’la dari ‘Anbasah bin Abdirrahman, dari Abdillah bin Nafi’, dari Bapaknya, dari Ummu Salamah. Ad-Daraquthni berkata, “Ketiga perawi ini dha’if. Tidak benar bahwa Nafi’ mendengar hadits tersebut dari Ummu Salamah”. Wallahu a’lam.
(المجموع شرح المهذب للنووي: جـ 3، صـ 505).
Dari kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi, juz: 3, halaman: 505. Diterjemahkan oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
واحتج اصحابنا بحديث انس رضى الله عنه: أن النبي صلي الله تعالي عليه وسلم قنت شهرا يدعوا عليهم ثم ترك فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا. حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه وممن نص علي صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخى والحاكم أبو عبد الله في مواضع من كتبه والبيهقي ورواه الدار قطني من طرق بأسانيد صحيحة.
Para ulama mazhab Syafi’i berdalil dengan hadits Anas, bahwa Rasulullah Saw membaca Qunut selama satu bulan mendoakan orang-orang musyrik (yang membunuh shahabat Rasulullah Saw agar dibalas Allah Swt). Kemudian Rasulullah Saw berhenti (melakukannya). Sedangkan pada shalat Shubuh, beliau tetap membaca Qunut hingga beliau meninggal dunia.
Ini adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh sekelompok ulama hadits dari kalangan para al-Hafizh, mereka nyatakan sebagai hadits shahih. Diantara ulama yang menyatakan bahwa hadits ini shahih adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, Imam al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat dalam kitabnya dan Imam al-Baihaqi. Disebutkan oleh Imam ad-Daraquthni lewat beberapa jalur periwayatan dengan sanad-sanad yang shahih.
وعن العوام بن حمزة قال: سألت أبا عثمان عن القنوت في الصبح قال: بعد الركوع قلت: عمن؟ قال: عن أبى بكر وعمر وعثمان رضي الله تعالي عنهم. رواه البيهقي وقال هذا إسناد حسن.
Dari al-‘Awwam bin Hamzah, ia berkata: “Saya bertanya kepada Abu Utsman tentang doa Qunut pada shalat Shubuh”. Ia menjawab, “Dibaca setelah ruku’”. Saya bertanya kepadanya, “Dari siapa?”. Ia menjawab, “Dari Abu Bakar, Umar dan Utsman”. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ia berkata, “Sanadnya hasan”.
ورواه البيهقى عن عمر أيضا من طرق وعن عبد الله بن معقل - بفتح الميم وإسكان العين المهملة وكسر القاف - التابعي قال " قنت علي رضى الله عنه في الفجر " رواه البيهقى وقال هذا عن علي صحيح مشهور.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Umar, dari beberapa jalur periwayatan, dari Abdullah bin Ma’qil seorang tabi’in, ia berkata, “Imam Ali bin Abi Thalib membaca doa Qunut pada shalat Shubuh”. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ia berkata, “Ini dari Imam Ali, shahih masyhur”.
وعن البراء رضى الله تعالى عنه: أن رسول الله صلي الله عليه وسلم كان يقنت في الصبح والمغرب. رواه مسلم ورواه أبو داود وليس في روايته ذكر المغرب ولا يضر ترك الناس القنوت في صلاة المغرب لانه ليس بواجب أو دل الاجماع على نسخه فيها.
Dari al-Barra’: sesungguhnya Rasulullah Saw membaca doa Qunut pada shalat Shubuh dan shalat Maghrib. Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud tanpa menyebutkan shalat Maghrib. Doa Qunut tidak dibaca lagi dalam shalat Maghrib karena doa Qunut dalam shalat Maghrib tersebut tidak wajib dan menurut Ijma’ ulama hukum membaca doa Qunut dalam shalat Maghrib telah dinasakh (mansukh).
وأما الحواب عن حديث أنس وأبى هريرة رضي الله عنهما في قوله ثم تركه فالمراد ترك الدعاء على أولئك الكفار ولعنتهم فقط، لا ترك جميع القنوت أو ترك القنوت في غير الصبح وهذا التأويل متعين لان حديث أنس في قوله: لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا. صحيح صريح فيجب الجمع بينهما وهذا الذى ذكرناه متعين للجمع وقد روى البيهقي باسناده عن عبد الرحمن بن مهدي الامام انه قال: انما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية أبي هريرة السابقة وهي قوله: ثم ترك الدعاء لهم.
(Beberapa Jawaban Imam Nawawi Terhadap Riwayat-Riwayat Yang Menyebutkan Bahwa Rasulullah Saw Tidak Membaca Doa Qunut Pada Shalat Shubuh).
Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abu Hurairah, tentang makna kalimat:
ثم تركه
“Kemudian Rasulullah Saw meninggalkannya”. Maksudnya adalah Rasulullah Saw tidak lagi membacakan doa dan laknat terhadap orang-orang kafir. Bukan berarti meninggalkan doa Qunut secara keseluruhan. Atau makna lain: Rasulullah Saw meninggalkan doa Qunut dalam shalat lain selain shalat Shubuh. Demikian takwil yang sesuai, karena hadits Anas menyebutkan: Rasulullah Saw terus membaca doa Qunut hingga meninggal dunia. Shahih dan jelas, maka kedua hadits ini mesti dikombinasikan. Makna yang telah kami sebutkan merupakan kombinasi antara kedua hadits tersebut. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Imam Abdurrahman bin Mahdi bahwa ia berkata, “Rasulullah Saw hanya meninggalkan laknat (terhadap orang-orang kafir)”. Penakwilan ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah diatas yang menyatakan:
ثم ترك الدعاء لهم
“Kemudian Rasulullah Saw meninggalkan doa terhadap mereka”.
والجواب عن حديث سعد بن طارق أن رواية الذين اثبتوا القنوت معهم زيادة علم وهم أكثر فوجب تقديمهم.
Jawaban terhadap hadits Sa’ad bin Thariq bahwa riwayat yang menetapkan adanya Qunut (Shubuh) merupakan pengetahuan tambahan. Riwayat yang menetapkan adanya Qunut (Shubuh) lebih banyak, maka wajib untuk didahulukan.
وعن حديث ابن مسعود أنه ضعيف جدا لانه من رواية محمد بن جابر السحمى وهو شديد الضعف متروك. ولانه نفي وحديث أنس إثبات فقدم لزيادة العلم
Jawaban terhadap hadits Ibnu Mas’ud, hadits tersebut adalah hadits Dha’if Jiddan, karena diriwayatkan oleh Muhammad bin Jabir as-Sahmi, statusnya sangat dha’if matruk. Karena haditsnya menafikan Qunut (Shubuh) sedangkan hadits Anas menetapkan adanya Qunut (Shubuh), maka hadits yang menetapkan adanya Qunut (Shubuh) lebih didahulukan karena adanya pengetahuan tambahan.
وحديث ابن عمر أنه لم يحفظه أو نسيه وقد حفظه أنس والبراء بن عازب وغيرهما فقدم من حفظ
Jawaban terhadap hadits Ibnu Umar, ia tidak mengingatnya, atau ia lupa. Akan tetapi Anas, al-Barra’ bin ‘Azib dan yang lain mengingatnya. Maka riwayat yang mengingat lebih didahulukan.
وعن حديث ابن عباس أنه ضعيف جدا وقد رواه البيهقى من رواية أبى ليلي الكوفى وقال هذا لا يصح وابو ليلى متروك وقد روينا عن ابن عباس: انه قنت في الصبح.
Jawaban terhadap hadits Ibnu Abbas, hadits tersebut adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah). Disebutkan oleh al-Baihaqi dari riwayat Abu Laila al-Kufi, ia berkata, “Tidak shahih. Status Abu Laila adalah Matruk. Telah kami riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia membaca Qunut pada shalat Shubuh.
وعن حديث أم سلمة انه ضعيف لانه من رواية محمد بن يعلي عن عنبسة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن نافع عن ابيه عن ام سلمة قال الدار قطني هؤلاء الثلاثة ضعفاء ولا يصح لنافع سماع من ام سلمة والله اعلم.
Jawaban terhadap hadits Ummu Salamah, hadits tersebut adalah hadits dha’if, karena diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’la dari ‘Anbasah bin Abdirrahman, dari Abdillah bin Nafi’, dari Bapaknya, dari Ummu Salamah. Ad-Daraquthni berkata, “Ketiga perawi ini dha’if. Tidak benar bahwa Nafi’ mendengar hadits tersebut dari Ummu Salamah”. Wallahu a’lam.
(المجموع شرح المهذب للنووي: جـ 3، صـ 505).
Dari kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi, juz: 3, halaman: 505. Diterjemahkan oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Bacaan al-Qur’an Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia.
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
(Dikutip Dari Kitab: al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu [The Islamic Jurisprudence and It’s Evidences]. Penulis: Syekh Wahbah az-Zuhaili. Juz. 1, Hal. 1579 - 1581. Dar al-Fikr, Damascus. Cetakan ke: IV, tahun 1418H/1997M.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.)
خامساً ـ القراءة على الميت وإهداء الثواب له:
ههنا مسائل للفقهاء :
أ ـ أجمع العلماء على انتفاع الميت بالدعاء والاستغفار بنحو «اللهم اغفر له، اللهم ارحمه» ، والصدقة، وأداء الواجبات البدنية ـ المالية التي تدخلها النيابة كالحج، لقوله تعالى: {والذين جاءوا من بعدهم يقولون: ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان} [الحشر:10/59] وقوله سبحانه: {واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات} [محمد:19/47]، ودعا النبي صلّى الله عليه وسلم لأبي سلمة حين مات، وللميت الذي صلى عليه في حديث عوف بن مالك، ولكل ميت صلى عليه. وسأل رجل النبي صلّى الله عليه وسلم فقال: «يا رسول الله ، إن أمي ماتت، فينفعها إن تصدقت عنها؟ قال: نعم» ، وجاءت امرأة إلى النبي صلّى الله عليه وسلم فقالت: «يا رسول الله ، إن فريضة الله في الحج أدركت أبي شيخاً كبيراً، لا يستطيع أن يثبت على الراحلة، أفأحج عنه؟ قال: أرأيت لو كان على أبيك دين أكنت قاضيته؟ قالت: نعم، قال: فدين الله أحق أن يقضى» وقال للذي سأله: «إن أمي ماتت وعليها صوم شهر، أفأصوم عنها؟ قال: نعم» .
قال ابن قدامة: وهذه أحاديث صحاح، وفيها دلالة على انتفاع الميت بسائر القرب؛ لأن الصوم والدعاء والاستغفار عبادات بدنية، وقد أوصل الله نفعها إلى الميت، فكذلك ما سواها.
Kelima: Bacaan al-Qur’an Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia dan Menghadiahkan Pahala Bacaannya Kepada Orang Yang Telah Meninggal Tersebut.
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama ahli Fiqh :
a. Ulama telah Ijma’ (kesepakatan) bahwa orang yang telah maninggal dunia mendapat manfaat dari doa dan permohonan ampunan (istighfar) dari orang yang masih hidup, seperti doa:
اللهم اغفر له، اللهم ارحمه
“Ya Allah ampunilah dia, ya Allah kasihilah dia”.
Sedekah, menunaikan kewajiban-kewajiban yang bersifat badani (fisik) dan maly (harta) yang bisa diwakilkan seperti ibadah haji, berdasarkan firman Allah Swt:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”. (Qs. Al-Hasyr [59]: 10). Dan firman Allah:
واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Qs. Muhammad [47]: 19).
Doa Rasulullah Saw untuk Abu Salamah ketika ia meninggal dunia dan doa beliau untuk mayat yang beliau shalatkan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ‘Auf bin Malik dan setiap mayat yang dishalatkan.
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ibu saya telah meninggal, jika saya bersedekah, apakah sedekah itu bermanfaat baginya?”. Rasulullah Saw menjawab, “Ya” .
Seorang perempuan datang menghadap Rasulullah Saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan ibadah haji, saya dapati ayah saya telah lanjut usia, ia tidak mampu duduk tetap diatas hewan tunggangan, bolehkah saya melaksanakan ibadah haji untuknya?”. Rasulullah Saw menjawab, “Jika ayahmu memiliki hutang, apakah menurutmu engkau dapat membayarkannya?”. Perempuan itu menjawab, “Ya”. rasulullah Saw berkata, “Hutang Allah lebih berhak untuk ditunaikan” .
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ibu saya telah meninggal dunia, ia memiliki hutang puasa satu bulan. Apakah saya melaksanakan puasa untuknya?”. Rasulullah menjawab, “Ya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata, “Hadits-hadits ini adalah hadits-hadits shahih. Di dalamnya terkandung dalil bahwa orang yang telah meninggal dunia mendapatkan manfaat dari semua ibadah yang dilakukan orang yang masih hidup, karena puasa, doa dan permohonan ampunan (istighfar) adalah ibadah-ibadah badani (fisik). Allah Swt menyampaikan manfaatnya kepada orang yang telah meninggal dunia, demikian juga dengan ibadah-ibadah yang lain.
ب ـ اختلف العلماء في وصول ثواب العبادات البدنية المحضة كالصلاة وتلاوة القرآن إلى غير فاعلها على رأيين: رأي الحنفية والحنابلة ومتأخري الشافعية والمالكية بوصول القراءة للميت إذا كان بحضرته، أو دعا له عقبها، ولو غائباً؛ لأن محل القراءة تنزل فيه الرحمة والبركة، والدعاء عقبها أرجى للقبول.
ورأي متقدمي المالكية والمشهور عند الشافعية الأوائل: عدم وصول ثواب العبادات المحضة لغير فاعلها.
B. Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala ibadah yang bersifat badani (fisik) murni seperti shalat, bacaan al-Qur’an dan lainnya, apakah sampai kepada orang lain. Ada dua pendapat. Menurut pendapat mazhab Hanafi, Hanbali, generasi terakhir mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat jika dibacakan di hadapannya, atau dibacakan doa setelah membacanya, meskipun telah dikebumikan, karena rahmat dan berkah turun di tempat membaca al-Qur’an tersebut dan doa setelah membaca al-Qur’an itu diharapkan maqbul atau diperkenankan Allah Swt.
Sedangkan menurut pendapat generasi awal mazhab Maliki dan menurut pendapat yang masyhur menurut generasi awal mazhab Syafi’i menyatakan: balasan pahala ibadah mahdhah (murni) tidak sampai kepada orang lain.
قال الحنفية: المختار عدم كراهة إجلاس القارئين ليقرؤوا عند القبر، وقالوا في باب الحج عن الغير: للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره: صلاة كان عمله، أو صوماً أو صدقة أوغيرها، وأن ذلك لا ينقص من أجره شيئاً.
وقال الحنابلة: لا بأس بالقراءة عند القبر، للحديث المتقدم: «من دخل المقابر، فقرأ سورة يس، خفف عنهم يومئذ، وكان له بعدد من فيها حسنات» وحديث «من زار قبر والديه، فقرأ عنده أو عندهما يس، غفر له» .
وقال المالكية: تكره القراءة على الميت بعد موته وعلى قبره؛ لأنه ليس من عمل السلف، لكن المتأخرون على أنه لا بأس بقراءة القرآن والذكر وجعل ثوابه للميت، ويحصل له الأجر إن شاء الله .
Menurut mazhab Hanafi: menurut pendapat pilihan, tidak makruh mendudukkan para pembaca al-Qur’an untuk membacakan al-Qur’an di kubur. Mereka berpendapat tentang menghajikan orang lain, orang boleh memberikan balasan pahala amalnya kepada orang lain, maka shalat adalah amalnya, atau puasa, atau sedekah atau amal lainnya. Dan itu tidak mengurangi balasan amalnya walau sedikit pun.
Menurut mazhab Hanbali: boleh membaca al-Qur’an di kubur, berdasarkan hadits: “Siapa yang masuk ke pekuburan, lalu ia membaca surat Yasin, maka azab mereka hari itu diringankan dan ia mendapatkan balasan pahala sejumlah kebaikan yang ada di dalamnya”. Dan hadits: “Siapa yang ziarah kubur orang tuanya, lalu ia membaca Yasin di kubur orang tuanya, maka ia diampuni” .
Menurut mazhab Maliki: makruh hukumnya membaca al-Qur’an untuk mayat dan diatas kubur, karena bukan amalan kalangan Salaf. Akan tetapi generasi terakhir mazhab Maliki menyatakan: boleh membaca al-Qur’an dan zikir, kemudian balasan pahalanya dihadiahkan kepada mayat. Maka mayat akan mendapatkan balasan pahalanya insya Allah.
وقال متقدمو الشافعية: المشهور أنه لا ينفغ الميت ثواب غير عمله، كالصلاة عنه قضاء أو غيرها وقراءة القرآن. وحقق المتأخرون منهم وصول ثواب القراءة للميت، كالفاتحة وغيرها. وعليه عمل الناس، وما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن. وإذا ثبت أن الفاتحة تنفع الحي الملدوغ، وأقر النبي صلّى الله عليه وسلم ذلك بقوله: «وما يدريك أنها رقية؟» كان نفع الميت بها أولى.
Generasi awal mazhab Syafi’i berpendapat: menurut pendapat yang masyhur bahwa mayat tidak mendapatkan pahala selain dari balasan amalnya sendiri seperti shalat qadha’ yang dilaksanakan untuknya atau ibadah lainnya dan bacaan al-Qur’an. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i generasi terakhir menyatakan: pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat, seperti bacaan al-Fatihah dan lainnya. Demikian yang dilakukan banyak kaum muslimin. Apa yang dianggap kaum muslimin baik, maka itu baik di sisi Allah. Jika menurut hadits shahih bahwa bacaan al-Fatihah itu mendatangkan manfaat bagi orang hidup yang tersengat binatang berbisa dan Rasulullah Saw mengakuinya dengan sabdanya, “Darimana engkau tahu bahwa al-Fatihah itu adalah ruqyah?”. Maka tentulah bacaan al-Fatihah itu lebih mendatangkan manfaat bagi orang yang telah meninggal dunia.
وبذلك يكون مذهب متأخري الشافعية كمذاهب الأئمة الثلاثة: أن ثواب القراءة يصل إلى الميت، قال السبكي: والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه، نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي صلّى الله عليه وسلم بقوله: «وما يدريك أنها رقية» وإذا نفعت الحي بالقصد، كان نفع الميت بها أولى. وقد جوز القاضي حسين الاستئجار على قراءة القرآن عند الميت. قال ابن الصلاح: وينبغي أن يقول: «اللهم أوصل ثواب ما قرأنا لفلان» فيجعله دعاء، ولا يختلف في ذلك القريب والبعيد، وينبغي الجزم بنفع هذا؛ لأنه إذا نفع الدعاء وجاز بما ليس للداعي، فلأن يجوز بما له أولى، وهذا لا يختص بالقراءة، بل يجري في سائر الأعمال.
Dengan demikian maka generasi belakangan mazhab Syafi’i sama seperti tiga mazhab diatas: bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat. Imam as-Subki berkata, “Menurut dalil yang terkandung dalam Khabar berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an dibaca dengan niat agar mendatangkan manfaat bagi mayat dan meringankan azabnya, maka itu mendatangkan manfaat baginya, karena menurut hadits shahih bahwa jika surat al-Fatihah itu dibacakan kepada orang yang tersengat binatang berbisa, maka itu bermanfaat baginya dan Rasulullah Saw mengakuinya dengan sabdanya, “Darimana engkau tahu bahwa surat al-Fatihah itu ruqyah?”. Jika surat al-Fatihah bermanfaat bagi orang yang masih hidup –jika memang diniatkan untuk itu-, maka tentulah lebih bermanfaat bagi mayat”. Al-Qadhi Husein memperbolehkan memberikan upah kepada orang yang membacakan al-Qur’an untuk mayat. Ibnu ash-Shalah berkata, ia mesti mengucapkan, “Ya Allah, sampaikanlah balasan pahala yang kami baca kepada si fulan”. Ia jadikan sebagai doa. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini apakah dekat atau jauh, mesti yakin bahwa bacaan tersebut mendatangkan manfaat. Karena jika doa bermanfaat bukan hanya bagi orang yang berdoa, maka berarti itu juga berlaku pada sesuatu yang lebih utama daripada doa (yaitu bacaan al-Qur’an). Ini tidak hanya berlaku pada bacaan al-Qur’an, akan tetapi berlaku pada semua amal.
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
(Dikutip Dari Kitab: al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu [The Islamic Jurisprudence and It’s Evidences]. Penulis: Syekh Wahbah az-Zuhaili. Juz. 1, Hal. 1579 - 1581. Dar al-Fikr, Damascus. Cetakan ke: IV, tahun 1418H/1997M.
Diterjemahkan Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.)
خامساً ـ القراءة على الميت وإهداء الثواب له:
ههنا مسائل للفقهاء :
أ ـ أجمع العلماء على انتفاع الميت بالدعاء والاستغفار بنحو «اللهم اغفر له، اللهم ارحمه» ، والصدقة، وأداء الواجبات البدنية ـ المالية التي تدخلها النيابة كالحج، لقوله تعالى: {والذين جاءوا من بعدهم يقولون: ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان} [الحشر:10/59] وقوله سبحانه: {واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات} [محمد:19/47]، ودعا النبي صلّى الله عليه وسلم لأبي سلمة حين مات، وللميت الذي صلى عليه في حديث عوف بن مالك، ولكل ميت صلى عليه. وسأل رجل النبي صلّى الله عليه وسلم فقال: «يا رسول الله ، إن أمي ماتت، فينفعها إن تصدقت عنها؟ قال: نعم» ، وجاءت امرأة إلى النبي صلّى الله عليه وسلم فقالت: «يا رسول الله ، إن فريضة الله في الحج أدركت أبي شيخاً كبيراً، لا يستطيع أن يثبت على الراحلة، أفأحج عنه؟ قال: أرأيت لو كان على أبيك دين أكنت قاضيته؟ قالت: نعم، قال: فدين الله أحق أن يقضى» وقال للذي سأله: «إن أمي ماتت وعليها صوم شهر، أفأصوم عنها؟ قال: نعم» .
قال ابن قدامة: وهذه أحاديث صحاح، وفيها دلالة على انتفاع الميت بسائر القرب؛ لأن الصوم والدعاء والاستغفار عبادات بدنية، وقد أوصل الله نفعها إلى الميت، فكذلك ما سواها.
Kelima: Bacaan al-Qur’an Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia dan Menghadiahkan Pahala Bacaannya Kepada Orang Yang Telah Meninggal Tersebut.
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama ahli Fiqh :
a. Ulama telah Ijma’ (kesepakatan) bahwa orang yang telah maninggal dunia mendapat manfaat dari doa dan permohonan ampunan (istighfar) dari orang yang masih hidup, seperti doa:
اللهم اغفر له، اللهم ارحمه
“Ya Allah ampunilah dia, ya Allah kasihilah dia”.
Sedekah, menunaikan kewajiban-kewajiban yang bersifat badani (fisik) dan maly (harta) yang bisa diwakilkan seperti ibadah haji, berdasarkan firman Allah Swt:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”. (Qs. Al-Hasyr [59]: 10). Dan firman Allah:
واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Qs. Muhammad [47]: 19).
Doa Rasulullah Saw untuk Abu Salamah ketika ia meninggal dunia dan doa beliau untuk mayat yang beliau shalatkan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ‘Auf bin Malik dan setiap mayat yang dishalatkan.
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ibu saya telah meninggal, jika saya bersedekah, apakah sedekah itu bermanfaat baginya?”. Rasulullah Saw menjawab, “Ya” .
Seorang perempuan datang menghadap Rasulullah Saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan ibadah haji, saya dapati ayah saya telah lanjut usia, ia tidak mampu duduk tetap diatas hewan tunggangan, bolehkah saya melaksanakan ibadah haji untuknya?”. Rasulullah Saw menjawab, “Jika ayahmu memiliki hutang, apakah menurutmu engkau dapat membayarkannya?”. Perempuan itu menjawab, “Ya”. rasulullah Saw berkata, “Hutang Allah lebih berhak untuk ditunaikan” .
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ibu saya telah meninggal dunia, ia memiliki hutang puasa satu bulan. Apakah saya melaksanakan puasa untuknya?”. Rasulullah menjawab, “Ya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata, “Hadits-hadits ini adalah hadits-hadits shahih. Di dalamnya terkandung dalil bahwa orang yang telah meninggal dunia mendapatkan manfaat dari semua ibadah yang dilakukan orang yang masih hidup, karena puasa, doa dan permohonan ampunan (istighfar) adalah ibadah-ibadah badani (fisik). Allah Swt menyampaikan manfaatnya kepada orang yang telah meninggal dunia, demikian juga dengan ibadah-ibadah yang lain.
ب ـ اختلف العلماء في وصول ثواب العبادات البدنية المحضة كالصلاة وتلاوة القرآن إلى غير فاعلها على رأيين: رأي الحنفية والحنابلة ومتأخري الشافعية والمالكية بوصول القراءة للميت إذا كان بحضرته، أو دعا له عقبها، ولو غائباً؛ لأن محل القراءة تنزل فيه الرحمة والبركة، والدعاء عقبها أرجى للقبول.
ورأي متقدمي المالكية والمشهور عند الشافعية الأوائل: عدم وصول ثواب العبادات المحضة لغير فاعلها.
B. Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala ibadah yang bersifat badani (fisik) murni seperti shalat, bacaan al-Qur’an dan lainnya, apakah sampai kepada orang lain. Ada dua pendapat. Menurut pendapat mazhab Hanafi, Hanbali, generasi terakhir mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat jika dibacakan di hadapannya, atau dibacakan doa setelah membacanya, meskipun telah dikebumikan, karena rahmat dan berkah turun di tempat membaca al-Qur’an tersebut dan doa setelah membaca al-Qur’an itu diharapkan maqbul atau diperkenankan Allah Swt.
Sedangkan menurut pendapat generasi awal mazhab Maliki dan menurut pendapat yang masyhur menurut generasi awal mazhab Syafi’i menyatakan: balasan pahala ibadah mahdhah (murni) tidak sampai kepada orang lain.
قال الحنفية: المختار عدم كراهة إجلاس القارئين ليقرؤوا عند القبر، وقالوا في باب الحج عن الغير: للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره: صلاة كان عمله، أو صوماً أو صدقة أوغيرها، وأن ذلك لا ينقص من أجره شيئاً.
وقال الحنابلة: لا بأس بالقراءة عند القبر، للحديث المتقدم: «من دخل المقابر، فقرأ سورة يس، خفف عنهم يومئذ، وكان له بعدد من فيها حسنات» وحديث «من زار قبر والديه، فقرأ عنده أو عندهما يس، غفر له» .
وقال المالكية: تكره القراءة على الميت بعد موته وعلى قبره؛ لأنه ليس من عمل السلف، لكن المتأخرون على أنه لا بأس بقراءة القرآن والذكر وجعل ثوابه للميت، ويحصل له الأجر إن شاء الله .
Menurut mazhab Hanafi: menurut pendapat pilihan, tidak makruh mendudukkan para pembaca al-Qur’an untuk membacakan al-Qur’an di kubur. Mereka berpendapat tentang menghajikan orang lain, orang boleh memberikan balasan pahala amalnya kepada orang lain, maka shalat adalah amalnya, atau puasa, atau sedekah atau amal lainnya. Dan itu tidak mengurangi balasan amalnya walau sedikit pun.
Menurut mazhab Hanbali: boleh membaca al-Qur’an di kubur, berdasarkan hadits: “Siapa yang masuk ke pekuburan, lalu ia membaca surat Yasin, maka azab mereka hari itu diringankan dan ia mendapatkan balasan pahala sejumlah kebaikan yang ada di dalamnya”. Dan hadits: “Siapa yang ziarah kubur orang tuanya, lalu ia membaca Yasin di kubur orang tuanya, maka ia diampuni” .
Menurut mazhab Maliki: makruh hukumnya membaca al-Qur’an untuk mayat dan diatas kubur, karena bukan amalan kalangan Salaf. Akan tetapi generasi terakhir mazhab Maliki menyatakan: boleh membaca al-Qur’an dan zikir, kemudian balasan pahalanya dihadiahkan kepada mayat. Maka mayat akan mendapatkan balasan pahalanya insya Allah.
وقال متقدمو الشافعية: المشهور أنه لا ينفغ الميت ثواب غير عمله، كالصلاة عنه قضاء أو غيرها وقراءة القرآن. وحقق المتأخرون منهم وصول ثواب القراءة للميت، كالفاتحة وغيرها. وعليه عمل الناس، وما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن. وإذا ثبت أن الفاتحة تنفع الحي الملدوغ، وأقر النبي صلّى الله عليه وسلم ذلك بقوله: «وما يدريك أنها رقية؟» كان نفع الميت بها أولى.
Generasi awal mazhab Syafi’i berpendapat: menurut pendapat yang masyhur bahwa mayat tidak mendapatkan pahala selain dari balasan amalnya sendiri seperti shalat qadha’ yang dilaksanakan untuknya atau ibadah lainnya dan bacaan al-Qur’an. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i generasi terakhir menyatakan: pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat, seperti bacaan al-Fatihah dan lainnya. Demikian yang dilakukan banyak kaum muslimin. Apa yang dianggap kaum muslimin baik, maka itu baik di sisi Allah. Jika menurut hadits shahih bahwa bacaan al-Fatihah itu mendatangkan manfaat bagi orang hidup yang tersengat binatang berbisa dan Rasulullah Saw mengakuinya dengan sabdanya, “Darimana engkau tahu bahwa al-Fatihah itu adalah ruqyah?”. Maka tentulah bacaan al-Fatihah itu lebih mendatangkan manfaat bagi orang yang telah meninggal dunia.
وبذلك يكون مذهب متأخري الشافعية كمذاهب الأئمة الثلاثة: أن ثواب القراءة يصل إلى الميت، قال السبكي: والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه، نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي صلّى الله عليه وسلم بقوله: «وما يدريك أنها رقية» وإذا نفعت الحي بالقصد، كان نفع الميت بها أولى. وقد جوز القاضي حسين الاستئجار على قراءة القرآن عند الميت. قال ابن الصلاح: وينبغي أن يقول: «اللهم أوصل ثواب ما قرأنا لفلان» فيجعله دعاء، ولا يختلف في ذلك القريب والبعيد، وينبغي الجزم بنفع هذا؛ لأنه إذا نفع الدعاء وجاز بما ليس للداعي، فلأن يجوز بما له أولى، وهذا لا يختص بالقراءة، بل يجري في سائر الأعمال.
Dengan demikian maka generasi belakangan mazhab Syafi’i sama seperti tiga mazhab diatas: bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat. Imam as-Subki berkata, “Menurut dalil yang terkandung dalam Khabar berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an dibaca dengan niat agar mendatangkan manfaat bagi mayat dan meringankan azabnya, maka itu mendatangkan manfaat baginya, karena menurut hadits shahih bahwa jika surat al-Fatihah itu dibacakan kepada orang yang tersengat binatang berbisa, maka itu bermanfaat baginya dan Rasulullah Saw mengakuinya dengan sabdanya, “Darimana engkau tahu bahwa surat al-Fatihah itu ruqyah?”. Jika surat al-Fatihah bermanfaat bagi orang yang masih hidup –jika memang diniatkan untuk itu-, maka tentulah lebih bermanfaat bagi mayat”. Al-Qadhi Husein memperbolehkan memberikan upah kepada orang yang membacakan al-Qur’an untuk mayat. Ibnu ash-Shalah berkata, ia mesti mengucapkan, “Ya Allah, sampaikanlah balasan pahala yang kami baca kepada si fulan”. Ia jadikan sebagai doa. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini apakah dekat atau jauh, mesti yakin bahwa bacaan tersebut mendatangkan manfaat. Karena jika doa bermanfaat bukan hanya bagi orang yang berdoa, maka berarti itu juga berlaku pada sesuatu yang lebih utama daripada doa (yaitu bacaan al-Qur’an). Ini tidak hanya berlaku pada bacaan al-Qur’an, akan tetapi berlaku pada semua amal.
Semua Harta Disedekahkan?
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعُودُنِى مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِى زَمَنَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقُلْتُ بَلَغَ بِى مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ لِى أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَىْ مَالِى قَالَ « لاَ » . قُلْتُ بِالشَّطْرِ قَالَ « لاَ » . قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ « الثُّلُثُ كَثِيرٌ ، أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ » .
Artinya:
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari Bapaknya, ia berkata, “Rasulullah Saw datang kepada kami menjenguk saya ketika saya menderita sakit keras pada waktu Haji Wada’. Saya katakan kepada beliau, “Saya sakit seperti yang engkau lihat, saya mempunyai harta, tidak ada yang mewarisi harta saya selain seorang anak perempuan saya. Apakah (boleh) saya bersedekah dengan dua pertiga harta saya?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Tidak”.
Saya katakan, “Setengah?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Tidak”.
Saya katakan, “Sepertiga?”.
Rasulullah Saw berkata, “Sepertiga itu banyak. Engkau biarkan ahli warismu berkecukupan, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin mengulurkan telapak tangan mereka meminta-minta kepada orang lain. Nafkah/infaq yang engkau berikan karena mengharapkan kemuliaan Allah, maka engkau pasti diberi balasan, meskipun itu nafkah yang engkau berikan kepada istrimu sendiri”.
(Dari Kitab Shahih al-Bukhari. No. 5344. Cetakan Dar Ibn Katsir, Beirut. Cetakan ketiga, tahun 1407H/1987M. Diterjemahkan oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.)
Artinya:
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari Bapaknya, ia berkata, “Rasulullah Saw datang kepada kami menjenguk saya ketika saya menderita sakit keras pada waktu Haji Wada’. Saya katakan kepada beliau, “Saya sakit seperti yang engkau lihat, saya mempunyai harta, tidak ada yang mewarisi harta saya selain seorang anak perempuan saya. Apakah (boleh) saya bersedekah dengan dua pertiga harta saya?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Tidak”.
Saya katakan, “Setengah?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Tidak”.
Saya katakan, “Sepertiga?”.
Rasulullah Saw berkata, “Sepertiga itu banyak. Engkau biarkan ahli warismu berkecukupan, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin mengulurkan telapak tangan mereka meminta-minta kepada orang lain. Nafkah/infaq yang engkau berikan karena mengharapkan kemuliaan Allah, maka engkau pasti diberi balasan, meskipun itu nafkah yang engkau berikan kepada istrimu sendiri”.
(Dari Kitab Shahih al-Bukhari. No. 5344. Cetakan Dar Ibn Katsir, Beirut. Cetakan ketiga, tahun 1407H/1987M. Diterjemahkan oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.)
Hadits-Hadits shalat Tasbih.
By:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Hadits tentang shalat Tasbih disebutkan dalam Sunan Abi Daud, Sunan Ibni Majah, Mustadrak al-Hakim dan Shahih Ibni Khuzaimah. Dinyatakan Shahih li Ghairihi oleh Syekh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 677.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah Saw berkata kepada al-‘Abbas bin Abdil Muththalib, “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau aku berikan, maukah engkau aku lakukan untukmu sepuluh perkara, apabila engkau melakukannya, maka Allah mengampuni dosamu; awal dan akhir, yang lama dan yang baru, tersalah dan sengaja, yang kecil dan yang besar, yang rahasia dan yang nyata, sepuluh perkara. Engkau laksanakan shalat empat rakaat, dalam setiap rakaat engkau baca al-Fatihah dan surat. Apabila engkau selesai membaca ayat pada rakaat pertama, engkau baca ketika engkau masih berdiri:
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
Sebanyak lima belas kali. Kemudian engkau ruku’, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau bangun dari ruku’, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau sujud, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau sujud (lagi), engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, engkau baca sepuluh kali. Itulah tujuh puluh lima (tasbih) dalam satu rakaat. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melaksanakannya satu kali sehari, maka laksanakanlah. Jika engkau tidak mampu, maka satu kali dalam satu pekan. Jika engkau tidak mampu, maka satu kali dalam sebulan. Jika engkau tidak mampu, maka satu kali seumur hidupmu”.
Teks lengkap dalam beberapa kitab hadits dapat dilihat dalam teks berikut:
عن ابن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال للعباس بن عبد المطلب : « يا عباس ، يا عماه ، ألا أعطيك ، ألا أجيزك ، ألا أفعل لك عشر خصال ، إذا أنت فعلت ذلك غفر الله ذنبك أوله وآخره ، قديمه وحديثه ، خطأه وعمده ، صغيره وكبيره ، سره وعلانيته ، عشر خصال : أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعتين بفاتحة الكتاب ، وسورة ، فإذا فرغت من القراءة في أول ركعة قلت وأنت قائم : سبحان الله ، والحمد لله ، ولا إله إلا الله ، والله أكبر خمس عشرة مرة ، ثم تركع وتقول وأنت راكع عشرا ، ثم ترفع رأسك من الركوع فتقولها عشرا ، ثم تسجد فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ، ثم تسجد فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ، فذلك خمس وسبعون في كل ركعة تفعل في أربع ركعات إن استطعت أن تصليها في كل يوم مرة فافعل ، فإن لم تفعل ففي كل جمعة مرة ، فإن لم تفعل ففي كل شهر مرة ، فإن لم تفعل ففي كل سنة مرة ، فإن لم تفعل ففي عمرك مرة » .
(صحيح ابن خزيمة).
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ « يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً ». (سنن أبي داود).
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ « يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ لَكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَقَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ وَخَطَأَهُ وَعَمْدَهُ وَصَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ وَسِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرُ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ قُلْتَ وَأَنْتَ قَائِمٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُ وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً ». (سنن ابن ماجه).
عن ابن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال للعباس بن عبد المطلب : يا عباس يا عماه ألا أعطيك ألا أحبوك ألا أفعل بك عشر خصال : إذا أنت فعلت ذلك غفر الله لك ذنبك أوله و آخره قديمة و حديثه خطأه و عمده صغيره و كبيره سره و علانيته أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب و سورة فإذا فرغت من القراءة في أول ركعة قلت و أنت قائم : سبحان الله و الحمد لله و لا إله إلا الله و الله أكبر خمس عشرة مرة ثم تركع فتقول و أنت راكع عشرا ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ثم تسجد فتقولها عشرا ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ثم تسجد فتقولها عشرا ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا فذلك خمسة و سبعون في كل ركعة تفعل في أربع ركعات إن استطعت أن تصليها في كل يوم فافعل فإن لم تفعل ففي كل جمعة مرة فإن لم تفعل ففي كل شهر مرة فإن لم تفعل ففي كل سنة مرة فإن لم تفعل ففي عمرك مرة (مستدرك الحاكم).
677 - ( صحيح لغيره )
عن عكرمة عن ابن عباس رضي الله عنهما قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : للعباس بن عبد المطلب
يا عباس يا عماه ألا أعطيك ألا أمنحك ألا أحبوك ألا أفعل بك عشر خصال إذا أنت فعلت ذلك غفر الله لك ذنبك أوله وآخره وقديمه وحديثه وخطأه وعمده وصغيره وكبيره وسره وعلانيته عشر خصال أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعة
بفاتحة الكتاب وسورة فإذا فرغت من القراءة في أول ركعة فقل وأنت قائم سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر خمس عشرة مرة ثم تركع فتقول وأنت راكع عشرا ثم ترفع رأسك من الركوع فتقولها عشرا ثم تهوي ساجدا فتقول وأنت ساجد عشرا ثم ترفع رأسك من السجود فتقولها عشرا ثم تسجد فتقولها عشرا ثم ترفع رأسك من السجود فتقولها عشرا فذلك خمس وسبعون في كل ركعة تفعل ذلك في أربع ركعات وإن استطعت أن تصليها في كل يوم مرة فافعل فإن لم تستطع ففي كل جمعة مرة فإن لم تفعل ففي كل شهر مرة فإن لم تفعل ففي كل سنة مرة فإن لم تفعل ففي عمرك مرة
رواه أبو داود وابن ماجه وابن خزيمة في صحيحه وقال
إن صح الخبر فإن في القلب من هذا الإسناد شيئا فذكره ثم قال
ورواه إبراهيم بن الحكم بن أبان عن أبيه عن عكرمة مرسلا لم يذكر ابن عباس
قال الحافظ ورواه الطبراني وقال في آخره
فلو كانت ذنوبك مثل زبد البحر أو رمل عالج غفر الله لك
قال الحافظ وقد روي هذا الحديث من طرق كثيرة وعن جماعة من الصحابة وأمثلها حديث عكرمة هذا وقد صححه جماعة منهم الحافظ أبو بكر الآجري وشيخنا أبو محمد عبد الرحيم المصري
وشيخنا الحافظ أبو الحسن المقدسي رحمهم الله تعالى
وقال أبو بكر بن أبي داود سمعت أبي يقول
ليس في صلاة التسبيح حديث صحيح غير هذا
وقال مسلم بن الحجاج رحمه الله تعالى
لا يروى في هذا الحديث إسناد أحسن من هذا
يعني إسناد حديث عكرمة عن ابن عباس
(الألباني: صحيح الترغيب والترهيب).
H. Abdul Somad, Lc., MA.
somadku@yahoo.com
somadmorocco.blogspot.com
Hadits tentang shalat Tasbih disebutkan dalam Sunan Abi Daud, Sunan Ibni Majah, Mustadrak al-Hakim dan Shahih Ibni Khuzaimah. Dinyatakan Shahih li Ghairihi oleh Syekh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 677.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah Saw berkata kepada al-‘Abbas bin Abdil Muththalib, “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau aku berikan, maukah engkau aku lakukan untukmu sepuluh perkara, apabila engkau melakukannya, maka Allah mengampuni dosamu; awal dan akhir, yang lama dan yang baru, tersalah dan sengaja, yang kecil dan yang besar, yang rahasia dan yang nyata, sepuluh perkara. Engkau laksanakan shalat empat rakaat, dalam setiap rakaat engkau baca al-Fatihah dan surat. Apabila engkau selesai membaca ayat pada rakaat pertama, engkau baca ketika engkau masih berdiri:
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
Sebanyak lima belas kali. Kemudian engkau ruku’, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau bangun dari ruku’, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau sujud, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau sujud (lagi), engkau baca sepuluh kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, engkau baca sepuluh kali. Itulah tujuh puluh lima (tasbih) dalam satu rakaat. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melaksanakannya satu kali sehari, maka laksanakanlah. Jika engkau tidak mampu, maka satu kali dalam satu pekan. Jika engkau tidak mampu, maka satu kali dalam sebulan. Jika engkau tidak mampu, maka satu kali seumur hidupmu”.
Teks lengkap dalam beberapa kitab hadits dapat dilihat dalam teks berikut:
عن ابن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال للعباس بن عبد المطلب : « يا عباس ، يا عماه ، ألا أعطيك ، ألا أجيزك ، ألا أفعل لك عشر خصال ، إذا أنت فعلت ذلك غفر الله ذنبك أوله وآخره ، قديمه وحديثه ، خطأه وعمده ، صغيره وكبيره ، سره وعلانيته ، عشر خصال : أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعتين بفاتحة الكتاب ، وسورة ، فإذا فرغت من القراءة في أول ركعة قلت وأنت قائم : سبحان الله ، والحمد لله ، ولا إله إلا الله ، والله أكبر خمس عشرة مرة ، ثم تركع وتقول وأنت راكع عشرا ، ثم ترفع رأسك من الركوع فتقولها عشرا ، ثم تسجد فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ، ثم تسجد فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ، فذلك خمس وسبعون في كل ركعة تفعل في أربع ركعات إن استطعت أن تصليها في كل يوم مرة فافعل ، فإن لم تفعل ففي كل جمعة مرة ، فإن لم تفعل ففي كل شهر مرة ، فإن لم تفعل ففي كل سنة مرة ، فإن لم تفعل ففي عمرك مرة » .
(صحيح ابن خزيمة).
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ « يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً ». (سنن أبي داود).
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ « يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ لَكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَقَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ وَخَطَأَهُ وَعَمْدَهُ وَصَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ وَسِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرُ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ قُلْتَ وَأَنْتَ قَائِمٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُ وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً ». (سنن ابن ماجه).
عن ابن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال للعباس بن عبد المطلب : يا عباس يا عماه ألا أعطيك ألا أحبوك ألا أفعل بك عشر خصال : إذا أنت فعلت ذلك غفر الله لك ذنبك أوله و آخره قديمة و حديثه خطأه و عمده صغيره و كبيره سره و علانيته أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب و سورة فإذا فرغت من القراءة في أول ركعة قلت و أنت قائم : سبحان الله و الحمد لله و لا إله إلا الله و الله أكبر خمس عشرة مرة ثم تركع فتقول و أنت راكع عشرا ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ثم تسجد فتقولها عشرا ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا ثم تسجد فتقولها عشرا ثم ترفع رأسك فتقولها عشرا فذلك خمسة و سبعون في كل ركعة تفعل في أربع ركعات إن استطعت أن تصليها في كل يوم فافعل فإن لم تفعل ففي كل جمعة مرة فإن لم تفعل ففي كل شهر مرة فإن لم تفعل ففي كل سنة مرة فإن لم تفعل ففي عمرك مرة (مستدرك الحاكم).
677 - ( صحيح لغيره )
عن عكرمة عن ابن عباس رضي الله عنهما قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : للعباس بن عبد المطلب
يا عباس يا عماه ألا أعطيك ألا أمنحك ألا أحبوك ألا أفعل بك عشر خصال إذا أنت فعلت ذلك غفر الله لك ذنبك أوله وآخره وقديمه وحديثه وخطأه وعمده وصغيره وكبيره وسره وعلانيته عشر خصال أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعة
بفاتحة الكتاب وسورة فإذا فرغت من القراءة في أول ركعة فقل وأنت قائم سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر خمس عشرة مرة ثم تركع فتقول وأنت راكع عشرا ثم ترفع رأسك من الركوع فتقولها عشرا ثم تهوي ساجدا فتقول وأنت ساجد عشرا ثم ترفع رأسك من السجود فتقولها عشرا ثم تسجد فتقولها عشرا ثم ترفع رأسك من السجود فتقولها عشرا فذلك خمس وسبعون في كل ركعة تفعل ذلك في أربع ركعات وإن استطعت أن تصليها في كل يوم مرة فافعل فإن لم تستطع ففي كل جمعة مرة فإن لم تفعل ففي كل شهر مرة فإن لم تفعل ففي كل سنة مرة فإن لم تفعل ففي عمرك مرة
رواه أبو داود وابن ماجه وابن خزيمة في صحيحه وقال
إن صح الخبر فإن في القلب من هذا الإسناد شيئا فذكره ثم قال
ورواه إبراهيم بن الحكم بن أبان عن أبيه عن عكرمة مرسلا لم يذكر ابن عباس
قال الحافظ ورواه الطبراني وقال في آخره
فلو كانت ذنوبك مثل زبد البحر أو رمل عالج غفر الله لك
قال الحافظ وقد روي هذا الحديث من طرق كثيرة وعن جماعة من الصحابة وأمثلها حديث عكرمة هذا وقد صححه جماعة منهم الحافظ أبو بكر الآجري وشيخنا أبو محمد عبد الرحيم المصري
وشيخنا الحافظ أبو الحسن المقدسي رحمهم الله تعالى
وقال أبو بكر بن أبي داود سمعت أبي يقول
ليس في صلاة التسبيح حديث صحيح غير هذا
وقال مسلم بن الحجاج رحمه الله تعالى
لا يروى في هذا الحديث إسناد أحسن من هذا
يعني إسناد حديث عكرمة عن ابن عباس
(الألباني: صحيح الترغيب والترهيب).
BIOGRAFI
Nama Lengkap : H. Abdul Somad, Lc., MA.
Kelahiran : Rabu petang tanggal 30 Jamada al-Ula 1314 Hijrah
Bertepatan dengan 18 Mei 1977 M.
Pendidikan :
- SD al-Washliyah, tamat 1990
- Mts Mu'allimin al-Washliyah Medan, tamat 1993
- Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek, In-hu, tamat 1996
- S1 Al-Azhar, Mesir.
- S2 Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko
Pengabdian :
- Dosen Bahasa Arab di Pusat Bahasa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
- Dosen Tafsir dan Hadits di Kelas Internasional Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.
- Dosen Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhar Yayasan Masmur Pekanbaru.
- Anggota MUI Provinsi Riau, Komisi Pengkajian dan Keorganisasian Periode : 2009 – 2014.
- Anggota Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Komisi Pengembangan, Periode : 2009 – 2014.
- Sekretaris Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Provinsi Riau, Periode : 2009 – 2014.
Karya Ilmiah :
a. Thesis:
رجال الموطأ والصحيحين الذين ضعفهم النسائي في كتاب الضعفاء والمتروكين: جمعا ودراسة
b. Terjemah (Arab – Indonesia):
- Perbuatan Maksiat Penyebab Kerusakan Rumah Tangga (Judul Asli: Al-Ma’ashi Tu’addi ila Al-Faqri wa Kharab Al-Buyut), Penulis: Majdi Fathi As-Sayyid. Diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2008.
- 55 Nasihat Perkawinan Untuk Perempuan, (Judul Asli : 55 Nashihat li al-banat qabla az-zawaj), Penulis: DR. Akram Thal’at, Dar at-Ta’if, Cairo. Diterbitkan oleh Penerbit Cendikia Sentra Muslim-Jakarta, April-2004.
- 101 Kisah Orang-Orang Yang Dikabulkan Doanya (Judul Asli: 101 Qishash wa Qishah li Alladzina Istajaba Allah Lahum Ad-Du’a’, Majdi Fathi As-Sayyid. Diterbitkan oleh Pustaka Azzam – Jakarta, Desember 2004.
- 30 Orang Dijamin Masuk Surga (Judul Asli: 30 al-mubasysyarun bi al-jannah), DR.Mustafa Murad, Dar al-Fajr li at-Turats,Cairo. Diterbitkan oleh Cendikia Sentra Muslim-Jakarta, Juli-2004.
- 15 Sebab Dicabutnya Berkah (Judul Asli: 15 sabab min asbab naz’ al-barakah), Penulis: Abu Al-Hamd Abdul Fadhil, Dar ar-Raudhah-Cairo. Diterbitkan oleh Cendikia Sentra Muslim-Jakarta, Agustus-2004.
- Indahnya Seks Setelah Menikah (Judul Asli : Syahr al-‘asal bi la khajal), DR. Aiman Al-Husaini, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Progresif, Jakarta, September 2004.
- Beberapa Kekeliruan Memahami Pernikahan (Judul Asli: Akhta’ fi mafhum az-zawaj, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Progresif- Jakarta, September 2004.
- Sejarah Agama Yahudi (Judul Asli: Tarikh ad-Diyanah al-Yahudiyyah), diterbitkan oleh Pustaka al-Kautsar, Jakarta, Desember 2009.
Kelahiran : Rabu petang tanggal 30 Jamada al-Ula 1314 Hijrah
Bertepatan dengan 18 Mei 1977 M.
Pendidikan :
- SD al-Washliyah, tamat 1990
- Mts Mu'allimin al-Washliyah Medan, tamat 1993
- Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek, In-hu, tamat 1996
- S1 Al-Azhar, Mesir.
- S2 Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko
Pengabdian :
- Dosen Bahasa Arab di Pusat Bahasa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
- Dosen Tafsir dan Hadits di Kelas Internasional Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.
- Dosen Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhar Yayasan Masmur Pekanbaru.
- Anggota MUI Provinsi Riau, Komisi Pengkajian dan Keorganisasian Periode : 2009 – 2014.
- Anggota Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Komisi Pengembangan, Periode : 2009 – 2014.
- Sekretaris Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Provinsi Riau, Periode : 2009 – 2014.
Karya Ilmiah :
a. Thesis:
رجال الموطأ والصحيحين الذين ضعفهم النسائي في كتاب الضعفاء والمتروكين: جمعا ودراسة
b. Terjemah (Arab – Indonesia):
- Perbuatan Maksiat Penyebab Kerusakan Rumah Tangga (Judul Asli: Al-Ma’ashi Tu’addi ila Al-Faqri wa Kharab Al-Buyut), Penulis: Majdi Fathi As-Sayyid. Diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2008.
- 55 Nasihat Perkawinan Untuk Perempuan, (Judul Asli : 55 Nashihat li al-banat qabla az-zawaj), Penulis: DR. Akram Thal’at, Dar at-Ta’if, Cairo. Diterbitkan oleh Penerbit Cendikia Sentra Muslim-Jakarta, April-2004.
- 101 Kisah Orang-Orang Yang Dikabulkan Doanya (Judul Asli: 101 Qishash wa Qishah li Alladzina Istajaba Allah Lahum Ad-Du’a’, Majdi Fathi As-Sayyid. Diterbitkan oleh Pustaka Azzam – Jakarta, Desember 2004.
- 30 Orang Dijamin Masuk Surga (Judul Asli: 30 al-mubasysyarun bi al-jannah), DR.Mustafa Murad, Dar al-Fajr li at-Turats,Cairo. Diterbitkan oleh Cendikia Sentra Muslim-Jakarta, Juli-2004.
- 15 Sebab Dicabutnya Berkah (Judul Asli: 15 sabab min asbab naz’ al-barakah), Penulis: Abu Al-Hamd Abdul Fadhil, Dar ar-Raudhah-Cairo. Diterbitkan oleh Cendikia Sentra Muslim-Jakarta, Agustus-2004.
- Indahnya Seks Setelah Menikah (Judul Asli : Syahr al-‘asal bi la khajal), DR. Aiman Al-Husaini, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Progresif, Jakarta, September 2004.
- Beberapa Kekeliruan Memahami Pernikahan (Judul Asli: Akhta’ fi mafhum az-zawaj, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Progresif- Jakarta, September 2004.
- Sejarah Agama Yahudi (Judul Asli: Tarikh ad-Diyanah al-Yahudiyyah), diterbitkan oleh Pustaka al-Kautsar, Jakarta, Desember 2009.
Senin, 26 Juli 2010
PUASA IBU HAMIL DAN MENYUSUI
Pertanyaan:
Menurut syariat Islam, musafir dibolehkan untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain (di luar Ramadhan) yang disebut dengan puasa Qadha’. Sedangkan orang tua renta yang tidak mampu melaksanakan puasa diberi keringanan dengan membayar Fidyah. Bagaimanakah dengan wanita hamil dan ibu yang menyusui bayinya?
Jawab:
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama Fiqh sebagaimana yang disebutkan Syekh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah.
Pendapat pertama, jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka mereka hanya wajib membayar Fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa Qadha’. Demikian menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Abu Daud meriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah Swt, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 184). “Merupakan rukhshah (keringanan/dispensasi) bagi laki-laki dan perempuan yang telah tua renta, mereka tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka dibolehkan tidak berpuasa, maka setiap satu harinya mereka memberi makan satu orang miskin. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan janin atau bayinya, maka mereka (juga) boleh tidak berpuasa dan wajib memberi makanan (fidyah)”. Diriwayatkan juga oleh al-Bazzar, di akhir riwayat terdapat tambahan, Ibnu Abbas pernah berkata kepada seorang ibu hamil, “Kamu sama seperti orang yang tidak kuasa melaksanakan puasa, maka kamu hanya wajib membayar Fidyah, kamu tidak wajib melaksanakan puasa Qadha’. Imam ad-Daraquthni menyatakan Sanadnya shahih. Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang wanita hamil jika ia mengkhawatirkan janinnnya. Ibnu Umar menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib memberi makan kepada orang miskin (Fidyah) satu Mud gandum untuk satu hari”. Diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Baihaqi. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa dan setengah shalat terhadap musafir, dan menggugurkan puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui”.
Pendapat kedua, menurut Mazhab Hanafi, Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur: wanita hamil dan ibu menyusui hanya wajib melaksanakan puasa Qadha’ saja, mereka tidak wajib membayar Fidyah.
Pendapat ketiga menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i bahwa jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan janin atau bayinya saja, maka mereka boleh tidak berpuasa, mereka wajib melaksanakan puasa Qadha’ dan Fidyah. Jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya saja, atau karena mengkhawatirkan dirinya dan bayinya, maka mereka hanya wajib melaksanakan puasa Qadha’ saja, tidak ada kewajiban lain.
Demikianlah beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, akan tetapi Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan janin atau bayinya, maka mereka mesti melaksanakan puasa Qadha’ dan juga membayar Fidyah, yaitu memberi satu Mud makanan pokok kepada fakir miskin untuk satu hari. Satu Mud sama dengan 675 gram. Wallahu a’lam.
(H. Abdul Somad, Lc., MA.)
Menurut syariat Islam, musafir dibolehkan untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain (di luar Ramadhan) yang disebut dengan puasa Qadha’. Sedangkan orang tua renta yang tidak mampu melaksanakan puasa diberi keringanan dengan membayar Fidyah. Bagaimanakah dengan wanita hamil dan ibu yang menyusui bayinya?
Jawab:
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama Fiqh sebagaimana yang disebutkan Syekh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah.
Pendapat pertama, jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka mereka hanya wajib membayar Fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa Qadha’. Demikian menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Abu Daud meriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah Swt, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 184). “Merupakan rukhshah (keringanan/dispensasi) bagi laki-laki dan perempuan yang telah tua renta, mereka tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka dibolehkan tidak berpuasa, maka setiap satu harinya mereka memberi makan satu orang miskin. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan janin atau bayinya, maka mereka (juga) boleh tidak berpuasa dan wajib memberi makanan (fidyah)”. Diriwayatkan juga oleh al-Bazzar, di akhir riwayat terdapat tambahan, Ibnu Abbas pernah berkata kepada seorang ibu hamil, “Kamu sama seperti orang yang tidak kuasa melaksanakan puasa, maka kamu hanya wajib membayar Fidyah, kamu tidak wajib melaksanakan puasa Qadha’. Imam ad-Daraquthni menyatakan Sanadnya shahih. Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang wanita hamil jika ia mengkhawatirkan janinnnya. Ibnu Umar menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib memberi makan kepada orang miskin (Fidyah) satu Mud gandum untuk satu hari”. Diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Baihaqi. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa dan setengah shalat terhadap musafir, dan menggugurkan puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui”.
Pendapat kedua, menurut Mazhab Hanafi, Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur: wanita hamil dan ibu menyusui hanya wajib melaksanakan puasa Qadha’ saja, mereka tidak wajib membayar Fidyah.
Pendapat ketiga menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i bahwa jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan janin atau bayinya saja, maka mereka boleh tidak berpuasa, mereka wajib melaksanakan puasa Qadha’ dan Fidyah. Jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya saja, atau karena mengkhawatirkan dirinya dan bayinya, maka mereka hanya wajib melaksanakan puasa Qadha’ saja, tidak ada kewajiban lain.
Demikianlah beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, akan tetapi Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa jika wanita hamil dan ibu menyusui tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan janin atau bayinya, maka mereka mesti melaksanakan puasa Qadha’ dan juga membayar Fidyah, yaitu memberi satu Mud makanan pokok kepada fakir miskin untuk satu hari. Satu Mud sama dengan 675 gram. Wallahu a’lam.
(H. Abdul Somad, Lc., MA.)